Perkembangan pesat teknologi finansial (Fintech) telah merevolusi cara masyarakat bertransaksi dan berinvestasi. Di tengah gelombang inovasi ini, sektor keuangan syariah memegang teguh prinsip-prinsip fundamental Islam. Inti dari semua transaksi dalam keuangan syariah adalah **Akad**. Akad, yang secara harfiah berarti ikatan atau perjanjian, adalah elemen vital yang memastikan bahwa setiap aktivitas keuangan dilakukan secara adil, transparan, dan bebas dari unsur-unsur yang diharamkan seperti riba (bunga), gharar (ketidakpastian berlebihan), dan maysir (judi).
Dalam konteks Fintech Syariah, tantangan utamanya adalah bagaimana mentransformasi proses akad yang secara tradisional membutuhkan pertemuan fisik dan dokumen formal menjadi proses digital yang cepat namun tetap sah secara syariah. Kesalahan dalam penentuan atau pelaksanaan akad dapat membatalkan seluruh transaksi di mata hukum agama, bahkan jika transaksi tersebut berjalan mulus secara teknis.
Akad dalam Islam merupakan kesepakatan yang mengikat antara dua pihak atau lebih mengenai suatu objek hukum. Agar akad syariah dianggap sah, harus terpenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad meliputi:
Prinsip kesukarelaan dan kerelaan (ridha) merupakan landasan utama. Tanpa kerelaan kedua belah pihak, akad dianggap batal. Dalam Fintech Syariah, kerelaan inilah yang harus dipastikan dapat terefleksikan secara sempurna melalui platform digital.
Fintech Syariah mengoperasikan berbagai layanan, mulai dari pembiayaan peer-to-peer (P2P) lending syariah, crowdfunding, hingga investasi berbasis wakaf digital. Masing-masing layanan ini memerlukan jenis akad yang spesifik. Misalnya, P2P lending syariah sering menggunakan akad Mudharabah (bagi hasil) atau Musyarakah (kemitraan), bukan akad qardh (pinjaman berbunga).
Bagaimana mekanisme ijab qabul (penawaran dan penerimaan) terjadi secara digital? Di sinilah peran teknologi menjadi krusial. Platform Fintech Syariah modern menggunakan mekanisme digitalisasi akad yang meliputi:
Meskipun kemudahan digital sangat menarik, keabsahan shighat (bentuk komunikasi akad) sering menjadi perdebatan. Dalam fikih klasik, lisan dianggap paling utama. Dalam kondisi modern, tulisan (termasuk email, chat, atau antarmuka aplikasi) diterima sebagai pengganti lisan, asalkan memenuhi syarat kejelasan dan ketegasan.
Fintech Syariah harus memastikan bahwa proses persetujuan digital ini tidak mengandung unsur gharar. Jika pengguna hanya sekadar "klik" tanpa benar-benar memahami substansi perjanjian—terutama risiko dan distribusi keuntungan/kerugian—maka integritas akad dapat dipertanyakan. Oleh karena itu, edukasi pengguna mengenai akad yang mereka pilih menjadi tanggung jawab besar bagi para penyedia layanan Fintech Syariah. Kepatuhan terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) mengenai transaksi digital menjadi standar wajib untuk menjamin bahwa inovasi teknologi tidak mengorbankan kepatuhan syariah.
Akad adalah jantung dari Fintech Syariah. Ia merupakan jembatan yang menghubungkan inovasi teknologi dengan kepatuhan prinsip etika dan hukum Islam. Keberhasilan Fintech Syariah di masa depan tidak hanya bergantung pada kecepatan algoritma dan kemudahan antarmuka, tetapi sejauh mana platform tersebut mampu mereplikasi dan mengikatkan akad yang sah, transparan, dan adil dalam lingkungan digital yang serba cepat.