Acara aqiqah merupakan salah satu momen bahagia yang sangat dianjurkan dalam Islam ketika seorang anak baru dilahirkan. Aqiqah bukan sekadar perayaan sosial, melainkan bentuk syukur yang memiliki landasan kuat dalam tuntunan syariat (sunnah Nabi Muhammad SAW). Memahami tata cara dan makna di balik acara aqiqah menurut sunnah sangat penting agar ibadah ini terlaksana dengan sempurna.
Secara bahasa, aqiqah (عقيقة) berarti memotong atau rambut bayi yang baru lahir. Dalam konteks syariat, aqiqah adalah penyembelihan hewan ternak sebagai tanda syukur atas karunia kelahiran seorang anak. Hukum melaksanakan aqiqah menurut pandangan mayoritas ulama adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan).
Pelaksanaan aqiqah adalah bentuk meneladani praktik Nabi Muhammad SAW yang telah mensyukuri kelahiran cucu-cucunya dengan menyembelih hewan kurban. Dengan melaksanakan aqiqah sesuai sunnah, orang tua telah menunaikan hak anak dan mendoakan kebaikan bagi masa depannya.
Terdapat beberapa riwayat yang membahas waktu ideal pelaksanaan aqiqah. Berdasarkan hadis dan pendapat ulama, waktu yang paling utama untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran anak.
Jika karena suatu kendala tidak dapat dilaksanakan pada hari ketujuh, diperbolehkan untuk menundanya hingga hari ke-14, atau maksimal pada hari ke-21. Intinya, disunnahkan untuk menyelesaikannya dalam rentang tiga minggu pertama kehidupan bayi. Jika terlewat sama sekali, beberapa ulama berpendapat bahwa aqiqah tetap dapat dilaksanakan kapan saja, meskipun afdolnya adalah pada masa-masa awal tersebut.
Jumlah hewan yang disembelih untuk aqiqah telah ditetapkan secara jelas dalam hadis-hadis sahih:
Kambing atau domba yang disembelih harus memenuhi syarat yang sama dengan hewan kurban, yaitu tidak cacat, cukup umur (umumnya minimal usia enam bulan untuk domba atau satu tahun untuk kambing, tergantung madzhab), dan sehat secara fisik. Jumlah dua ekor untuk laki-laki ini dimaknai sebagai bentuk kelebihan rahmat dan tanggung jawab yang akan diemban anak laki-laki kelak.
Prosesi aqiqah melibatkan beberapa tahapan penting yang sebaiknya diperhatikan agar sesuai dengan tuntunan Nabi:
Niatkanlah penyembelihan ini semata-mata karena ibadah dan rasa syukur kepada Allah SWT. Proses penyembelihan harus dilakukan oleh seorang muslim dengan menyebut nama Allah (membaca Bismillah, Allahu Akbar). Pemotongan hewan harus dilakukan dengan cara yang paling baik (ihsan) tanpa menyakiti hewan terlalu lama.
Ini adalah poin krusial dalam aqiqah. Daging hasil aqiqah idealnya dibagi menjadi tiga bagian:
Beberapa ulama membolehkan memasak seluruh daging tersebut terlebih dahulu kemudian membagikannya dalam bentuk hidangan siap saji kepada kaum muslimin, tanpa diwajibkan membagikan dalam keadaan mentah. Namun, memastikan porsi sedekah tetap terpenuhi adalah keharusan.
Pada hari ketujuh (atau hari pelaksanaan aqiqah), disunnahkan untuk mencukur bersih rambut bayi yang baru lahir. Sebagian ulama menganjurkan untuk menimbang berat rambut yang dicukur tersebut, lalu menafkahkan perak seberat timbangan rambut tersebut sebagai sedekah tambahan.
Momen aqiqah seringkali menjadi waktu yang baik untuk secara resmi mengumumkan nama indah yang telah dipilihkan untuk anak, disertai dengan doa memohon keberkahan dan perlindungan dari Allah SWT.
Melaksanakan aqiqah bukan hanya ritual, tetapi mengandung hikmah mendalam. Pertama, sebagai wujud terima kasih kepada Allah atas nikmat terbesarnya, yaitu amanah anak. Kedua, ini adalah bentuk perlindungan bagi anak. Dalam Islam, aqiqah dipercaya menjadi semacam tebusan yang dapat melindungi anak dari musibah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
Ketiga, aqiqah mempererat tali silaturahmi. Dengan mengundang kerabat dan membagikan daging hewan sembelihan, umat Islam diajarkan untuk berbagi kebahagiaan dan meneguhkan hubungan sosial dalam bingkai ketaatan. Menyelenggarakan acara aqiqah sesuai sunnah berarti menanamkan nilai syukur dan ketaatan sejak dini dalam kehidupan seorang muslim.