Ilustrasi keseimbangan antara akal dan wahyu dalam teologi.
Akidah Asy'ariyah, atau yang juga dikenal sebagai mazhab Asy'ariyah, merupakan salah satu corak teologi (kalam) Sunni yang paling dominan dan berpengaruh dalam sejarah Islam. Didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (wafat sekitar 936 M), mazhab ini muncul sebagai respons terhadap perdebatan teologis yang intens pada abad ke-10, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, kehendak bebas manusia, dan konsep ciptaan.
Latar belakang munculnya Akidah Asy'ariyah adalah upaya untuk mendamaikan antara otoritas teks suci (Al-Qur'an dan Sunnah) dengan penggunaan alat rasional (akal) dalam memahami doktrin keimanan. Sebelum Al-Asy'ari, telah ada dua kutub pemikiran: kelompok yang cenderung sangat tekstualis (seperti Ahlus Sunnah tradisionalis awal) dan kelompok yang sangat mengandalkan rasionalitas (seperti Mu'tazilah). Al-Asy'ari, yang awalnya merupakan pengikut Mu'tazilah, kemudian beralih dan membangun jalan tengah yang kokoh.
Prinsip utama yang membedakan Asy'ariyah adalah pendekatan mereka terhadap sifat-sifat Allah (Asma wa Sifat). Mereka berpegang teguh pada prinsip tatsbit bi bila takyif (menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya dalam nash tanpa menanyakan bagaimana caranya/tanpa tasybih). Hal ini berarti mereka menerima semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an (seperti tangan, wajah, pendengaran, penglihatan Allah) tanpa mengartikannya secara harfiah yang menyerupai makhluk (tafwidh makna), namun juga tanpa menolak keberadaannya (tafwidhul makna/ta'wil).
Dalam pandangan Asy'ariyah, akal memiliki peran penting dalam memahami kebenaran, namun akal tidak bisa berdiri sendiri dalam menetapkan seluruh kebenaran iman. Akal hanya berfungsi untuk memahami dan membuktikan kebenaran wahyu yang dibawa oleh para nabi. Jika terjadi pertentangan antara kesimpulan akal dan teks wahyu, maka wahyu (nash) yang didahulukan, meskipun mereka menekankan bahwa nash tidak akan pernah bertentangan dengan akal yang sehat.
Salah satu isu teologis paling kompleks yang dibahas dalam Akidah Asy'ariyah adalah masalah kehendak bebas manusia (free will) versus qada dan qadar (ketetapan Allah). Untuk menjaga kemahakuasaan Allah (tauhid al-af'al) sekaligus mempertahankan pertanggungjawaban moral manusia, Al-Asy'ari memperkenalkan konsep Kasb (perolehan atau akuisisi).
Menurut konsep ini, perbuatan manusia diciptakan secara total oleh Allah. Manusia tidak menciptakan perbuatannya sendiri. Namun, manusia "memperoleh" (kasb) perbuatan tersebut, yang berarti manusia memiliki kecenderungan atau niat untuk melakukannya, sehingga ia bertanggung jawab atas perbuatan yang telah diciptakan Allah di dalam dirinya. Konsep kasb ini bertujuan menghindari dua ekstrem: fatalisme total (jabariyah) dan penolakan total terhadap kekuasaan Allah atas tindakan manusia (Mu'tazilah).
Sepanjang sejarah, mazhab Asy'ariyah telah menjadi landasan teologis utama bagi mayoritas Sunni di wilayah Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Tokoh-tokoh besar seperti Imam Al-Ghazali adalah pembela setia dan pengembang utama pemikiran Asy'ariyah. Pengaruh mereka terlihat jelas dalam ilmu kalam, di mana mereka mengembangkan metodologi yang ketat dalam mempertahankan keyakinan Sunni dari serangan filosofis dan teologis aliran lain.
Dengan demikian, Akidah Asy'ariyah merepresentasikan sebuah sintesis yang canggih, berusaha menempatkan iman di atas landasan yang rasional tanpa mengorbankan otoritas mutlak dari wahyu ilahi. Ini menjadikan mazhab Asy'ariyah sebagai benteng pertahanan teologis yang rasional dan moderat dalam tradisi Sunni.