Sultan Mehmed II, yang lebih dikenal dalam sejarah sebagai Muhammad Al Fatih (Sang Penakluk), bukan hanya seorang ahli strategi militer ulung, tetapi juga seorang pemimpin yang fondasi kekuasaannya dibangun di atas **aqidah** (keyakinan) Islam yang kokoh. Kisah penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453 tidak dapat dilepaskan dari keimanan mendalam yang ia miliki, sebuah iman yang membentuk karakternya sebagai seorang pemimpin yang adil dan visioner.
Aqidah Al Fatih telah dibentuk sejak masa mudanya. Ia tumbuh di bawah didikan para ulama dan ilmuwan terkemuka pada masanya. Berbeda dengan beberapa sultan sebelumnya, Mehmed II sangat menghargai ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu duniawi seperti matematika, astronomi, dan teknik pengepungan. Keteguhan aqidahnya terlihat jelas dari pemahamannya bahwa penaklukan kota yang dianggap "mustahil" tersebut adalah sebuah janji kenabian yang harus ia tunaikan sebagai seorang Muslim.
Keyakinan akan janji Allah SWT, yang diriwayatkan melalui hadis tentang penaklukan Konstantinopel, menjadi motivasi utama yang mendorongnya melampaui rintangan militer yang luar biasa. Bagi Al Fatih, tujuan penaklukan bukan sekadar perebutan wilayah, melainkan pelaksanaan sebuah takdir ilahi yang harus dicapai dengan cara-cara yang sesuai syariat. Ia memastikan bahwa pasukannya berjuang atas dasar kebenaran (haq), bukan semata-mata nafsu penaklukan.
Aqidah seorang pemimpin termanifestasi dalam cara ia memimpin. Setelah berhasil menaklukkan kota suci Bizantium, respons pertama Muhammad Al Fatih adalah menjaga kehormatan agama dan melindungi warga sipil yang telah menyerah, sesuai dengan prinsip-prinsip perang dalam Islam. Ia memasuki kota dengan hormat, menuju Hagia Sophia, yang kemudian ia ubah menjadi masjid. Keputusan ini adalah deklarasi nyata dari identitas spiritualnya: seorang pemimpin yang tunduk pada hukum Islam.
Bukan hanya itu, Al Fatih dikenal sangat memperhatikan keadilan sosial. Ia menerapkan sistem pemerintahan yang mengakui keragaman agama di bawah naungan kekuasaannya (sistem Millet). Sikap toleran yang pragmatis ini berakar dari pemahaman aqidahnya bahwa Islam mengajarkan perlindungan terhadap "Ahlul Kitab" (Pemilik Kitab) dan bahwa pemaksaan keyakinan adalah bertentangan dengan prinsip dasar agama. Keadilan ini dipercaya menjadi salah satu kunci stabilitas kekaisaran yang ia bangun.
Kisah legendaris pemindahan kapal-kapal perang melalui darat untuk melewati Tanduk Emas adalah bukti bagaimana kombinasi antara kecerdasan strategis dan keyakinan spiritual bekerja sama. Untuk meyakinkan pasukannya menghadapi tembok Theodosius yang terkenal sulit ditembus, Al Fatih harus memastikan moral mereka tetap tinggi. Dukungan doa, semangat jihad yang benar, serta keyakinan kolektif bahwa kemenangan adalah bagian dari izin Allah menjadi bahan bakar utama dalam pengepungan yang berlangsung lama tersebut.
Aqidah Al Fatih memberinya keberanian untuk mengambil risiko besar yang dipertimbangkan secara matang. Ia tidak bertindak berdasarkan spekulasi semata, melainkan didorong oleh tujuan mulia yang berakar pada kitab suci dan sunnah. Ia memahami bahwa kekuatan fisik tanpa panduan spiritual yang jelas akan mudah goyah saat menghadapi kesulitan.
Muhammad Al Fatih mengajarkan kepada generasi penerusnya bahwa menjadi penguasa berarti memikul tanggung jawab besar di hadapan Tuhan. Aqidahnya adalah kompas moralnya. Meskipun ia seorang penakluk besar, warisan terbesarnya mungkin adalah bagaimana ia mengintegrasikan aspek spiritualitasnya ke dalam manajemen negara, ilmu pengetahuan, dan peperangan. Ia membuktikan bahwa seorang pemimpin besar harus memiliki visi yang melampaui kepentingan duniawi sesaat.
Oleh karena itu, mempelajari aqidah Muhammad Al Fatih adalah mempelajari bagaimana iman yang murni dapat mendorong seseorang mencapai puncak kejayaan tanpa harus mengorbankan integritas moral dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang diajarkan oleh agamanya. Keteguhan imannya lah yang mengubah seorang sultan muda menjadi legenda abadi dalam sejarah peradaban Islam.