Aqidah Islam Menurut Yusuf Al-Qaradawi

Simbol Keimanan dan Ilmu Pengetahuan

Pengantar: Posisi Al-Qaradawi dalam Pemikiran Kontemporer

Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu ulama terkemuka di abad ke-20 dan awal abad ke-21. Dikenal luas karena pandangannya yang moderat, kontekstual, dan upayanya dalam memahami Islam dalam kerangka realitas kontemporer, pemikirannya mengenai aqidah Islam memiliki dampak signifikan. Aqidah, atau keimanan, merupakan fondasi utama dalam Islam, dan cara seorang ulama memahaminya akan menentukan corak pemikiran Islamnya secara keseluruhan. Bagi Al-Qaradawi, aqidah bukanlah sekadar seperangkat dogma statis, melainkan pemahaman hidup yang dinamis dan terintegrasi dalam seluruh aspek kehidupan seorang Muslim.

Fondasi Aqidah: Tauhid sebagai Inti Utama

Seperti halnya pandangan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah pada umumnya, Al-Qaradawi menempatkan Tauhid (Keesaan Allah) sebagai poros utama aqidah Islam. Tauhid ini tidak hanya dipahami dalam konteks Rububiyyah (keesaan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta) atau Uluhiyyah (keesaan Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah), tetapi juga secara holistik mencakup Asma wa Sifat (Nama dan Sifat Allah).

Dalam pandangannya, pengamalan Tauhid harus terwujud dalam sikap hidup. Seorang Muslim harus mengesakan Allah dalam ketaatan, penghambaan, dan penyerahan diri total. Al-Qaradawi menekankan perlunya membersihkan aqidah dari segala bentuk syirik, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi, seperti praktik khurafat atau takhayul yang seringkali menyusup dalam budaya masyarakat. Baginya, aqidah yang benar adalah aqidah yang membebaskan manusia dari perbudakan kepada selain Allah.

Iman kepada Kitab-Kitab dan Rasul

Aspek penting lain dari aqidah menurut Al-Qaradawi adalah iman kepada kitab-kitab suci dan para rasul. Beliau menekankan bahwa Al-Qur'an adalah penyempurna dari wahyu-wahyu sebelumnya, dan kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah penutup risalah kenabian. Namun, penekanan beliau sering kali tertuju pada aspek aplikatif dari risalah tersebut. Iman kepada para rasul berarti meneladani akhlak dan ajaran mereka, terutama ajaran Nabi Muhammad SAW, dalam konteks kehidupan modern.

Al-Qaradawi sangat konsen pada pemahaman bahwa ajaran Islam, yang bersumber dari aqidah yang benar, harus relevan dan mampu menjawab tantangan zaman tanpa menyimpang dari pokok-pokok yang telah ditetapkan. Ini menuntut pemahaman yang mendalam mengenai konteks historis turunnya wahyu (asbabun nuzul) dan semangat syariat (maqashid syariah).

Iman kepada Hari Akhir dan Konsekuensi Praktis

Iman kepada Hari Akhir, termasuk hari pembalasan, surga, dan neraka, merupakan pendorong moralitas tertinggi dalam pemikiran Al-Qaradawi. Keyakinan akan adanya pertanggungjawaban mutlak di hadapan Allah SWT menuntut adanya konsistensi antara keyakinan lisan dan tindakan nyata (amal).

Berbeda dengan pandangan fatalistik, Al-Qaradawi menafsirkan iman pada takdir (qada dan qadar) dengan cara yang mendorong usaha dan ihtiar. Iman kepada takdir bukanlah alasan untuk pasif, melainkan penenangan jiwa ketika menghadapi kesulitan, setelah usaha maksimal telah dilakukan. Hal ini memastikan bahwa aqidah tidak melahirkan mentalitas yang menolak perubahan atau kemajuan, melainkan mendorong Muslim untuk menjadi agen perubahan yang konstruktif.

Aqidah dan Ijtihad: Jembatan Antara Tradisi dan Modernitas

Ciri khas pemikiran Al-Qaradawi terletak pada upayanya mendamaikan keteguhan aqidah dengan tuntutan ijtihad dalam bidang muamalah dan fiqih. Beliau berargumen bahwa selama enam pilar aqidah (Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan qada qadar) kokoh, maka ada ruang gerak yang luas dalam ranah interpretasi hukum dan penerapan syariat agar sesuai dengan maslahat umat.

Pendekatan ini menekankan pentingnya pemahaman rasional terhadap ajaran agama, yang tetap berakar kuat pada dalil naqli (teks) namun difilter melalui lensa kemaslahatan manusia (maqashid syariah). Bagi Al-Qaradawi, aqidah yang benar harus membuahkan hasil berupa peradaban yang adil dan sejahtera, bukan sekadar ritualitas yang terputus dari realitas sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, penguatan aqidah adalah prasyarat utama untuk melaksanakan dakwah yang efektif dan membangun masyarakat Islam yang relevan.

🏠 Homepage