Aqiqah adalah salah satu syariat dalam Islam yang memiliki makna mendalam, yaitu bentuk syukur atas kelahiran seorang anak. Secara tradisional, pelaksanaan aqiqah dilakukan saat anak masih kecil, biasanya pada hari ketujuh setelah kelahiran. Namun, muncul pertanyaan yang sering diperdebatkan di kalangan umat: bagaimana hukum dan praktik aqiqah jika dilakukan saat anak sudah memasuki usia dewasa?
Definisi dan Tujuan Awal Aqiqah
Secara etimologis, aqiqah (عقيقة) memiliki beberapa arti, di antaranya rambut yang tumbuh di kepala bayi. Secara terminologi syar'i, aqiqah adalah penyembelihan hewan ternak (kambing atau domba) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia kelahiran seorang anak. Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukumnya, namun mayoritas ulama, termasuk mazhab Syafi'i, menetapkannya sebagai sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan).
Jumlah hewan yang disembelih berbeda antara laki-laki dan perempuan. Untuk anak laki-laki, disunnahkan dua ekor kambing, sementara untuk anak perempuan disunnahkan satu ekor kambing. Daging hasil aqiqah ini kemudian dibagikan kepada kerabat, tetangga, fakir miskin, dan seringkali juga dimasak untuk acara syukuran.
Pandangan Mengenai Aqiqah Umur Dewasa
Pelaksanaan aqiqah yang paling utama dan sesuai dengan sunnah adalah ketika anak masih dalam hitungan hari-hari pertama kehidupannya. Namun, bagaimana jika orang tua lalai atau belum mampu melaksanakannya saat anak masih bayi, dan kini anaknya sudah dewasa (misalnya sudah menikah atau memasuki usia 20-an)?
Menurut pandangan mayoritas ulama kontemporer dan beberapa fatwa lembaga Islam, jika aqiqah terlewat saat masa kanak-kanak, pelaksanaannya masih dianjurkan (sunnah) meskipun anak sudah dewasa. Ini didasarkan pada prinsip bahwa 'ibadah syukur tidak memiliki batas waktu yang ketat selama niatnya tulus dan belum pernah dilaksanakan sebelumnya.
Mengapa Diperbolehkan Aqiqah Saat Dewasa?
- Keutamaan Syukur: Tujuan utama aqiqah adalah syukur nikmat kelahiran. Rasa syukur ini tetap relevan sepanjang hidup, bahkan jika pelaksanaannya tertunda.
- Kewajiban Orang Tua: Aqiqah secara asal adalah tanggungan orang tua. Jika orang tua masih hidup dan mampu, mereka bisa melaksanakannya. Bahkan, sebagian ulama membolehkan anak yang sudah dewasa (jika ia yang menanggung biayanya) untuk melaksanakan aqiqah atas dirinya sendiri sebagai bentuk pemenuhan sunnah yang tertunda, meskipun ini bukan praktik yang paling umum.
- Tidak Ada Dalil Larangan Mutlak: Tidak ada dalil shahih yang secara eksplisit melarang pelaksanaan aqiqah jika dilakukan setelah usia bayi. Penundaan terjadi karena faktor ketiadaan kemampuan atau kelalaian, bukan karena larangan syariat.
Prosedur Aqiqah untuk Dewasa
Jika diputuskan untuk melaksanakan aqiqah saat anak sudah dewasa, prosedur penyembelihan dan pembagian dagingnya umumnya sama dengan pelaksanaan aqiqah pada masa bayi. Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat sah hewan kurban (usia dan kondisi fisik yang baik).
Niat dalam hati saat penyembelihan tetap menjadi inti dari ibadah ini: niat untuk menunaikan sunnah syariat sebagai ungkapan terima kasih atas anugerah kelahiran anak tersebut.
Perbedaan Utama: Mengundang Syukuran
Perbedaan yang mungkin terasa adalah pada aspek sosial. Ketika aqiqah dilakukan pada bayi, seringkali disertai dengan acara syukuran besar. Ketika dilaksanakan pada anak dewasa, acara syukuran bisa disesuaikan dengan kondisi dan kesepakatan keluarga. Intinya tetap pada proses ibadah penyembelihan dan pembagian daging, bukan pada kemewahan acara.
Kesimpulan
Meskipun waktu ideal untuk aqiqah adalah tujuh hari setelah kelahiran, aqiqah umur dewasa tetap sah dan dianjurkan jika memang belum terlaksana sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa rahmat Allah SWT dan kesempatan untuk beribadah serta bersyukur selalu terbuka. Bagi orang tua yang memiliki anak yang kini sudah dewasa namun belum diaqiqahi, ini adalah momentum yang baik untuk menunaikan sunnah tersebut sebagai bentuk pemenuhan hak syar'i anak dan rasa syukur yang tertunda.