Kasus yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, tidak hanya menyeret figur utama, tetapi juga lingkaran dalamnya, terutama para ajudan ajudan Ferdy Sambo. Sosok-sosok ini, yang sehari-hari berada di dekat petinggi kepolisian tersebut, memegang peran krusial, baik sebagai saksi kunci, terduga keterlibatan, maupun sebagai pihak yang diperintahkan melakukan tindakan tertentu.
Keberadaan para ajudan ini menyoroti bagaimana struktur kekuasaan dan kedekatan relasional di lingkungan elite sering kali menjadi medan abu-abu dalam penegakan hukum. Mereka adalah mata dan telinga, saksi bisu atas dinamika hubungan pribadi dan profesional yang terjadi di balik tembok kedinasan.
Secara umum, ajudan adalah staf pribadi yang bertugas membantu operasional harian seorang pejabat tinggi. Dalam konteks Ferdy Sambo, peran ini meluas menjadi lebih signifikan mengingat jabatan strategis yang dipegangnya. Ketika pusaran kasus pembunuhan Yosua Hutabarat mulai terkuak, perhatian publik dan penyidik langsung tertuju pada siapa saja yang paling dekat dengannya saat kejadian atau sesudahnya.
Beberapa ajudan yang menjadi sorotan publik sering kali disebut karena beberapa alasan utama:
Memahami alur kerja seorang ajudan sangat penting untuk memetakan sejauh mana jaringan informasi dan instruksi mengalir dalam struktur tersebut. Dalam sidang-sidang yang digelar, keterangan dari ajudan ajudan Ferdy Sambo menjadi salah satu pilar utama jaksa penuntut umum untuk membuktikan adanya perencanaan atau setidaknya upaya penghalangan penyidikan (obstruction of justice).
Isu loyalitas merupakan benang merah yang sering muncul dalam kasus-kasus yang melibatkan figur sentral dengan bawahan yang sangat dekat. Para ajudan sering kali menghadapi dilema moral dan profesional yang luar biasa. Di satu sisi, ada kewajiban untuk patuh kepada atasan; di sisi lain, ada kewajiban hukum dan etika yang lebih tinggi sebagai anggota institusi penegak hukum.
Berdasarkan persidangan, terlihat jelas bahwa tekanan yang ditimbulkan oleh seorang atasan dengan otoritas tinggi seperti Ferdy Sambo dapat memengaruhi pengambilan keputusan bawahan, termasuk para ajudan. Sanksi sosial, profesional, hingga ancaman karier, menjadi variabel yang memperumit posisi mereka saat dimintai keterangan.
Proses pembuktian di persidangan menunjukkan bahwa tidak semua ajudan memiliki tingkat keterlibatan yang sama. Ada perbedaan signifikan antara mereka yang hanya mengetahui informasi tanpa ikut serta dalam tindakan pidana, dengan mereka yang secara aktif terlibat dalam skenario yang disusun untuk menutupi fakta awal.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga mengenai akuntabilitas di semua tingkatan. Walaupun fokus utama tertuju pada otak di balik kasus, para pembantu terdekat juga harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di mata hukum. Penanganan kasus ini menunjukkan bahwa kedekatan personal atau hierarki struktural tidak dapat menjadi tameng dari konsekuensi hukum.
Fokus terhadap para ajudan ajudan Ferdy Sambo ini menegaskan prinsip bahwa dalam penegakan hukum, tidak ada posisi yang terlalu tinggi atau terlalu dekat untuk luput dari pemeriksaan integritas. Kesaksian mereka—baik yang memberatkan maupun yang mencoba meringankan—menjadi bagian tak terpisahkan dalam membentuk narasi kebenaran akhir dari sebuah peristiwa yang mengguncang institusi negara.
Peran mereka, yang awalnya hanya tampak sebagai staf pendukung, ternyata menjadi penentu penting dalam mengungkap lapisan demi lapisan kebohongan yang terjadi setelah insiden awal. Kasus ini memaksa institusi untuk merefleksikan kembali sistem kontrol internal dan bagaimana loyalitas yang salah arah dapat menciptakan celah besar dalam integritas kepolisian.
Penyelesaian hukum terhadap kasus ini, termasuk tuntutan terhadap semua pihak yang terlibat—dari atasan hingga para ajudan—diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap independensi dan ketegasan sistem peradilan Indonesia dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan aparat penegak hukum itu sendiri.