Representasi Konsep Pemikiran Ibnu Sina
Ibnu Sina, atau dikenal di dunia Barat sebagai Avicenna, adalah salah satu raksasa intelektual Islam yang karyanya melintasi batas filsafat, kedokteran, dan teologi. Salah satu aspek pemikirannya yang paling mendalam adalah terkait aqidah (keyakinan teologis) yang ia bangun di atas fondasi filsafat Aristotelian dan Neoplatonik, yang kemudian diharmonisasikan dengan ajaran Islam. Pendekatan Ibnu Sina terhadap aqidah bukanlah sekadar penerimaan dogmatis, melainkan upaya intelektual untuk membuktikan kebenaran Tuhan dan alam semesta melalui penalaran murni.
Inti dari argumen metafisika Ibnu Sina adalah konsep 'Wajib al-Wujud' (Yang Pasti Ada) dan 'Mumkin al-Wujud' (Yang Mungkin Ada). Konsep ini menjadi landasan kokoh bagi pembuktian keberadaan Tuhan. Menurut Ibnu Sina, semua hal di alam semesta—kecuali Tuhan—adalah Mumkin al-Wujud; keberadaan mereka tidak esensial; mereka ada karena sebab eksternal. Jika kita menelusuri rantai sebab-akibat ini ke belakang tanpa henti, niscaya kita akan menemui jalan buntu. Oleh karena itu, harus ada satu entitas yang keberadaannya mutlak, yang keberadaannya inheren dalam esensinya, yaitu Wajib al-Wujud. Inilah yang ia samakan dengan Allah SWT.
Pembuktian ini, sering disebut 'Argumentasi Kebutuhan dan Kemungkinan' (Necessity and Contingency Argument), menunjukkan betapa seriusnya Ibnu Sina dalam meletakkan dasar rasional bagi aqidah. Ia percaya bahwa akal (aql) adalah alat utama untuk memahami kebenaran ilahi, meskipun wahyu tetap menjadi sumber otoritatif.
Dalam domain kenabian (nubuwwah) dan sifat-sifat ilahi, Ibnu Sina mengintegrasikan konsepnya tentang Jiwa Rasional (Nafs al-Natiqah). Ia berpendapat bahwa nabi adalah manusia dengan kapasitas spiritual dan intelektual tertinggi. Jiwa nabi memiliki kemampuan untuk bersentuhan langsung dengan 'Aql al-Faal' (Akal Aktif) atau Malaikat Agung, yang merupakan perantara antara Tuhan dan alam fisik.
Bagi Ibnu Sina, wahyu bukanlah sekadar suara gaib, melainkan hasil dari proses intelek yang mencapai kesempurnaan tertinggi. Ketika akal seorang nabi terhubung dengan Akal Aktif, ia menerima pengetahuan murni yang kemudian diinterpretasikan dan disampaikan kepada manusia melalui bahasa simbolis dan konkrit, yang kita kenal sebagai kitab suci. Hal ini memberikan penjelasan filosofis tentang bagaimana pesan ilahi bisa turun ke dunia material.
Salah satu aspek aqidah Ibnu Sina yang paling kontroversial adalah teori penciptaan melalui emanasi (pemancaran), bukan penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) seperti dalam teologi tradisional murni. Ia menjelaskan bahwa dari keesaan Wajib al-Wujud, muncul serangkaian kesatuan yang bertingkat (sepuluh akal).
Proses emanasi ini bukanlah proses temporal, melainkan hubungan ketergantungan ontologis abadi. Meskipun konsep ini sering dikritik karena terlihat bertentangan dengan konsep penciptaan Islam yang eksplisit, para pembela Ibnu Sina berargumen bahwa emanasi ini harus dipahami sebagai manifestasi abadi dari Kemahakuasaan Tuhan, bukan sebagai proses yang mengurangi kehendak bebas Ilahi. Ia berusaha menjelaskan bagaimana alam semesta yang majemuk muncul dari sumber yang Esa tanpa melanggar prinsip keesaan Tuhan.
Aqsidah yang dirumuskan oleh Ibnu Sina memberikan kerangka kerja intelektual yang kuat bagi para teolog dan filsuf Islam berikutnya, terutama di kalangan rasionalis. Karyanya, terutama dalam Al-Shifa (The Book of Healing), menjadi jembatan penting antara pemikiran Yunani kuno dan Islam. Meskipun demikian, pendekatannya yang sangat bergantung pada logika Neoplatonik membuatnya sering berbenturan dengan teologi Asy'ariyah yang lebih menekankan pada otoritas teks dan kehendak mutlak Tuhan.
Secara keseluruhan, Ibnu Sina menunjukkan bahwa aqidah dapat dan harus diperkuat oleh akal. Ia tidak pernah meninggalkan iman; sebaliknya, ia berusaha untuk memberikan landasan rasional yang paling kokoh bagi keyakinan fundamental seorang Muslim, menjadikannya salah satu pemikir yang paling berpengaruh dalam sejarah peradaban. Pemikirannya memaksa umat Islam untuk melihat Tuhan tidak hanya sebagai entitas yang harus dipatuhi, tetapi juga sebagai Kebenaran Agung yang harus dipahami.
— Analisis ini berfokus pada kerangka filosofis Ibnu Sina mengenai dasar-dasar keyakinan.