Representasi visual dari kesakralan akad nikah Minang.
Akad nikah, dalam konteks adat Minangkabau, bukanlah sekadar formalitas hukum atau agama untuk mengesahkan ikatan pernikahan. Ia adalah puncak dari serangkaian prosesi adat yang panjang, sebuah ritual penuh makna yang mengikat dua insan, bukan hanya di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan ninik mamak (tetua adat) dan seluruh suku. Keabsahan sebuah perkawinan Minang sangat bergantung pada sahnya akad ini.
Prosesi akad dalam budaya Minang sangat mengedepankan aspek religi Islam yang terintegrasi kuat dengan filosofi adatnya, yaitu Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Ini berarti bahwa setiap tahapan, termasuk akad, harus sesuai dengan prinsip syariat Islam, namun dieksekusi dengan tata cara adat yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Sebelum ijab kabul (akad) dilaksanakan, terdapat beberapa tahapan penting yang wajib dilalui. Proses ini dimulai dari maminang (meminang), dilanjutkan dengan batobo (pembicaraan resmi), dan puncaknya adalah malam bainai. Meskipun akad adalah fokus utama, kelancaran prosesi sebelumnya menjamin keberkahan pada saat ijab kabul. Pihak keluarga mempelai wanita (rumah gadang) memiliki peran sentral dalam menentukan waktu dan tempat pelaksanaan akad.
Pada hari pelaksanaan akad, suasana dipenuhi dengan kekhidmatan. Calon mempelai pria (atau marapulai) biasanya didampingi oleh wali nikah dan saksi dari pihak keluarga besar. Kehadiran para mamak-mamak (paman dari pihak ibu) sangat krusial karena mereka adalah penjamin kehormatan dan status calon suami.
Akad nikah adat Minang umumnya dilaksanakan di rumah kediaman mempelai wanita, seringkali di ruang tengah yang telah dipersiapkan secara khusus. Kehadiran penghulu (pemimpin upacara nikah, bisa dari unsur agama atau adat yang diakui) memimpin jalannya prosesi.
Inti dari akad adalah prosesi ijab kabul. Dalam adat Minang, ijab (penyerahan) dilakukan oleh wali nikah atau imam kanduang (ayah kandung) mempelai wanita kepada mempelai pria. Kalimat yang diucapkan harus jelas, tanpa keraguan, dan disaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat syar'i. Setelah kabul terucap, ikatan pernikahan secara agama dan adat dianggap sah.
Setelah akad selesai, dilakukan pembacaan doa dan penyerahan mahar (mas kawin). Mahar dalam tradisi Minang memiliki bobot simbolis yang tinggi, seringkali berupa uang tunai, emas, atau perlengkapan shalat, yang secara adat diyakini sebagai hak penuh istri.
Berbeda dengan beberapa tradisi lain, akad dalam adat Minang langsung diikuti dengan penyerahan tanggung jawab. Setelah akad, mempelai pria resmi diakui sebagai suami yang memimpin rumah tangga barunya. Namun, uniknya, dalam struktur sosial Minang yang matrilineal, tanggung jawab utama pengurusan harta pusaka tetap berada pada kaum wanita (ibu dan saudara laki-laki ibu).
Mempelai pria (marapulai) diharapkan menjunjung tinggi nilai-nilai Minang dan menghormati keluarga besar istrinya. Akad nikah menandai dimulainya peran gandanya: sebagai imam dalam rumah tangga kecilnya dan sebagai anggota yang terhormat dalam struktur adat di mana istrinya berada. Keseluruhan proses ini menegaskan bahwa akad nikah Minang adalah fondasi yang kokoh, menggabungkan ketegasan syariat dengan kehangatan dan struktur adat yang kuat.
Meskipun seringkali meriah dengan berbagai pesta adat, inti dari akad itu sendiri diupayakan sesederhana dan sesakral mungkin, fokus pada pertukaran janji suci. Ini mencerminkan prinsip hidup orang Minang yang menghargai kesungguhan di balik setiap ritual. Akad adalah titik tolak, bukan akhir dari perjalanan adat sebuah pasangan.