Sebuah Perjalanan Rasa Menelusuri Warisan Kuliner Priangan
Baso Ceker Pasundan bukan sekadar hidangan; ia adalah sebuah narasi tentang kesederhanaan, kekayaan rempah, dan kehangatan komunal yang mengakar kuat di dataran tinggi Jawa Barat. Istilah "Pasundan" sendiri merujuk pada wilayah kebudayaan Sunda, meliputi Pringan, Cirebon, hingga Banten, sebuah area yang kaya akan hasil bumi dan tradisi memasak yang turun temurun. Dalam semangkuk Baso Ceker, terjalin harmoni antara kekenyalan bakso daging yang padat, kelembutan ceker ayam yang luruh dari tulang, dan kuah kaldu bening yang kaya akan umami alami.
Hidangan ini menawarkan kontras tekstur yang memikat. Baso, yang dibuat dari paduan daging sapi pilihan dan tepung tapioka, memberikan perlawanan gigitan yang menyenangkan (istilah Sunda: nyelap). Sementara itu, ceker, yang telah dimasak berjam-jam hingga mencapai tingkat kematangan sempurna, menjadi titik fokus bagi para penikmatnya. Ceker yang berhasil dimasak dengan benar akan melepaskan kolagennya ke dalam kuah, memberikan kekentalan alami yang membedakannya dari kuah bakso biasa. Inilah esensi keahlian kuliner Pasundan: mengubah bahan sederhana menjadi mahakarya rasa yang mendalam.
Popularitas Baso Ceker melintasi batas geografis. Meskipun awalnya adalah hidangan kaki lima yang akrab, kini ia telah bertransformasi menjadi ikon kuliner yang dicari di restoran modern. Namun, keotentikannya tetap terletak pada kesetiaan terhadap metode memasak tradisional, terutama dalam proses perebusan kaldu yang memakan waktu dan membutuhkan kesabaran. Setiap elemen, mulai dari bawang putih goreng, daun bawang cincang, hingga tetesan minyak bawang yang harum, berperan penting dalam menciptakan pengalaman rasa yang utuh.
Semangkuk Baso Ceker Pasundan yang menggugah selera.
Kualitas bakso adalah penentu utama keunggulan Baso Ceker Pasundan. Bakso yang ideal harus memiliki kekenyalan (elastisitas) yang tepat, yang dihasilkan dari proses emulsi protein daging yang sempurna. Daging yang digunakan umumnya adalah daging sapi murni dengan sedikit lemak (sekitar 10-15%) untuk mempertahankan kelembutan tanpa mengurangi kekenyalan. Proses penggilingan daging harus dilakukan pada suhu sangat dingin—seringkali menggunakan es batu—untuk mencegah denaturasi protein.
Adonan bakso memerlukan ikatan yang kuat, di mana natrium tripolifosfat (walaupun kini banyak diganti dengan bahan alami seperti putih telur dan pati sagu/tapioka) memainkan peran kunci dalam menyatukan air, lemak, dan protein. Rasio tepung tapioka terhadap daging sangat krusial. Terlalu banyak tapioka menghasilkan bakso yang kenyal berlebihan dan terasa seperti karet; terlalu sedikit menghasilkan bakso yang rapuh. Resep tradisional Pasundan menekankan pada dominasi rasa daging yang murni, sehingga proporsi tapioka dijaga minimal, seringkali hanya sekitar 20-30% dari total massa padat.
Pembentukan bakso biasanya dilakukan secara manual menggunakan tangan dan sendok, dibentuk menjadi bola-bola seragam yang kemudian direndam dan direbus secara bertahap. Teknik perebusan yang benar adalah merebus bakso dalam air mendidih sebentar, lalu menurunkan suhu air hingga di bawah titik didih (sekitar 80-90°C) untuk memasak bakso secara perlahan hingga matang sepenuhnya. Ini memastikan bakso matang merata tanpa retak di bagian luar dan mempertahankan tekstur yang mulus dan padat di dalamnya. Setelah matang, bakso harus segera diangkat dan dimasukkan ke dalam air dingin sebentar untuk menghentikan proses memasak dan mengunci tekstur kenyalnya.
Ceker ayam, atau kaki ayam, adalah elemen yang memberikan nama dan karakter unik pada hidangan ini. Bagi sebagian orang, ceker adalah makanan yang menantang, namun bagi penikmat Baso Ceker, ceker adalah mahkota dari semangkuk kelezatan. Keunggulan ceker terletak pada kandungan kolagennya yang sangat tinggi. Selama proses perebusan yang panjang, kolagen ini terhidrolisis menjadi gelatin. Gelatin inilah yang memberikan rasa 'lumer' di mulut dan memperkaya kuah kaldu.
Persiapan ceker membutuhkan ketelitian. Ceker harus dibersihkan sempurna, termasuk penghilangan kuku dan lapisan kulit luar yang keras. Proses awal seringkali melibatkan perendaman dalam air panas atau air kapur sirih (dalam dosis sangat kecil) untuk membantu melunakkan kulit luar. Setelah dibersihkan, ceker direbus dalam air kaldu terpisah dengan bumbu aromatik seperti jahe, serai, daun salam, dan garam. Perebusan bisa memakan waktu minimal 3 hingga 5 jam, bahkan lebih, tergantung tingkat kelembutan yang diinginkan. Tujuannya adalah agar daging dan kulit ceker terlepas dari tulang hanya dengan sedikit isapan.
Pentingnya durasi perebusan ceker tidak hanya untuk kelembutan tekstur. Semakin lama ceker direbus, semakin banyak kolagen yang dilepaskan ke dalam kuah, menciptakan kuah yang lebih kaya, lebih berminyak, dan memiliki lapisan rasa yang lebih kompleks—sebuah ciri khas Baso Ceker Pasundan sejati.
Kuah kaldu adalah fondasi yang menyatukan semua elemen. Kuah Baso Ceker Pasundan haruslah bening, ringan di lidah, namun kaya akan rasa umami dari rebusan tulang. Kuah ini tidak boleh didominasi oleh bumbu yang terlalu kuat, melainkan berfungsi sebagai panggung bagi bakso dan ceker.
Hasil akhir adalah kuah yang beraroma segar dari bumbu tumis, gurih dari tulang, dan lembut berkat kolagen. Kuah ini menjadi media yang sempurna untuk menikmati kekenyalan bakso dan kelembutan ceker secara bersamaan.
Baso Ceker tidak dapat dilepaskan dari budaya makan jalanan (street food) di Jawa Barat, khususnya di Bandung, Garut, dan Tasikmalaya. Di wilayah Pasundan, makanan disajikan dengan cepat, hangat, dan dengan harga yang terjangkau. Baso Ceker mewakili kepandaian masyarakat Sunda dalam memanfaatkan semua bagian hewan, termasuk bagian yang seringkali dianggap 'sisa' seperti ceker dan tetelan.
Sejarah bakso di Indonesia memiliki akar yang panjang, dipengaruhi oleh migrasi Tiongkok. Namun, di Pasundan, bakso mengalami lokalisasi rasa yang unik. Rasa bakso Sunda cenderung lebih kaya akan lada dan memiliki kuah yang lebih 'berani' dibandingkan dengan bakso dari Jawa Tengah. Penambahan ceker adalah inovasi lokal yang berkembang pesat setelah era kemerdekaan, terutama ketika ketersediaan bahan baku ayam meningkat.
Gerobak baso menjadi pusat interaksi sosial. Sore hari setelah pulang kerja atau sekolah, menikmati Baso Ceker hangat adalah ritual. Keberadaan gerobak Baso Ceker yang mudah ditemukan di setiap sudut kota dan desa mencerminkan aksesibilitas kuliner yang merata, menjadikannya makanan demokratis yang dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
Baso Ceker Pasundan selalu disajikan dengan serangkaian pelengkap yang tidak boleh diabaikan, karena mereka melengkapi profil rasa. Kekuatan rasa pedas adalah ciri khas Sunda yang tercermin dalam sambal.
Kombinasi antara kuah panas, bakso kenyal, ceker lumer, dan ledakan pedas sambal adalah apa yang membuat Baso Ceker Pasundan menjadi pengalaman kuliner yang lengkap dan tak terlupakan.
Mencapai keunggulan rasa dalam Baso Ceker memerlukan dedikasi pada detail. Resep yang berhasil adalah perpaduan antara pemilihan bahan baku premium dan penguasaan teknik memasak suhu rendah dan jangka panjang.
Pemilihan daging sapi harus yang memiliki urat sedikit, misalnya bagian paha depan (knuckle) atau sandung lamur. Daging harus dicincang halus dalam keadaan beku. Proses penggilingan harus cepat. Untuk 1 kg daging, diperlukan setidaknya 200 gram es serut murni. Es ini tidak hanya menjaga suhu, tetapi juga menyediakan cairan yang dibutuhkan untuk emulsi.
Kesalahan umum adalah adonan terlalu panas, yang menyebabkan protein rusak dan bakso menjadi lembek atau berpasir (tidak halus). Jika adonan sudah mencapai suhu ideal (di bawah 15°C), bakso yang dihasilkan akan memantul sempurna.
Melunakkan ceker adalah uji kesabaran. Teknik tradisional menggunakan panci presto memang mempercepat waktu masak menjadi 30-45 menit, namun teknik perebusan lambat menghasilkan tekstur dan rasa yang lebih superior, karena kolagen dilepaskan secara bertahap dan merata, menghasilkan kuah yang lebih "kaya" secara alami.
Setelah ceker direbus hingga sangat lembut, jangan langsung diangkat. Biarkan ceker mendingin di dalam air rebusannya. Ini memungkinkan lemak dan gelatin meresap kembali ke dalam jaringan kulit dan tulang rawan, membuatnya semakin lumer saat disajikan panas. Perebusan kembali (re-simmering) sebelum penyajian akan meningkatkan efek kelembutan ini.
Kuah kaldu harus memiliki lapisan rasa. Selain tulang sapi, penggunaan tulang muda ayam atau tulang rawan (tetelan) sangat dianjurkan. Tetelan mengandung lemak yang mudah larut dan memberikan rasa gurih yang mendalam tanpa membuat kuah terasa enek. Rahasia lainnya adalah minyak bawang putih.
Minyak bawang putih dibuat dengan menumis irisan tipis bawang putih dalam minyak sayur hingga kering dan keemasan. Minyak bekas tumisan ini yang disiramkan di atas bakso dan kuah saat penyajian adalah kunci aroma yang membuat Baso Ceker Pasundan begitu memikat. Aroma harum minyak bawang ini berpadu sempurna dengan aroma seledri dan daun bawang.
Meskipun Baso Ceker tradisional memiliki tempat yang tak tergantikan, kuliner Sunda adalah kuliner yang adaptif. Seiring waktu, muncul berbagai variasi yang memperluas definisi Baso Ceker, menjadikannya relevan bagi selera kontemporer.
Varian ini menjadi sangat populer dalam dekade terakhir. Bakso dan ceker direbus dalam kuah kaldu biasa, namun setelah diangkat, mereka disajikan dengan siraman sambal khusus yang dibuat dari cabai rawit merah super pedas yang dimasak dengan minyak. Seringkali, ceker tidak disajikan dalam kuah bening, melainkan dilumuri bumbu merah yang sangat kental dan pedas, mengubah hidangan dari sup menjadi sajian pedas yang 'kering' dan intens. Intensitas rasa pedas ini (sering disebut level 1 hingga level 5) menjadi daya tarik utama bagi generasi muda.
Dalam varian ini, tekstur menjadi fokus utama. Baso dibuat dengan menambahkan potongan tulang rawan (cartilage) atau urat yang dicincang kasar. Ketika dikunyah, bakso ini memberikan sensasi 'kriuk' atau 'kres-kres' yang berbeda dari bakso halus biasa. Keberadaan ceker yang lembut menjadi kontras tekstur yang luar biasa ketika disandingkan dengan bakso urat yang lebih padat dan bertekstur kasar.
Ini adalah adaptasi paling populer di masa kini. Baso aci adalah bakso yang dibuat hampir seluruhnya dari tepung tapioka (aci) dengan isian sambal pedas, keju, atau tetelan. Kuahnya disajikan dengan bumbu pedas, asam, dan gurih, seringkali dilengkapi dengan cuanki (siomay kering) dan pilus cikur (kerupuk kecil rasa kencur). Dalam konteks Baso Ceker Pasundan, ceker yang dimasak lembut ditambahkan ke dalam semangkuk Baso Aci, menggabungkan cita rasa tradisional dengan tren kuliner modern yang kental rasa asam dan gurih kencur.
Variasi-variasi ini menunjukkan bagaimana Baso Ceker Pasundan terus berevolusi, mempertahankan akar kehangatan dan kelezatan, sambil merespons permintaan pasar akan rasa yang lebih ekstrem dan tekstur yang lebih beragam.
Baso Ceker Pasundan, saat dikonsumsi dalam porsi wajar, menawarkan manfaat nutrisi yang signifikan. Komponen utamanya adalah sumber protein hewani yang baik.
Ceker ayam, meskipun ukurannya kecil, adalah sumber kolagen terbaik. Kolagen adalah protein struktural yang penting untuk kesehatan kulit, sendi, dan tulang rawan. Ketika ceker direbus lama, kolagen yang terlepas membantu pelumasan sendi dan memberikan manfaat hidrasi pada kulit.
Selain kolagen, bakso daging sapi menyediakan protein lengkap yang esensial untuk pembangunan dan perbaikan otot. Kuah kaldu tulang yang dimasak lama juga kaya akan mineral seperti kalsium dan magnesium, serta glukosamin dan kondroitin, yang seringkali direkomendasikan untuk kesehatan sendi.
Namun, penting untuk diperhatikan bahwa Baso Ceker juga mengandung natrium (garam) yang tinggi, terutama dari bumbu dan monosodium glutamat (MSG) yang digunakan untuk meningkatkan rasa gurih. Konsumsi sebaiknya diimbangi dengan sayuran seperti sawi dan tauge yang kaya serat dan antioksidan.
Industri Baso Ceker adalah tulang punggung bagi banyak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Jawa Barat. Penjualan bakso dan ceker menciptakan rantai pasok yang melibatkan:
Fenomena Baso Ceker menunjukkan bagaimana hidangan kuliner sederhana dapat memiliki efek multiplikasi ekonomi yang signifikan, mendukung kehidupan banyak keluarga melalui keterampilan memasak yang diturunkan dari generasi ke generasi. Setiap mangkuk Baso Ceker yang terjual adalah kontribusi langsung pada pelestarian tradisi dan peningkatan kesejahteraan lokal.
Menikmati Baso Ceker Pasundan adalah ritual yang melibatkan semua indra. Pengalaman dimulai dari aroma kuah panas yang mengepul, membawa wangi bawang putih goreng dan lada yang baru digiling. Saat disajikan, mangkuk Baso Ceker menampilkan kontras warna yang menarik: putih gading bakso, kemerahan pucat ceker, hijau cerah sawi, dan taburan kuning keemasan bawang goreng.
Penikmat sejati sering memiliki urutan makan mereka sendiri, tetapi ada pola umum yang diakui:
Kehangatan Baso Ceker memiliki kekuatan terapeutik, menjadikannya makanan favorit saat musim hujan atau saat mencari kenyamanan emosional. Ini adalah hidangan yang berbicara tentang rumah, warisan, dan kehangatan yang tak terlukiskan. Kualitasnya yang selalu dinantikan adalah konsistensi kelezatan yang dijaga oleh para penjual baso Pasundan, sebuah janji rasa yang diwariskan melalui praktik kuliner yang tekun.
Dengan meningkatnya kesadaran global terhadap kuliner Indonesia, Baso Ceker Pasundan memiliki potensi besar untuk dikenal lebih luas di kancah internasional. Kemampuannya untuk berevolusi, dari Baso Urat yang padat hingga Baso Aci yang modern, menunjukkan vitalitas kuliner ini. Tantangan ke depan adalah menjaga otentisitas resep kaldu jangka panjang sambil terus berinovasi dalam hal presentasi dan bahan baku yang lebih berkelanjutan. Baso Ceker akan terus menjadi duta rasa sejati dari bumi Parahyangan.
Baso Ceker Pasundan bukan hanya sekedar kombinasi bakso dan ceker; ia adalah perwujudan kearifan lokal Sunda dalam mengolah bahan menjadi hidangan kaya makna. Dalam setiap suapan, kita tidak hanya merasakan kelezatan, tetapi juga menghargai warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Pengalaman menikmati hidangan ini selalu diperkaya oleh suasana. Entah itu di warung sederhana pinggir jalan dengan bangku plastik berwarna cerah, atau di restoran modern berpendingin udara. Suara sendok yang beradu, seruputan kuah panas, dan tawa orang-orang yang berbagi meja, semuanya adalah bagian tak terpisahkan dari Baso Ceker. Atmosfer ini menambah dimensi humanis pada hidangan, mengubahnya dari sekadar makanan menjadi pengalaman sosial yang hangat. Keberhasilan Baso Ceker terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan kelezatan lidah dengan kehangatan hati.
Detail paling halus dari hidangan ini sering luput dari perhatian, namun justru detail itulah yang membedakan Baso Ceker biasa dengan Baso Ceker Pasundan yang otentik. Misalnya, penggunaan air perasan jeruk limau. Berbeda dengan jeruk nipis yang cenderung pahit jika kulitnya ikut terperas, jeruk limau memberikan aroma khas yang floral dan keasaman yang bersih, memotong rasa lemak ceker dengan sempurna dan menyegarkan palet.
Konsistensi adonan bakso juga selalu menjadi topik perdebatan di antara para penjual. Apakah bakso seharusnya sedikit 'bergetar' saat disentuh, ataukah harus sangat padat dan membal? Tradisi Pasundan cenderung memilih tekstur yang membal alami, didapatkan dari pencampuran daging dan es yang tepat, bukan dari penggunaan bahan pengenyal kimia berlebihan. Tekstur ini menjadi tanda kualitas dan kejujuran bahan. Ketika bakso direndam dalam kuah panas, ia harus tetap mempertahankan bentuknya tanpa menjadi lembek, tetapi juga tidak terlalu keras hingga sulit digigit.
Proses pembersihan ceker, meskipun memakan waktu, merupakan indikator lain dari kualitas tinggi. Ceker yang sempurna adalah ceker yang bersih dari semua lapisan kuning dan kuku hitam. Beberapa penjual yang sangat peduli menggunakan teknik pemijatan pada ceker setelah direbus ringan untuk memastikan semua residu kulit terlepas, sehingga saat dimakan, ceker terasa murni dan lembut tanpa adanya tekstur yang mengganggu di mulut. Kesempurnaan ini menuntut waktu dan tenaga, namun hasil akhir dari ceker yang 'lepas dari tulang' adalah imbalan yang pantas.
Lebih jauh lagi, pemahaman tentang rempah dalam kuah kaldu harus mendalam. Meskipun bawang putih dan lada adalah bintangnya, peran kecil dari biji pala yang baru digiling memberikan kehangatan dan kedalaman rasa yang sublim. Pala tidak boleh mendominasi, hanya berfungsi sebagai latar belakang yang memperkuat rasa gurih tulang. Beberapa resep rahasia juga menambahkan sedikit adas manis atau kapulaga untuk sentuhan aroma bumi yang eksotis, meskipun ini jarang terjadi pada Baso Ceker versi gerobakan, dan lebih sering ditemukan pada resep keluarga yang diturunkan.
Seiring waktu, Baso Ceker juga mulai disajikan dengan tambahan lain yang bersifat opsional namun memperkaya: tahu bakso, pangsit basah, atau mie telur kuning yang tebal. Namun, puritan Baso Ceker berpendapat bahwa tambahan ini justru mengalihkan fokus dari duo utama—baso dan ceker—serta keagungan kuah kaldu. Bagi mereka, kesempurnaan terletak pada minimalisnya komposisi, di mana setiap elemen memiliki peran penting dan tidak ada yang saling menutupi. Semangkuk Baso Ceker yang otentik adalah pelajaran tentang bagaimana sedikit bisa menjadi lebih.
Kisah Baso Ceker Pasundan adalah kisah tentang adaptasi. Ketika ekonomi sulit dan daging sapi mahal, pedagang berinovasi dengan menggunakan tulang dan ceker—bagian yang lebih terjangkau—untuk tetap menyediakan hidangan berprotein tinggi bagi masyarakat. Inovasi ini, yang lahir dari kebutuhan, kini diakui sebagai keunggulan kuliner. Ceker, yang dulunya dianggap limbah, kini menjadi komoditas berharga di pasar kuliner. Hal ini mencerminkan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya, mengubah keterbatasan menjadi kreativitas kuliner yang abadi.
Para pedagang Baso Ceker tradisional sering memulai hari mereka sangat pagi, sekitar pukul 3 atau 4 subuh, untuk menyiapkan kaldu. Kuah kaldu ini harus direbus perlahan-lahan sebelum matahari terbit. Proses ini bukan hanya tentang memasak, tetapi juga tentang menjaga suhu kuah tetap stabil sepanjang hari. Pengelolaan panas adalah seni: kuah harus cukup panas untuk menghangatkan bakso dan ceker yang sudah matang dan siap disajikan, tetapi tidak boleh terlalu mendidih hingga merusak kejernihan dan profil rasa halus dari kaldu tulang yang telah dimasak berjam-jam. Kontrol suhu ini adalah salah satu penentu utama kualitas yang membedakan penjual yang andal.
Resiko dalam pembuatan bakso juga harus dipertimbangkan. Kesalahan dalam proses pencampuran es atau kualitas daging dapat menyebabkan kegagalan emulsi, menghasilkan bakso yang rapuh atau terlalu lembek. Oleh karena itu, hubungan antara pedagang bakso dan tukang giling daging di pasar adalah simbiosis yang vital. Tukang giling harus memahami secara persis tekstur dan suhu yang dibutuhkan oleh setiap pedagang, memastikan bahwa adonan bakso mereka selalu berada dalam kondisi prima sebelum dibentuk dan direbus. Ini adalah sistem mutu yang dipertahankan melalui kepercayaan dan tradisi lisan.
Konsumsi Baso Ceker juga terkait erat dengan tradisi penghangat badan. Di wilayah Pasundan yang seringkali memiliki iklim pegunungan yang sejuk, kuah panas dengan lada yang kuat berfungsi sebagai ‘penawar’ dingin yang efektif. Sensasi pedas dari sambal goang yang dipadukan dengan kehangatan kuah menciptakan efek termogenik yang membuat tubuh terasa nyaman. Ini menjelaskan mengapa hidangan ini menjadi sangat populer tidak hanya sebagai makan siang atau malam, tetapi juga sebagai santapan di tengah malam yang dingin.
Bagi mereka yang berwisata ke Jawa Barat, mencicipi Baso Ceker adalah keharusan. Namun, memilih tempat terbaik seringkali menjadi tantangan. Pedoman yang baik adalah mencari tempat yang menjual Baso Ceker dalam jumlah besar dan memiliki antrian, terutama di waktu puncak. Volume penjualan yang tinggi menandakan bahwa bahan-bahan selalu segar dan proses perebusan kaldu dilakukan secara berkelanjutan, menghasilkan kuah kaldu yang selalu kaya dan tidak pernah encer. Selain itu, perhatikan kebersihan ceker yang disajikan; ini adalah indikator utama dari komitmen penjual terhadap kualitas produknya.
Warisan Baso Ceker juga mencakup cerita-cerita rakyat dan anekdot. Konon, Baso Ceker pertama kali dibuat oleh seorang penjual yang ingin memaksimalkan semua bagian ayam yang dibelinya, karena membuang-buang makanan dianggap tidak etis dalam budaya Sunda yang menjunjung tinggi kesederhanaan. Kisah ini mungkin apokrif, tetapi ia menanamkan nilai-nilai berkelanjutan dan penghormatan terhadap makanan yang masih relevan hingga saat ini. Kehidupan sederhana dari penjual baso, yang berjuang di bawah terik matahari dan hujan, adalah bagian dari romansa kuliner Baso Ceker Pasundan.
Dalam konteks globalisasi kuliner, Baso Ceker telah berhasil mempertahankan keunikannya. Meskipun mie ramen dan sup sejenis dari luar negeri semakin populer, Baso Ceker tetap tak tergantikan karena kombinasi teksturnya yang spesifik (kenyul bakso, lumer ceker, kriuk bawang goreng) dan profil rasa umami-lada-limau yang khas Indonesia. Kemampuannya untuk menyeimbangkan antara kenyamanan makanan tradisional dan ledakan rasa yang dibutuhkan selera modern menjamin kelangsungan hidupnya sebagai salah satu hidangan favorit masyarakat Sunda dan Indonesia secara keseluruhan.
Proses terakhir yang sering diabaikan adalah perlakuan pada seledri. Daun seledri yang digunakan tidak hanya ditaburkan, tetapi seringkali dicampur dengan daun bawang cincang dan sedikit minyak sebelum disajikan. Seledri memberikan aroma yang lebih ‘hijau’ dan tajam, sebuah kontras yang mencerahkan kuah yang kaya akan lemak dan protein. Pemotongan seledri juga harus sangat halus agar tidak memberikan tekstur yang mengganggu, melainkan hanya menambahkan nuansa aromatik saja. Ini menunjukkan betapa setiap detail dalam Baso Ceker telah dipikirkan matang-matang oleh para leluhur kuliner Sunda.
Seiring dengan munculnya kesadaran akan makanan organik, beberapa penjual Baso Ceker kini mulai beralih menggunakan daging sapi dan ayam yang diternak secara organik serta menggunakan rempah-rempah yang ditanam tanpa pestisida. Meskipun ini meningkatkan harga jual, segmen pasar premium ini menunjukkan bahwa bahkan hidangan kaki lima yang merakyat pun dapat beradaptasi dengan tren kesehatan, sambil tetap mempertahankan inti rasa dan kehangatan yang menjadi ciri khas Baso Ceker Pasundan yang legendaris.