Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yang memegang teguh prinsip ajaran Islam ahlussunnah wal jama’ah (ASWAJA). Inti dari identitas keagamaan NU terletak pada landasan teologis dan filosofis yang dikenal sebagai Aqidah NU. Aqidah ini bukan sekadar doktrin teoretis, melainkan panduan praktis dalam memahami Tuhan, alam semesta, dan bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap.
Pondasi Teologis: Mengikuti Empat Imam Mazhab
Aqidah NU secara fundamental berlandaskan pada teologi Asy'ariyah dan Maturidiyah. Kedua aliran kalam ini diakui secara historis sebagai representasi pemahaman Ahlussunnah wal Jama'ah yang moderat dan rasional dalam menjawab tantangan pemikiran filosofis yang masuk ke dunia Islam. Berbeda dengan pemahaman yang ekstrem (baik yang terlalu tekstualis kaku maupun yang terlalu rasionalis bebas), ASWAJA ala NU menempatkan wahyu (Al-Qur'an dan Hadis) sebagai sumber utama, namun juga menggunakan akal (rasio) sebagai instrumen untuk memahami wahyu tersebut secara kontekstual.
Lebih lanjut, dalam aspek fikih, NU berpegang teguh pada empat mazhab Sunni yang diakui: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Pengakuan terhadap kempat mazhab ini menunjukkan sikap inklusif NU terhadap perbedaan metodologi ijtihad, selama manhaj (metodologi) tersebut berada dalam koridor keilmuan yang sahih. Ini merupakan manifestasi dari prinsip Tawassuth (jalan tengah) dan Tawazun (keseimbangan) yang menjadi ciri khas ajaran NU.
Moderasi dan Toleransi sebagai Prinsip Utama
Salah satu pilar utama yang membedakan Aqidah NU di kancah keagamaan global adalah penekanannya pada moderasi (wasatiyyah). Ini berarti menolak segala bentuk sikap berlebihan, baik dalam pengamalan agama maupun dalam berinteraksi sosial. Dalam konteks modern, moderasi ini diterjemahkan menjadi penolakan terhadap segala bentuk takfir (pengkafiran) terhadap Muslim lain yang berbeda pandangan mazhab atau harakat.
Prinsip toleransi dalam NU sangat erat kaitannya dengan konsep ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan). Bagi warga NU, kesetiaan pada NKRI adalah bagian integral dari iman. Oleh karena itu, pemahaman aqidah tidak boleh menjadi alat untuk memecah belah bangsa atau menebar kebencian. Bahkan, NU secara historis menjadi benteng utama melawan ideologi yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Pengamalan Tradisional dan Kearifan Lokal
Aqidah NU juga termanifestasi kuat dalam praktik keagamaan sehari-hari yang seringkali tampak tradisional. Amaliyah seperti pembacaan tahlil, ziarah kubur, peringatan hari besar Islam (seperti Maulid Nabi), dan penggunaan shalawat bukan sekadar tradisi kosong, melainkan memiliki dasar teologis yang dipertahankan oleh para ulama terdahulu.
Dalam pandangan NU, amalan-amalan tersebut, yang kadang dicurigai sebagai bid'ah oleh kelompok lain, justru merupakan bentuk kecintaan dan penghormatan terhadap ajaran Islam yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh para ulama salafus shalih. Yang terpenting adalah niat (niyyah) yang ikhlas dan tidak bertentangan dengan pokok-pokok keimanan.
Tiga Pilar Utama Aqidah NU
Untuk memudahkan pemahaman, Aqidah NU seringkali dirangkum dalam tiga pilar utama yang menjadi panduan berpikir dan bertindak warganya:
- Tawassuth (Jalan Tengah): Menghindari sikap ghuluw (berlebihan) dalam beragama, baik cenderung terlalu kaku maupun terlalu longgar.
- Tawazun (Keseimbangan): Menjaga keseimbangan antara aspek spiritual (ibadah mahdhah) dan aspek sosial (muamalah), antara akal dan hati.
- Tasawwun (Saling Toleransi): Menerima perbedaan pendapat dalam ranah furu'iyah (cabang hukum) dan membangun ukhuwah di atas prinsip persatuan.
Kesimpulannya, Aqidah NU adalah sebuah sistem keyakinan yang kokoh, fleksibel, dan berakar pada tradisi keilmuan Islam klasik. Ia berfungsi sebagai kompas moral dan intelektual bagi jutaan Muslim di Indonesia, memastikan bahwa pemahaman agama selaras dengan realitas sosial, budaya, dan kebangsaan Indonesia, menjadikannya Islam yang rahmatan lil 'alamin dalam konteks Nusantara.