Aqidah Menurut Ibnu Taimiyah: Fondasi Tauhid Murni

Simbol Keimanan dan Ilmu Representasi abstrak dari buku terbuka, pena, dan cahaya yang melambangkan ilmu dan aqidah.

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Taimiyah, adalah salah satu ulama besar Sunni yang pengaruh pemikirannya terhadap teologi (Aqidah) Islam sangat signifikan. Aqidah yang dianutnya merupakan penegasan kembali terhadap prinsip-prinsip fundamental Islam yang bersumber langsung dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana dipahami oleh generasi awal (Salafush Shalih).

Prinsip Dasar: Kembali kepada Salaf

Inti dari manhaj (metodologi) aqidah Ibnu Taimiyah adalah penolakan keras terhadap taklid buta (taqlid) dan penolakan terhadap penambahan-penambahan filosofis atau spekulatif yang masuk ke dalam ranah keyakinan Islam. Baginya, kemurnian akidah dicapai dengan mengikuti pemahaman para sahabat Nabi dan Tabi'in. Ia berargumen bahwa persoalan keimanan seharusnya tidak diselesaikan melalui dialektika filosofis Yunani yang dibawa oleh kelompok-kelompok kalam, melainkan melalui penyerahan diri penuh terhadap teks wahyu.

Tauhid Sebagai Pilar Utama

Konsep Tauhid adalah poros utama aqidah Ibnu Taimiyah. Ia menguraikan Tauhid dalam tiga kategori yang saling melengkapi: Tauhid Rububiyah (keesaan Allah dalam penciptaan dan pengaturan), Tauhid Uluhiyah (keesaan Allah dalam peribadatan), dan Tauhid Asma' wa Sifat (keesaan Allah dalam nama dan sifat-sifat-Nya).

Dalam pembahasan Asma' wa Sifat, Ibnu Taimiyah sangat tegas menentang dua ekstrem: Ta’thil (penolakan atau peniadaan sifat Allah) dan Tasbih (menyerupakan sifat Allah dengan makhluk). Metodenya adalah Ithbat (penetapan) sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Al-Qur'an dan hadis, tanpa tahrif (pengubahan makna), ta’wil (interpretasi alegoris yang menyimpang), takyeef (mempertanyakan 'bagaimana' sifat itu ada), dan tamtsil (penyerupaan). Ia menegaskan bahwa Allah beristiwa' di atas 'Arsy dengan cara yang layak bagi-Nya, dan pengetahuan tentang 'bagaimana' diserahkan sepenuhnya kepada Allah (Bilaa kayf).

Sikap Terhadap Kalam dan Filsafat

Ibnu Taimiyah dikenal karena kritik tajamnya terhadap teologi rasionalistik yang berkembang di masanya, terutama aliran Asy'ariyah dan Mu'tazilah. Ia memandang bahwa ketika akal dan logika digunakan sebagai hakim utama di atas wahyu, kekacauan dan penyimpangan akidah akan terjadi. Baginya, akal adalah alat yang diperlukan untuk memahami wahyu, namun ia tidak boleh melampaui batas dan bertindak sebagai penentu validitas kebenaran ilahiah. Wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) adalah otoritas tertinggi yang harus diterima secara mutlak.

Kedudukan Nabi dan Perantaraan (Wasilah)

Aqidah Ibnu Taimiyah juga menekankan hubungan langsung antara hamba dengan Tuhannya. Ia menolak praktik yang ia anggap sebagai bentuk syirk atau bid'ah, seperti permintaan syafa’at (pertolongan) kepada orang mati atau menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah yang diagungkan. Baginya, doa dan permohonan hanya boleh ditujukan langsung kepada Allah SWT. Sementara itu, Nabi Muhammad ﷺ dihormati sebagai utusan teragung, namun penghormatan tersebut tidak boleh melewati batas yang dapat menyeret pada pemujaan yang melanggar tauhid.

Pengaruh dan Warisan

Pemikiran aqidah Ibnu Taimiyah, yang terangkum dalam karya-karya monumentalnya seperti Majmu' al-Fatawa dan Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, memberikan fondasi kuat bagi gerakan pembaharuan Islam yang menekankan pemurnian agama dari tradisi yang dianggap tidak bersumber dari teks asli. Semangatnya dalam mengkritisi inovasi agama (bid'ah) dan menegakkan tauhid yang murni terus menjadi rujukan utama bagi banyak kalangan Muslim yang memperjuangkan kembali kepada manhaj salaf. Aqidahnya bukan sekadar sistem teologis, melainkan panggilan untuk kembali kepada sumber otentik ajaran Islam.

🏠 Homepage