Basmalah, frasa suci yang dikenal sebagai بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (Bismillahirrahmanirrahim), adalah sebuah ungkapan yang menyentuh inti ajaran Islam. Ungkapan ini tidak hanya berfungsi sebagai pembuka bagi hampir seluruh surah dalam Al-Qur’an, melainkan juga sebagai pintu gerbang spiritual yang menandai setiap aktivitas seorang Muslim. Namun, status kedudukan Basmalah dalam struktur Al-Qur'an memunculkan perdebatan mendalam dan subtil di kalangan para ulama dan ahli fiqih, terutama mengenai pertanyaan krusial: apakah Basmalah adalah ayat pertama surah?
Perdebatan ini, yang berpusat pada Surah Al-Fatihah dan 112 surah lainnya, memiliki implikasi hukum yang signifikan, khususnya dalam tata cara pelaksanaan salat (sembahyang). Untuk memahami kompleksitas ini, diperlukan tinjauan komprehensif mulai dari definisi linguistik, tafsir teologis, hingga pandangan mazhab fiqih yang berbeda-beda. Basmalah, secara etimologis, adalah kata benda yang diciptakan untuk merujuk pada frasa بسم الله (dengan nama Allah), mirip dengan حَوْقَلَة (hauqalah) yang merujuk pada frasa لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ (La haula wa la quwwata illa billah). Ungkapan ini adalah pondasi penyerahan diri (tauhid) dan pengakuan akan Rahmat Allah yang tak terbatas.
Basmalah merupakan ayat Al-Qur’an yang diturunkan, dan para ulama sepakat bahwa ia adalah bagian dari Al-Qur'an secara keseluruhan, setidaknya dalam satu konteks spesifik di Surah An-Naml. Namun, statusnya sebagai ayat pertama surah, yang menjadi inti diskusi, terbagi menjadi dua pandangan utama dalam dunia Islam. Kedua pandangan ini bukan hanya sekadar perbedaan minor, melainkan perbedaan yang berakar pada metodologi penghimpunan Al-Qur’an dan tradisi periwayatan (qiraat) yang berbeda.
Perdebatan paling sengit terletak pada Surah Al-Fatihah (Pembuka), yang diyakini secara universal sebagai ummul kitab (induk semua kitab). Jumlah ayat Al-Fatihah secara standar adalah tujuh. Jika Basmalah dianggap sebagai ayat pertama, maka frasa صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ akan menjadi satu ayat utuh (Ayat 7). Jika Basmalah tidak dianggap ayat, maka ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ menjadi Ayat 1, dan Ayat 7 akan terbagi menjadi dua ayat (atau ayat terakhirnya dianggap terpisah dari ayat sebelumnya).
Mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i, serta banyak ulama dari Kufah (termasuk Imam Al-Kisa’i dan Imam Hamzah dari qiraat tujuh), berpegangan teguh bahwa Basmalah adalah ayat pertama dari Surah Al-Fatihah dan juga ayat yang berdiri sendiri yang memisahkan antara surah-surah lainnya (kecuali Surah At-Taubah).
Dalil utama yang mereka gunakan adalah hadis yang diriwayatkan dari Ummu Salamah dan Abu Hurairah, di mana Rasulullah ﷺ membaca Basmalah dengan suara keras saat salat. Selain itu, mereka berargumen bahwa penempatan Basmalah dalam Mushaf Utsmani, yang ditulis dengan tinta yang sama dan terpisah dari ayat lain, menunjukkan bahwa ia dimasukkan oleh Jibril atas perintah Allah sebagai bagian integral dari Al-Qur'an dan sebagai pembuka bagi surah-surah tersebut. Dalam konteks Al-Fatihah, mereka berpendapat bahwa jika Basmalah bukan ayat, maka Al-Fatihah hanya akan terdiri dari enam ayat jika dihitung dari ٱلۡحَمۡدُ. Karena konsensus bahwa Al-Fatihah memiliki tujuh ayat, maka Basmalah harus dihitung sebagai Ayat 1 untuk menggenapi jumlah tersebut.
Imam Syafi'i (w. 204 H) sangat tegas dalam pandangan ini. Baginya, Basmalah adalah bagian tak terpisahkan dari Al-Fatihah, dan membacanya secara jahr (keras) dalam salat fardu adalah wajib atau sangat dianjurkan. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian besar ahli hadis Mekah dan Basrah.
Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Hanafi, dan Hanbali (terutama Imam Malik bin Anas) berpendapat bahwa Basmalah bukanlah ayat pertama dari Al-Fatihah atau surah-surah lainnya. Bagi mereka, Basmalah adalah ayat yang diturunkan secara independen hanya untuk tujuan pemisah (fasl) dan untuk mencari keberkahan (tabarruk) ketika memulai pembacaan surah, bukan bagian intrinsik dari surah itu sendiri.
Mereka berdalil bahwa Basmalah tidak dimasukkan dalam teks asli Al-Fatihah dalam Mushaf Madinah dan Syam. Mereka merujuk pada hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ tidak selalu membaca Basmalah dengan jahr (keras) dalam salat, dan hadis yang menyebutkan bahwa Nabi memulai salat dengan takbiratul ihram dan membaca ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ. Jika Basmalah adalah ayat, meninggalkannya dalam salat akan membatalkan salat, padahal ini tidak disepakati.
Dalam pandangan mereka, tujuh ayat Al-Fatihah dimulai dari ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ (Ayat 1) hingga وَلَا ٱلضَّآلِّينَ (Ayat 7), dengan Ayat 7 ini terbagi menjadi dua bagian pada beberapa riwayat yang menghitung Basmalah sebagai bukan ayat. Mazhab Maliki, khususnya, berpendapat bahwa membaca Basmalah dalam salat wajib, baik sirr (pelan) maupun jahr, adalah makruh (tidak disukai), meskipun diizinkan dalam salat sunah atau saat memulai bacaan Al-Qur'an di luar salat.
Perbedaan pendapat mengenai status Basmalah memiliki konsekuensi langsung pada praktik ibadah, khususnya dalam salat.
Diskusi fiqih ini meluas pada definisi tilawah (pembacaan) dan qiraat (cara baca). Bagi yang menganggapnya ayat, membacanya adalah bagian dari perintah "maka bacalah apa yang mudah dari Al-Qur'an". Bagi yang tidak menganggapnya ayat, Basmalah hanya merupakan istiftah (pembukaan) atau isti'adzah (memohon perlindungan), yang disunnahkan sebelum tilawah.
Di luar Al-Fatihah, Basmalah muncul di awal 112 surah lainnya, berfungsi sebagai pemisah yang jelas antara akhir satu surah dan awal surah berikutnya. Fungsi ini disebut *fasl* (pemisah). Meskipun ia berfungsi sebagai pemisah, statusnya sebagai "ayat pertama" bagi 112 surah ini juga menjadi sumber perbedaan, meskipun implikasi hukumnya tidak sekuat perdebatan pada Al-Fatihah.
Meskipun para ulama berbeda pendapat apakah Basmalah adalah ayat pertama setiap surah, ada konsensus absolut bahwa Basmalah itu sendiri adalah bagian dari Al-Qur'an dan merupakan ayat yang berdiri sendiri. Dalil konklusif untuk hal ini terletak pada Surah An-Naml (27), Ayat 30, yang berbunyi:
Terjemahan: "Sesungguhnya surat ini dari Sulaiman dan sesungguhnya (isinya): 'Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.'" (QS. An-Naml [27]: 30).
Ayat ini membuktikan bahwa frasa Basmalah adalah wahyu ilahi, meskipun diturunkan dalam konteks kisah Nabi Sulaiman dan suratnya kepada Ratu Balqis. Keberadaan ayat tunggal ini menghilangkan keraguan bahwa Basmalah adalah teks Al-Qur'an. Perdebatan kemudian beralih ke masalah penempatannya di awal surah (kecuali An-Naml 30, yang berada di tengah surah).
Salah satu misteri terbesar dalam kodifikasi Al-Qur'an adalah hilangnya Basmalah di awal Surah At-Taubah (Surah ke-9), yang juga dikenal sebagai Bara'ah. Ini adalah satu-satunya surah dalam Al-Qur'an yang tidak diawali dengan بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ.
Pendapat yang paling kuat dari segi sejarah adalah bahwa Surah At-Taubah dan Surah Al-Anfal (Surah ke-8) awalnya dianggap sebagai satu kesatuan atau dua bagian dari satu surah yang sangat panjang. Diriwayatkan bahwa para Sahabat tidak tahu pasti apakah Surah At-Taubah adalah kelanjutan dari Al-Anfal atau surah baru. Karena Basmalah berfungsi sebagai pemisah surah, dan karena adanya ketidakpastian ini, para Sahabat yang menyusun Mushaf di bawah kepemimpinan Utsman bin Affan memutuskan untuk tidak menempatkan Basmalah di antara keduanya.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia pernah bertanya kepada Utsman bin Affan mengenai hal ini, dan Utsman menjawab bahwa karena Surah At-Taubah diturunkan kemudian dan memiliki kemiripan isi dengan Al-Anfal, dan Rasulullah wafat sebelum menjelaskan apakah keduanya adalah surah terpisah, mereka memilih untuk tidak memisahkannya dengan Basmalah.
Alasan teologis yang juga sangat dominan adalah bahwa Surah At-Taubah dimulai dengan pernyataan perang, pencabutan perjanjian, dan peringatan keras (ancaman azab) kepada kaum musyrikin yang melanggar janji mereka. Sifat surah ini adalah Bara'ah (pelepasan) dari tanggung jawab, yang tidak selaras dengan esensi Basmalah yang mengandung dua nama Rahmat Allah yang agung: Ar-Rahman (Maha Pemurah) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang).
Para ulama menafsirkan bahwa memulai surah yang penuh dengan kemarahan dan ancaman dengan atribut Rahmat yang menyeluruh akan terasa kontradiktif. Oleh karena itu, Basmalah dihilangkan, menunjukkan ketegasan dan keadilan Allah dalam menghadapi pengkhianatan, meskipun Rahmat-Nya tetap melingkupi segala sesuatu di semesta.
Untuk memahami kedalaman Basmalah, kita harus membedah setiap komponennya. Basmalah bukan sekadar kata-kata biasa; ia adalah deklarasi yang kaya akan makna linguistik dan spiritual yang mendefinisikan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Frasa Basmalah dimulai dengan partikel ب (Bi), yang berarti "dengan" atau "dalam". Ini adalah partikel Istia’nah (memohon pertolongan) dan Mushahabah (kebersamaan). Ketika seorang Muslim mengucapkan Basmalah, ia secara implisit menyatakan: "Aku memulai tindakan ini dengan meminta pertolongan dan bimbingan dari Allah." Ini menegaskan bahwa segala daya upaya berasal dari-Nya.
اسم (Ism) berarti "nama". Para ulama tafsir berpendapat bahwa penyebutan "nama" sebelum ٱللَّهِ (Allah) memiliki makna filosofis yang mendalam. Sebagian ahli bahasa mengatakan bahwa huruf alif pada اسم dihilangkan karena seringnya digunakan, sehingga menjadi بِسْمِ. Makna tersiratnya adalah bahwa tindakan tersebut dilakukan bukan oleh kekuatan diri sendiri, melainkan melalui penyingkapan dan manifestasi sifat-sifat Allah yang diwakili oleh nama-nama-Nya.
ٱللَّهِ (Allah) adalah Nama Diri (Ism al-Dzat), Nama Agung (Ism al-A'zham), yang mencakup semua sifat kesempurnaan dan keilahian. Nama ini tidak memiliki bentuk jamak atau jenis (maskulin/feminin), dan secara linguistik, ia adalah unik bagi Sang Pencipta.
Basmalah ditutup dengan dua atribut Rahmat Allah yang berasal dari akar kata yang sama, رحم (R-H-M), yang berarti rahim (kandungan), kasih sayang, dan kelembutan.
ٱلرَّحْمَٰنِ (Ar-Rahman) menunjukkan Rahmat yang luas, meliputi, dan universal (rahmah 'ammah). Rahmat ini mencakup seluruh alam semesta, baik bagi mukmin maupun kafir, di dunia ini. Ar-Rahman adalah sifat yang mencerminkan pemeliharaan Allah atas semua ciptaan-Nya, memberikan rezeki, kesehatan, dan kesempatan hidup kepada setiap makhluk tanpa prasyarat keimanan. Dalam istilah teologi, Ar-Rahman seringkali dipahami sebagai Rahmat yang bermanifestasi dalam penciptaan dan pemeliharaan dunia.
ٱلرَّحِيمِ (Ar-Rahim) menunjukkan Rahmat yang spesifik, terperinci, dan berkelanjutan (rahmah khassah). Rahmat ini secara khusus ditujukan bagi orang-orang mukmin di Akhirat, di mana mereka akan menerima balasan atas keimanan dan amal saleh mereka. Ar-Rahim adalah sifat yang mencerminkan pemberian pahala dan ampunan.
Penggunaan kedua nama ini secara berdampingan dalam Basmalah—Ar-Rahman (Rahmat yang luas) dan Ar-Rahim (Rahmat yang spesifik)—memberikan jaminan ganda. Ini mengajarkan bahwa Allah memulai interaksi-Nya dengan hamba-Nya melalui rahmat universal, dan menyempurnakannya dengan rahmat khusus yang hanya diperoleh melalui ketaatan. Ini menekankan bahwa dasar bagi semua permulaan adalah kasih sayang dan kemurahan-Nya.
Selain statusnya dalam struktur Al-Qur’an, Basmalah juga memiliki peran sentral dalam fiqih amaliyah (praktis) seorang Muslim. Pengucapan Basmalah (Tasmiyah) adalah sunnah, bahkan wajib, dalam berbagai situasi kehidupan sehari-hari, menegaskan bahwa hidup Muslim harus terintegrasi dengan kesadaran ilahi.
Para ulama sepakat bahwa Basmalah dianjurkan dalam banyak situasi, mengikuti praktik Nabi Muhammad ﷺ:
Hukumnya adalah sunnah muakkadah, bahkan sebagian ulama menganggapnya wajib. Basmalah harus diucapkan sebelum memulai makan. Jika seseorang lupa di awal, ia dianjurkan mengucapkan: بِسْمِ ٱللَّهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ (Bismillahi fi awwalihi wa akhirih – Dengan nama Allah di awal dan akhir). Tujuan Basmalah di sini adalah untuk memastikan keberkahan dalam makanan dan mencegah campur tangan setan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Muslim.
Basmalah adalah syarat wajib (rukun) agar sembelihan binatang menjadi halal (tayyib). Jika Basmalah ditinggalkan secara sengaja, sembelihan tersebut haram dimakan (kecuali dalam pandangan tertentu yang memperbolehkan kelupaan). Hal ini didasarkan pada firman Allah, "Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya." (QS. Al-An'am [6]: 118).
Membaca Basmalah sebelum berwudu adalah sunnah muakkadah menurut mayoritas mazhab, namun wajib menurut Mazhab Hanbali, berdasarkan hadis, "Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah atasnya." (Hadis Hasan).
Mengikuti tradisi kenabian (Nabi Sulaiman, sebagaimana disinggung dalam An-Naml) dan praktik Rasulullah ﷺ dalam surat-menyurat dengan raja-raja dan kepala negara, Basmalah dianjurkan ditempatkan di awal setiap dokumen penting untuk mencari keberkahan dan legitimasi ilahi.
Meninggalkan Basmalah secara sengaja dalam aktivitas yang dianjurkan (seperti makan atau wudu) dapat mengurangi keberkahan. Namun, jika ditinggalkan secara sengaja dalam aktivitas yang diwajibkan (seperti menyembelih), konsekuensinya adalah keharaman.
Para fuqaha (ahli fiqih) secara khusus membahas masalah *kelupaan* (nisyan). Jika seseorang lupa mengucapkan Basmalah sebelum memulai suatu perbuatan, ia tidak berdosa dan dianjurkan untuk menggantinya segera setelah ingat. Pengecualian adalah dalam masalah sembelihan, di mana jika Basmalah ditinggalkan karena kelupaan, sebagian mazhab tetap membolehkan sembelihan tersebut (berbeda dengan meninggalkannya secara sengaja). Ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam mengakomodasi sifat manusia yang pelupa.
Posisi Basmalah di awal surah-surah sangat berkaitan erat dengan sejarah pengumpulan (kodifikasi) Al-Qur'an di masa Khalifah Utsman bin Affan (w. 35 H), yang dikenal sebagai penyusunan Mushaf Utsmani.
Komite yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit bertugas menyusun mushaf standar. Salah satu tugas mereka adalah menentukan batas-batas surah. Dalam tradisi penulisan mushaf, Basmalah ditulis di antara surah-surah (kecuali At-Taubah).
Adanya Basmalah sebagai pemisah bukan hanya keputusan redaksional, melainkan berdasarkan perintah wahyu yang disampaikan Nabi Muhammad ﷺ kepada para penulis wahyu (katib al-wahyi). Ketika suatu surah selesai, Jibril akan memerintahkan penempatan Basmalah sebagai tanda batas. Dengan kata lain, penempatan Basmalah adalah tauqifi (berdasarkan perintah ilahi), meskipun status ayatnya berbeda-beda dalam pandangan mazhab.
Perbedaan dalam tradisi qiraat (bacaan) juga memengaruhi pandangan status ayat Basmalah. Misalnya, dalam Qiraat Warsh (dari Nafi') yang dominan di Afrika Utara, Basmalah tidak dibaca di antara dua surah (hanya di awal Al-Fatihah), sementara dalam Qiraat Hafs (dari Ashim) yang dominan di sebagian besar dunia Islam, Basmalah dibaca di antara semua surah, menegaskan perannya sebagai fasl.
Dalam ilmu tajwid, Basmalah memainkan peran penting dalam aturan washl (penyambungan) dan waqf (penghentian) ketika berpindah dari satu surah ke surah berikutnya.
Terdapat tiga cara utama untuk menghubungkan dua surah:
Aturan tajwid ini secara implisit mengakui Basmalah sebagai entitas yang semi-independen, yang dapat disambung atau diputus dari surah-surah di sekitarnya, memperkuat pandangan bahwa ia berfungsi sebagai batas yang diturunkan.
Jauh melampaui perdebatan fiqih dan linguistik, Basmalah adalah manifestasi spiritualitas yang mendalam, mewakili penyerahan diri total (Tawakkal) dan permintaan pertolongan (Isti'anah).
Tujuan utama memulai segala sesuatu dengan Basmalah adalah untuk mengikrarkan bahwa keberhasilan suatu perbuatan tidak bergantung pada kecerdasan atau kekuatan fisik manusia, melainkan pada izin dan bantuan Allah. Ini adalah pengingat konstan akan kelemahan manusia (faqir) di hadapan keagungan Ilahi (Ghani).
Ketika seseorang mengucapkan بِسْمِ ٱللَّهِ, ia seolah-olah menyematkan tindakan tersebut ke dalam bingkai kehendak Allah, memastikan bahwa motivasi di baliknya adalah untuk keridaan-Nya, bukan sekadar ambisi duniawi. Ini adalah langkah awal menuju keikhlasan (ikhlas), di mana niat murni diikat dengan Nama Allah.
Dalam tradisi tasawuf, Basmalah seringkali dilihat sebagai ringkasan dari seluruh rahasia alam semesta. Huruf ب (Ba) pada بِسْمِ dianggap sebagai titik sentral (Nuqthah) di bawahnya, yang melambangkan manifestasi tunggal dari Keesaan Allah (Tauhid) yang kemudian menyebar ke seluruh ciptaan.
Bagi para sufi, setiap huruf dalam Basmalah membawa makna esoteris. Pengulangan nama Rahmat (Ar-Rahman, Ar-Rahim) mengingatkan pencari spiritual bahwa perjalanan menuju Allah (suluk) sepenuhnya didasarkan pada Rahmat dan bukan semata-mata pada amal perbuatan mereka. Tanpa Rahmat-Nya, segala usaha manusia akan sia-sia. Oleh karena itu, Basmalah adalah kunci untuk membuka pintu keberkahan dan kesadaran ilahi (ma’rifah) dalam setiap aspek kehidupan.
Untuk menyimpulkan diskusi panjang mengenai status Basmalah sebagai ayat pertama surah, penting untuk memahami bahwa perbedaan pandangan ini, meskipun menghasilkan praktik fiqih yang berbeda (terutama dalam salat), tidak memecah belah umat. Sebaliknya, hal ini menunjukkan kekayaan dan kedalaman tafsir yang diizinkan dalam kerangka syariat Islam.
Perselisihan utama bermuara pada perbedaan riwayat pembacaan (Qiraat). Para ulama Syafi'i mengandalkan riwayat yang menganggap Basmalah sebagai ayat tunggal dalam Al-Fatihah, sementara ulama lainnya berpegangan pada riwayat yang menghitungnya sebagai pemisah. Kedua pandangan tersebut sah secara syar'i karena didukung oleh riwayat yang autentik dari masa Sahabat.
Dalam Mushaf Utsmani, Basmalah ditulis sebagai ayat yang terpisah dari surah, dan tidak diberi nomor ayat 1 secara universal, yang menguatkan pandangan bahwa ia memiliki status khusus—ayat independen yang berfungsi sebagai pembuka bagi 113 surah.
Dalam konteks modern, umat Islam dianjurkan untuk mengikuti mazhab fiqih yang dominan di wilayah mereka atau mazhab yang mereka pilih untuk dipelajari. Namun, yang paling penting adalah kesadaran akan validitas pandangan mazhab lain.
Kedua praktik ini sah di mata Allah, karena kedua belah pihak mendasarkan amal mereka pada interpretasi mendalam terhadap sunnah Nabi dan teks Al-Qur'an. Ini adalah manifestasi dari rahmat al-ikhtilaf (rahmatnya perbedaan pendapat).
Basmalah, dengan segala perdebatan mengenai status ayatnya, tetap menjadi gerbang bagi setiap muslim untuk memasuki ranah keilahian. Ia adalah pengingat bahwa, dalam setiap langkah, baik besar maupun kecil, dimulai dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Pemahaman mendalam ini memastikan bahwa tujuan dari setiap perbuatan adalah keridaan Ilahi, dan bahwa setiap perbuatan—dari makan hingga beribadah—adalah sebuah ibadah (penghambaan) yang dihiasi oleh Rahmat-Nya yang tak bertepi. Basmalah, sebagai inti dari permulaan, adalah kode etik dan spiritual yang mendefinisikan seorang Muslim sejati. Keagungan Basmalah terletak bukan hanya pada posisi tekstualnya, tetapi pada pengakuan abadi atas Keesaan, Kemurahan, dan Kasih Sayang Allah yang menjadi jaminan bagi kehidupan di dunia dan akhirat.
***