Memahami Hukum dan Keutamaan Aqiqah Saat Menikah

Pernikahan adalah momen penting dalam kehidupan seorang Muslim, menandai dimulainya babak baru yang penuh tanggung jawab dan harapan akan keturunan. Dalam merayakan momen sakral ini, muncul pertanyaan terkait tradisi keagamaan, salah satunya adalah mengenai aqiqah saat menikah. Meskipun aqiqah secara umum dikenal sebagai sunnah yang dilakukan saat kelahiran anak, ada pandangan dan praktik yang berkembang seputar pelaksanaannya, terutama bagi pasangan yang belum dikaruniai keturunan.

Simbol Pernikahan dan Keberkahan Gambar abstrak yang menampilkan dua cincin yang saling bertautan di atas siluet keluarga kecil yang bahagia.

Apa Itu Aqiqah dan Hukum Dasarnya?

Aqiqah secara etimologis berarti memotong atau mencukur rambut. Dalam konteks syariat Islam, aqiqah adalah penyembelihan hewan ternak sebagai ungkapan syukur atas kelahiran seorang anak. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa setiap anak tergadai dengan aqiqahnya. Pelaksanaan aqiqah ini dilakukan sekali seumur hidup anak tersebut, biasanya pada hari ketujuh setelah kelahiran.

Hukum aqiqah menurut mayoritas ulama adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Tujuannya jelas, yakni untuk menyambut kehadiran anggota keluarga baru dengan menumpahkan rasa syukur kepada Allah SWT.

Hubungan Aqiqah dengan Pernikahan: Menguak Miskonsepsi

Pertanyaan mengenai aqiqah saat menikah sering muncul dari pasangan yang baru menikah dan berharap segera dikaruniai anak. Penting untuk dicatat bahwa secara tekstual dalam dalil-dalil sahih, aqiqah tidak pernah dikaitkan secara langsung dengan momen akad nikah. Aqiqah adalah ibadah yang terikat erat dengan kelahiran (milad) seorang anak, bukan pernikahan (ijab qabul).

Namun, mengapa muncul praktik atau anggapan bahwa aqiqah bisa dilakukan saat menikah? Ada beberapa kemungkinan latar belakang yang melatarinya:

Aqiqah Setelah Keterlambatan: Bagaimana Hukumnya?

Jika seseorang baru teringat atau mampu melaksanakan aqiqah bertahun-tahun setelah kelahiran anaknya, apakah masih sah? Ya, menurut pendapat kuat para ulama, aqiqah tetap dianjurkan dan sah dilakukan meskipun sudah melewati hari ketujuh. Bahkan, jika orang tua belum mampu saat kelahiran, aqiqah dapat ditanggungkan hingga anak dewasa dan ia mampu, atau bahkan anak tersebut sendiri yang melaksanakan aqiqah untuk dirinya sendiri di kemudian hari.

Ini menunjukkan bahwa fokus utama aqiqah adalah pada syukur kelahiran, bukan pada batasan waktu yang kaku, meskipun hari ketujuh adalah waktu yang paling utama. Oleh karena itu, jika niat Anda saat menikah adalah untuk bersyukur atas rahmat Allah berupa izin untuk membangun rumah tangga, maka syukuran pernikahanlah yang lebih tepat, bukan aqiqah, kecuali jika sudah ada kelahiran.

Keutamaan Menghidupkan Sunnah Aqiqah Setelah Kelahiran

Menghidupkan sunnah aqiqah saat anak lahir memiliki keutamaan besar. Selain ungkapan syukur, aqiqah juga berfungsi sebagai bentuk perlindungan spiritual dan penebusan bagi bayi. Daging aqiqah dianjurkan untuk dibagikan kepada fakir miskin, tetangga, dan kerabat sebagai sarana berbagi kebahagiaan.

Jika pasangan telah menikah dan kini dikaruniai momongan, mereka harus segera merencanakan pelaksanaan aqiqah sesuai sunnah. Melaksanakan aqiqah saat menikah hanyalah sebuah analogi rasa syukur; sementara aqiqah yang sesungguhnya adalah manifestasi syukur atas amanah anak yang telah Allah titipkan. Jangan sampai menunda ibadah yang terikat waktu seperti aqiqah demi tradisi yang belum memiliki dasar syar’i kuat terkait momen pernikahan.

Kesimpulannya, fokuslah pada pelaksanaan ibadah sesuai tuntunan. Jika Anda sedang merayakan pernikahan, lakukanlah syukuran yang sesuai dengan momen tersebut. Jika Anda telah memiliki anak, laksanakanlah aqiqah sesuai waktunya agar keberkahan atas kelahiran tersebut benar-benar terwujud secara syar’i.

🏠 Homepage