Aqidah Muhammadiyah Bersumber dari Mana? Memahami Dasar Keimanan

Sumber Pencerahan Keimanan

Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki landasan teologis yang kokoh dan jelas. Landasan ini menjadi pondasi utama bagi seluruh aktivitas dan pemikiran gerakan. Pertanyaan fundamental yang sering muncul adalah: aqidah Muhammadiyah bersumber dari mana? Jawabannya sangat spesifik dan merupakan titik tolak utama dari pembaruan Islam yang diusung oleh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai Sumber Utama

Secara tegas, Muhammadiyah menyatakan bahwa sumber tunggal dan utama bagi aqidah (keyakinan) adalah Al-Qur'anul Karim dan As-Sunnah an-Nabawiyyah yang shahih. Ini adalah prinsip fundamental yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan-gerakan yang cenderung mengutamakan tradisi, ijtihad non-tekstual yang tidak teruji, atau taklid buta.

Dasar pemikiran ini selaras dengan semangat tajdid (pembaharuan) yang menekankan perlunya kembali kepada ajaran Islam yang murni sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya (salafus shalih). Muhammadiyah menolak segala bentuk paham yang menyimpang atau ajaran yang dimasukkan ke dalam agama (bid'ah) yang tidak memiliki dasar kuat dalam kedua sumber primer tersebut.

Penguatan Konsep Tauhid

Fokus utama dalam penerapan aqidah ini adalah penguatan konsep tauhid yang murni. Aqidah Muhammadiyah bersifat anti-takhayul, anti-bid'ah, dan anti-syirik. Ini berarti upaya terus-menerus dilakukan untuk membersihkan praktik keagamaan dari unsur-unsur yang dianggap mengotori kemurnian ibadah dan keyakinan kepada Allah SWT semata. Ritualistik yang tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW cenderung ditinggalkan atau dievaluasi ulang berdasarkan kajian mendalam terhadap Al-Qur'an dan Sunnah.

Paham Keagamaan yang Rasional dan Kontekstual

Meskipun bersumber pada wahyu, Muhammadiyah juga menekankan pentingnya pemahaman yang rasional dan kontekstual terhadap sumber-sumber tersebut. Ini bukan berarti mencampuradukkan rasio dengan wahyu, melainkan menggunakan akal sehat—yang juga merupakan nikmat dari Allah—untuk memahami bagaimana ajaran Islam dapat diaplikasikan secara efektif di tengah tantangan zaman.

Proses ijtihad dalam Muhammadiyah selalu mengacu pada kaidah ushul fikih yang sahih, namun titik tolaknya tetaplah Al-Qur'an dan Sunnah. Pemahaman terhadap kaidah 'Amal Ma'ruf Nahi Munkar' misalnya, selalu dikembalikan pada bagaimana Nabi Muhammad SAW mengajarkan cara berdakwah yang santun namun tegas dalam membela kebenaran, selalu berpegang pada nash (teks) yang kuat.

Hubungan dengan Tradisi Keilmuan Klasik

Penting untuk dicatat bahwa meskipun menolak taklid, Muhammadiyah menghormati dan mengakui kontribusi para ulama klasik yang telah berijtihad dalam rangka menafsirkan dan memahami Al-Qur'an dan Sunnah. Namun, ijtihad para ulama tersebut diposisikan sebagai panduan dan referensi pendukung, bukan sebagai sumber hukum yang setara dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Secara spesifik, pemikiran teologis Muhammadiyah cenderung sejalan dengan corak pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama'ah, namun dengan penekanan kuat pada semangat pembaharuan dan pemurnian ajaran. Ini terlihat dalam sikapnya terhadap isu kalamiyah (teologi filosofis) yang cenderung mengambil jalan tengah, menghindari ekstremitas teologis yang pernah terjadi pada masa lalu.

Kesimpulan Rujukan Aqidah

Sebagai rangkuman, aqidah Muhammadiyah bersumber dari dua poros utama: Al-Qur'an dan Hadits yang shahih. Seluruh pemahaman dan praktik keagamaan yang diemban oleh organisasi ini selalu melalui filter pemurnian berdasarkan kedua sumber primer tersebut. Tujuan utamanya adalah mewujudkan kehidupan beragama yang benar-benar sesuai dengan tuntunan ilahi, bebas dari takhayul, bid'ah, dan syirik, serta mampu menjawab tantangan kemajuan zaman melalui pemahaman yang dinamis namun tetap berakar kuat pada otentisitas ajaran Islam. Inilah yang menjadi komitmen tak tergoyahkan bagi setiap kader dan simpatisan Muhammadiyah dalam memelihara keimanan mereka.

🏠 Homepage