Dalam khazanah keilmuan Islam, fondasi keimanan (aqidah) adalah pilar utama yang menopang seluruh aspek kehidupan seorang Muslim. Namun, tidak semua pendekatan terhadap aqidah memiliki landasan yang sama. Salah satu corak penting yang menekankan peran sentral akal dalam menelaah kebenaran ilahiah adalah aqidah aqliyah.
Secara harfiah, aqidah aqliyah berarti keyakinan yang didasarkan atau didukung oleh akal (rasio atau logika). Ini berbeda dengan aqidah yang murni bertumpu pada taklid (ikut-ikutan tanpa verifikasi) atau hanya bersandar pada tradisi semata. Aqidah aqliyah mendorong seorang mukmin untuk tidak hanya menerima kebenaran yang disampaikan melalui wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah), tetapi juga memahami dan memvalidasi kebenaran tersebut melalui perangkat berpikir logis yang dianugerahkan Allah SWT.
Tujuan utama dari pendekatan ini bukanlah untuk menggantikan wahyu dengan akal—sebuah kesalahan fatal dalam teologi—melainkan untuk menggunakan akal sebagai alat validasi awal dan penjelas konsep. Akal berfungsi sebagai pintu gerbang untuk menerima kebenaran yang, pada akhirnya, akan melampaui batas kemampuan akal itu sendiri (ghaib).
Mengapa akal perlu terlibat? Karena syariat Islam sendiri telah memuliakan kedudukan akal. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berfikir, merenung (tafakkur), dan menggunakan daya nalar (ta’aqqul). Ketika seseorang pertama kali mendengar seruan tauhid, akalnya akan bekerja untuk menganalisis argumen keberadaan Tuhan dan keesaan-Nya.
Pembahasan mengenai sifat-sifat Allah SWT, misalnya, sangat mengandalkan mekanisme aqidah aqliyah. Meskipun detail hakikat sifat-sifat tersebut berada di ranah wahyu, konsep dasar seperti keharusan adanya Pencipta (kebutuhan akan sebab pertama/Illat Pertama) sering kali dapat dijangkau melalui penalaran logis, seperti argumen tentang keteraturan alam semesta (argumentasi kosmologis). Akal membuktikan bahwa keberadaan sesuatu yang niscaya (wajib al-wujud) adalah suatu keniscayaan logis.
Penting untuk ditekankan bahwa aqidah aqliyah bukanlah rasionalisme mutlak yang menyatakan bahwa semua hal harus dapat dijelaskan secara ilmiah atau logis. Dalam Islam, terdapat ranah yang disebut al-Ghayb (hal-hal gaib) seperti hakikat hari kiamat, detail kehidupan di alam barzakh, atau hakikat Dzat Allah. Di ranah ini, akal mengakui keterbatasannya.
Ketika akal telah mencapai batas kemampuannya dan menemukan bahwa suatu ajaran bersumber dari wahyu yang shahih, maka tugas akal adalah tunduk dan menyerahkan diri. Inilah yang membedakan seorang Muslim yang beriman secara aqliyah dengan seorang filosof murni. Iman yang kokoh terletak pada sintesis harmonis antara penerimaan wahyu (naql) yang benar dan pemahaman yang didukung akal (aql).
Kaum Mu'tazilah, misalnya, sering kali dianggap sebagai representasi ekstrem dari pendekatan ini, di mana mereka cenderung menolak ayat-ayat yang secara tekstual tampak bertentangan dengan logika mereka. Sebaliknya, pendekatan Sunni yang moderat, seperti yang dianut oleh Asy'ariyah dan Maturidiyah, berupaya menempatkan akal sebagai pengawal kebenaran wahyu, bukan hakim utama. Mereka mencari cara untuk menyelaraskan keduanya, memastikan bahwa ajaran agama tetap rasional dan dapat diterima oleh hati yang jujur dan pikiran yang jernih.
Menganut aqidah aqliyah memberikan beberapa manfaat krusial. Pertama, ia menghasilkan keimanan yang lebih kuat (yaqin) karena tidak mudah goyah saat menghadapi syubhat atau keraguan. Keimanan yang hanya hafalan mudah diruntuhkan oleh satu pertanyaan logis yang tajam. Kedua, ia membekali seorang Muslim untuk berdakwah dan berdialog secara persuasif dengan pemikir dari latar belakang berbeda, karena ia mampu menyajikan argumen yang terstruktur dan logis.
Ketiga, ini menjaga kemurnian ajaran Islam dari bid’ah yang muncul akibat interpretasi yang tidak berlandaskan pertimbangan logis. Dengan akal yang terdidik oleh wahyu, seorang Mukmin mampu membedakan mana kebenaran mutlak dan mana interpretasi keliru yang menyesatkan. Pada akhirnya, aqidah aqliyah adalah ajakan untuk beriman dengan kesadaran penuh, bukan sekadar kepatuhan buta.