Ilustrasi sederhana: Syukur atas kehadiran buah hati melalui syariat aqiqah.
Aqiqah merupakan salah satu tradisi luhur dalam ajaran Islam yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah) ketika seorang Muslim dikaruniai anak, baik laki-laki maupun perempuan. Secara etimologis, kata 'aqiqah' berarti memotong atau memutuskan. Namun, dalam konteks syariat, aqiqah merujuk pada penyembelihan hewan ternak, biasanya kambing atau domba, sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas nikmat kelahiran seorang anak.
Hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah, yang berarti sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Rasulullah SAW sendiri telah melaksanakan aqiqah untuk kedua cucunya, Hasan dan Husain. Pelaksanaan aqiqah memiliki beberapa hikmah mendalam. Pertama, sebagai ungkapan rasa terima kasih yang tulus kepada Allah SWT yang telah menitipkan amanah berupa keturunan. Kedua, membersihkan anak yang baru lahir dari segala potensi gangguan setan atau hal-hal negatif yang mungkin melekat sejak lahir.
Selain itu, aqiqah berfungsi sebagai sarana untuk memperkenalkan anak baru tersebut kepada lingkungan sosial dan komunitas Muslim dengan cara yang penuh keberkahan. Daging hewan yang disembelih dibagikan kepada kerabat, tetangga, fakir miskin, dan sahabat, sehingga memperkuat tali silaturahmi dan menumbuhkan rasa kepedulian sosial.
Jumlah hewan yang disembelih dalam ibadah aqiqah memiliki ketentuan spesifik berdasarkan jenis kelamin anak:
Para ulama sepakat bahwa hewan yang digunakan harus memenuhi syarat sahnya hewan kurban, seperti usia yang cukup dan terbebas dari cacat fisik. Meskipun demikian, jika keluarga mengalami kesulitan finansial, boleh menyembelih sesuai kemampuan, namun keutamaan tetap pada jumlah yang dianjurkan.
Waktu terbaik untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Hari ketujuh ini dianggap paling afdhol karena bertepatan dengan momen ketika anak mulai terlihat lebih jelas perkembangannya dan penamaannya sering dilakukan. Namun, jika karena alasan tertentu aqiqah tidak dapat dilaksanakan pada hari ketujuh, ia dapat dilaksanakan pada hari keempat belas atau hari kedua puluh satu (kelipatan tujuh). Jika semua waktu tersebut terlewat, para ulama menyatakan bahwa aqiqah tetap dapat dilaksanakan di kemudian hari, meskipun keutamaan waktunya telah hilang.
Dalam konteks modern, pelaksanaan aqiqah seringkali dijadikan momentum besar untuk mengundang kerabat dan mengumumkan nama resmi anak kepada publik. Daging hasil aqiqah biasanya tidak dijual, tetapi dibagikan dalam tiga bagian utama: sebagian dimasak untuk acara syukuran, sebagian dibagikan kepada fakir miskin, dan sisanya untuk dibagikan kepada kerabat dan tetangga sebagai sedekah.
Seringkali terjadi kebingungan antara aqiqah dan qurban. Meskipun keduanya melibatkan penyembelihan hewan ternak, tujuan dan waktu pelaksanaannya berbeda. Qurban dilaksanakan pada Hari Raya Idul Adha dengan tujuan utama mendekatkan diri kepada Allah dan menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim AS. Sementara itu, aqiqah secara spesifik terkait erat dengan rasa syukur atas kelahiran anak, dan waktu pelaksanaannya lebih fleksibel (terutama pada hari ketujuh kelahiran).
Secara keseluruhan, aqiqah adalah manifestasi nyata dari tanggung jawab orang tua Muslim dalam menyambut kehadiran buah hati. Ini bukan sekadar tradisi sosial, melainkan sebuah ibadah yang mengandung nilai spiritual, sosial, dan kehati-hatian terhadap amanah terindah dari Tuhan. Dengan melaksanakan aqiqah sesuai tuntunan syariat, orang tua telah memulai perjalanan spiritual anaknya dengan penuh berkah dan rasa syukur.