Buya Yahya, nama lengkap Yahya Zainul Ma'arif, adalah salah satu ulama kontemporer Indonesia yang sangat dihormati, terutama karena pendekatannya yang lugas dan berbasis dalil dalam menjelaskan berbagai persoalan agama, termasuk dasar-dasar keimanan atau aqidah. Pemahaman aqidah yang disampaikan oleh Buya Yahya seringkali menyentuh akar permasalahan yang sering disalahpahami oleh masyarakat awam. Fokus utamanya adalah kembali kepada sumber ajaran Islam yang murni: Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana dipahami oleh para ulama salaf.
Visualisasi konsep kejelasan dasar keimanan.
Tauhid: Fondasi Utama Aqidah
Dalam pandangan Buya Yahya, penekanan terbesar dalam aqidah adalah pada Tauhid (keesaan Allah SWT). Beliau selalu mengingatkan umat untuk memurnikan ibadah dan keyakinan hanya kepada Allah, menjauhi segala bentuk kesyirikan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Kesalahan dalam memahami Tauhid, menurut beliau, merupakan penyakit spiritual paling berbahaya yang dapat menghapus seluruh amal ibadah. Pengajaran beliau sangat menonjolkan pentingnya memahami nama dan sifat Allah (Asma’ul Husna) sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam dalil tanpa tahrif (pengubahan makna), ta’thil (penolakan), takyif (menanyakan bagaimana), atau tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Menolak Bid'ah dalam Ibadah
Sejalan dengan penegasan Tauhid, pembahasan mengenai bid'ah menjadi pilar penting dalam kajian aqidah Buya Yahya. Bid'ah didefinisikan sebagai amalan agama yang tidak memiliki dasar syar'i yang sahih dari Rasulullah SAW. Buya Yahya mengajarkan bahwa dalam masalah ibadah, patokan utamanya adalah "at-tawqiif" (mengikuti dalil) bukan "al-ijtihad" (pendapat bebas). Beliau sering mengutip kaidah bahwa "Semua perkara agama yang baru adalah bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat." Penekanan ini bertujuan agar umat Islam tidak menambah-nambah atau mengurangi ritual keagamaan yang telah disempurnakan oleh syariat.
Sikap Terhadap Perbedaan Madzhab
Salah satu ciri khas pendekatan Buya Yahya adalah kebijaksanaannya dalam menyikapi perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara ulama, terutama dalam masalah fiqih, yang sering kali disalahartikan sebagai perbedaan aqidah. Buya Yahya secara tegas memisahkan ranah ijtihad (cabang hukum) dari ranah aqidah (pokok keimanan). Beliau mendorong umat untuk mengikuti madzhab (mazhab) yang ada sebagai panduan dalam beribadah, namun tetap mempertahankan standar aqidah yang solid dan murni berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Argumentasinya seringkali menekankan bahwa selama suatu amalan memiliki landasan yang kuat dari ulama yang kredibel, perbedaan tersebut adalah rahmat, bukan alasan untuk saling mencela atau menuduh sesat.
Pentingnya Pemahaman Logis dan Dalil
Dalam menyampaikan materi aqidah, Buya Yahya sering menggunakan pendekatan yang mudah dicerna namun tetap berlandaskan dalil naqli (dalil dari teks) dan aqli (dalil rasional yang mendukung teks). Beliau tidak menyukai pendekatan yang terlalu mengandalkan filsafat kosong atau retorika tanpa substansi dalil. Bagi beliau, aqidah yang benar harus kokoh seperti gunung, dan kekokohan itu hanya bisa didapat melalui pemahaman yang benar terhadap wahyu Allah dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Kajian beliau memberikan rasa aman kepada masyarakat bahwa keimanan mereka bertumpu pada pondasi yang kuat dan teruji.
Menjaga Lisan dan Hati
Aqidah bukan hanya urusan keyakinan di hati, melainkan juga termanifestasi dalam ucapan dan perbuatan. Buya Yahya sering mengingatkan bahwa bagian integral dari aqidah yang benar adalah menjaga lisan dari ghibah, fitnah, dan ucapan keji, serta membersihkan hati dari iri dengki dan permusuhan. Ketika hati dan lisan sudah selaras dengan aqidah Tauhid yang benar, maka seorang muslim akan hidup dengan ketenangan dan kedamaian, karena ia yakin bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan kehendak Allah SWT semata. Mempelajari aqidah Buya Yahya adalah upaya untuk mereformasi pemahaman agar kembali fokus pada hal-hal pokok yang menyelamatkan akidah individu.
Secara keseluruhan, aqidah menurut Buya Yahya adalah upaya sistematis untuk menanamkan pemahaman Tauhid yang murni, menjauhi penyimpangan akidah dan bid'ah dalam praktik, serta menempatkan dalil sebagai hakim tertinggi dalam semua persoalan keagamaan, sambil tetap berpegang pada sikap toleransi dalam ranah ijtihadi.