Visualisasi sederhana proses akad hibah.
Pengertian akad hibah merupakan salah satu konsep fundamental dalam hukum perdata, terutama yang bersumber dari hukum Islam (fiqih muamalah). Secara sederhana, hibah adalah perbuatan hukum berupa penyerahan kepemilikan suatu benda secara sukarela tanpa adanya imbalan (pertukaran) dari pihak penerima.
Dalam konteks hukum di Indonesia, konsep hibah ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1666 yang menyatakan bahwa hibah adalah suatu perjanjian, di mana seseorang menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma atau tanpa imbalan, untuk kepentingan orang lain, yang diterima oleh orang lain tersebut.
Agar suatu penyerahan aset dapat dikategorikan sebagai akad hibah yang sah, baik secara hukum positif maupun hukum agama, harus terpenuhi beberapa unsur pokok. Unsur-unsur ini memastikan bahwa proses transfer kepemilikan dilakukan atas dasar kerelaan dan kesadaran penuh para pihak.
Meskipun sering disamakan, dalam terminologi fiqih dan hukum, hibah berbeda dengan hadiah dan sedekah. Memahami perbedaannya penting untuk menentukan konsekuensi hukumnya.
Hibah adalah penyerahan yang bersifat umum tanpa terikat waktu atau peristiwa tertentu. Sementara itu, hadiah (hadayyah) sering kali dikaitkan dengan suatu momen atau peristiwa tertentu, misalnya memberikan hadiah ulang tahun atau hadiah karena prestasi. Meskipun keduanya sama-sama sukarela tanpa imbalan, konteks pemicunya berbeda. Secara hukum, akibat hukum keduanya seringkali serupa, namun dalam tradisi Islam, hadiah bisa lebih ditekankan pada aspek hubungan sosial yang lebih erat.
Perbedaan utama terletak pada tujuan dan penerimanya. Sedekah secara eksplisit ditujukan untuk amal jariyah atau mendekatkan diri kepada Tuhan, dan umumnya diberikan kepada fakir miskin atau pihak yang membutuhkan (mustahiq). Sementara itu, Hibah adalah transfer kepemilikan aset yang sah secara hukum, dan bisa diberikan kepada siapa saja, baik kerabat, teman, bahkan orang asing, tanpa harus memenuhi kriteria kemiskinan. Ketika hibah diberikan dengan niat mengharapkan pahala, ia juga bernilai sedekah.
Ketentuan mengenai keabsahan hibah sangat ketat untuk menghindari sengketa di kemudian hari. Dalam konteks hukum perdata Indonesia, terutama jika objeknya adalah benda bergerak (seperti uang atau barang), penyerahan tunai sudah cukup. Namun, jika objeknya adalah benda tidak bergerak (seperti properti atau tanah), diperlukan formalitas lebih lanjut.
Untuk hibah tanah atau bangunan, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan turunannya mensyaratkan bahwa hibah harus dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hal ini bertujuan agar peralihan hak atas tanah tersebut sah secara administrasi pertanahan dan tercatat dalam Buku Tanah.
Selain syarat formal, syarat materiil seperti kecakapan hukum dan kerelaan tetap menjadi prasyarat utama. Jika salah satu unsur ini gugur, akad hibah tersebut dapat dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum.
Salah satu karakteristik penting dari hibah adalah sifatnya yang mengikat setelah terjadi penyerahan (qobdh). Setelah sah, secara umum akad hibah tidak dapat dicabut kembali oleh penghibah.
Namun, KUHPerdata memberikan beberapa pengecualian di mana pencabutan dimungkinkan, antara lain:
Memahami pengertian akad hibah secara mendalam penting bagi setiap individu yang hendak melakukan transaksi sukarela ini, baik untuk memastikan keabsahan secara hukum maupun untuk memenuhi aspek keberkahan dalam niat beramal.