Ibadah aqiqah dilaksanakan berkaitan dengan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT atas karunia terindah, yaitu kelahiran seorang anak. Kelahiran merupakan momen monumental dalam kehidupan setiap keluarga muslim, menandai dimulainya tanggung jawab besar dalam mendidik generasi penerus yang saleh dan bermanfaat. Oleh karena itu, Islam memberikan tuntunan ritual khusus sebagai bentuk pengungkapan terima kasih tersebut, yaitu aqiqah.
Hukum dan Waktu Pelaksanaan
Secara umum, aqiqah dalam fikih Islam memiliki kedudukan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Pelaksanaannya menunjukkan komitmen orang tua terhadap ajaran agama dalam menyambut anggota keluarga baru. Meskipun tidak sewajib hukum kurban hari raya Idul Adha, aqiqah sangat ditekankan oleh para ulama.
Waktu ideal aqiqah dilaksanakan berkaitan dengan hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Hari ketujuh ini dianggap sebagai puncak syukur dan penanda bahwa bayi telah melewati masa-masa kritis awal kehidupannya. Rasulullah SAW bersabda bahwa anak yang baru lahir itu tergadaikan dengan aqiqahnya, yang baru dapat dilepaskan setelah aqiqah tersebut ditunaikan pada hari ketujuh. Jika karena suatu hal tidak dapat dilaksanakan pada hari ketujuh, banyak pendapat yang membolehkan pelaksanaannya di kemudian hari, namun keutamaan utama tetap pada waktu yang disunnahkan.
Jumlah Hewan yang Disyaratkan
Jumlah hewan yang disembelih juga merupakan aspek krusial yang menentukan kesempurnaan ibadah aqiqah. Terdapat perbedaan standar antara kelahiran anak laki-laki dan perempuan, meskipun substansi utama dari ibadah ini tetap sama, yaitu berbagi kebahagiaan dan daging kurban.
Untuk anak laki-laki, standar yang paling banyak dipegang adalah penyembelihan dua ekor kambing atau domba. Sementara itu, untuk anak perempuan, disunnahkan menyembelih satu ekor kambing atau domba. Hewan yang digunakan harus memenuhi syarat yang sama dengan hewan kurban, yaitu sehat, tidak cacat, dan mencapai usia minimal yang telah ditetapkan dalam syariat. Hal ini menegaskan bahwa aqiqah dilaksanakan berkaitan dengan kualitas ibadah, bukan sekadar formalitas.
Pembagian Daging Aqiqah
Setelah hewan disembelih, langkah selanjutnya adalah pembagian dagingnya. Terdapat beberapa pandangan mengenai metode pembagian, namun mayoritas ulama sepakat bahwa daging tersebut dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk keluarga yang beraqiqah, sepertiga untuk dihadiahkan kepada kerabat dan tetangga, dan sepertiga lagi untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
Penting untuk dicatat bahwa daging hasil aqiqah, berbeda dengan daging kurban, diperbolehkan untuk dimasak dan disajikan dalam acara walimah (syukuran) yang dihadiri oleh kerabat dan masyarakat. Proses memasak dan menyajikan makanan inilah yang menjadi inti dari ungkapan syukur kolektif, di mana semua pihak yang hadir turut merasakan nikmat kelahiran tersebut. Oleh karena itu, ibadah ini menjadi sangat sosial.
Makna Spiritual yang Mendalam
Lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan, aqiqah mencerminkan komitmen orang tua untuk membersihkan diri dari hal-hal yang mungkin terkait dengan kelahiran (seperti rambut bayi yang seringkali ikut dihilangkan bersamaan dengan proses aqiqah). Secara spiritual, aqiqah dilaksanakan berkaitan dengan upaya memohon keberkahan agar anak yang lahir kelak menjadi penyejuk hati dan membawa manfaat bagi agama dan bangsanya. Ini adalah doa konkret yang dipanjatkan melalui tindakan nyata.
Dengan memahami tata cara dan makna di baliknya, ibadah aqiqah tidak hanya menjadi pemenuhan sunnah, tetapi juga menjadi fondasi awal dalam menanamkan nilai syukur, berbagi, dan tanggung jawab sosial pada kehidupan seorang Muslim sejak hari-hari pertamanya di dunia. Keluarga yang melaksanakan aqiqah dengan penuh keikhlasan menunjukkan kesiapan mereka dalam membimbing amanah suci ini sesuai tuntunan Ilahi.