Representasi simbolis dari janji suci.
Pernikahan dalam konteks budaya Indonesia tidak sekadar perayaan cinta dua insan, melainkan sebuah ritual sosial dan spiritual yang sarat akan nilai-nilai luhur. Inti dari rangkaian upacara ini adalah adat akad nikah. Prosesi ini merupakan momen sakral di mana janji suci diucapkan di hadapan Tuhan, saksi, dan keluarga besar, menjadi landasan kokoh bagi biduk rumah tangga yang akan dibina.
Indonesia, dengan keragaman suku dan budayanya, menampilkan mozaik tradisi akad nikah yang begitu kaya. Setiap daerah—mulai dari Sabang hingga Merauke—memiliki kekhasan tersendiri dalam pelaksanaan akad. Meskipun substansi utamanya adalah pengikatan janji, ritual pendukungnya sering kali mencerminkan filosofi hidup masyarakat setempat, mulai dari prosesi siraman, seserahan, hingga prosesi panggih (temu manten).
Keunikan adat akad nikah tampak jelas dalam simbol-simbol yang digunakan. Misalnya, dalam adat Jawa, terdapat tradisi 'Panggih' di mana kedua mempelai saling melempar daun sirih (gantal) sebagai simbol pelepasan masa lajang dan kesiapan menempuh hidup baru. Filosofi di baliknya adalah menghilangkan halangan dan memulai lembaran bersih. Sementara itu, di beberapa adat Sumatera, prosesi penyerahan mas kawin atau uang belanja (mahar) dilakukan dengan tata cara yang sangat formal, menekankan tanggung jawab calon suami.
Prosesi akad itu sendiri, terlepas dari latar belakang suku, selalu menekankan pada aspek kesaksian. Dalam Islam, akad nikah harus disaksikan oleh minimal dua orang saksi yang adil. Kesaksian ini berfungsi sebagai validasi sosial bahwa telah terjadi ikatan yang sah, memberikan kepastian hukum dan moralitas dalam pernikahan tersebut. Kekhidmatan inilah yang membedakan akad nikah dari sekadar seremonial lainnya.
Sebelum hari pelaksanaan adat akad nikah tiba, terdapat serangkaian persiapan panjang yang melibatkan kedua belah pihak keluarga. Prosesi ini dimulai dari penjajakan (meminang), penentuan hari baik, hingga prosesi peningset atau seserahan. Seserahan bukan hanya tentang memberikan barang materi, tetapi lebih kepada simbol bahwa pihak laki-laki telah siap memikul tanggung jawab menafkahi dan melindungi perempuan yang akan dinikahinya. Keluarga perempuan menerima seserahan tersebut sebagai penanda restu.
Penting untuk dipahami bahwa di era modern ini, banyak pasangan memilih untuk mengintegrasikan unsur modern dengan tradisi. Mereka mungkin mengadakan akad nikah dengan format yang lebih ringkas, namun tetap mempertahankan inti dari adat akad nikah daerah mereka, seperti penggunaan busana tradisional atau mengadopsi beberapa ritual kunci. Adaptasi ini menunjukkan bahwa adat bukan sesuatu yang kaku, melainkan warisan yang hidup dan dapat menyesuaikan diri tanpa kehilangan makna dasarnya.
Dalam banyak adat akad nikah, terutama yang bernuansa agama, peran wali (wali nikah) dan penghulu atau pemuka agama sangat sentral. Wali bertugas mewakili wali nasab (ayah kandung atau kerabat laki-laki) untuk menyerahkan hak perwaliannya kepada calon suami melalui ucapan ijab kabul. Proses ijab kabul inilah puncak dari akad. Suara yang mantap dari calon mempelai pria saat mengucapkan kabul, yang kemudian disetujui oleh calon mempelai wanita (atau wali), adalah detik penentu terjalinnya ikatan pernikahan.
Melestarikan adat akad nikah berarti melestarikan nilai-nilai luhur tentang komitmen, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap leluhur. Di tengah arus globalisasi, pemahaman mendalam mengenai ritual pernikahan tradisional ini membantu generasi muda untuk menambatkan fondasi pernikahan mereka pada akar budaya yang kuat, memastikan bahwa pernikahan tidak hanya sah di mata hukum, tetapi juga diberkahi secara adat dan spiritual. Keindahan adat ini adalah cerminan kekayaan bangsa yang patut dijaga.