Baso Lohua: Jejak Sejarah dan Kelezatan Budaya Tionghoa-Indonesia

Semangkuk Baso Lohua autentik dengan kuah bening dan taburan seledri.

Ilustrasi visual semangkuk Baso Lohua, sebuah harmoni rasa dan tekstur.

Baso Lohua bukan sekadar hidangan biasa; ia adalah manifestasi nyata dari akulturasi kuliner yang telah berakar kuat di Nusantara. Berbeda dari bakso gerobak pada umumnya yang dikenal dengan kuah kaldu kaya rempah lokal, Baso Lohua menawarkan pengalaman rasa yang lebih halus, jernih, dan berfokus pada kemurnian kaldu serta tekstur kenyal sempurna dari bola-bola dagingnya. Ia membawa kita pada perjalanan historis, melintasi jalur perdagangan Tionghoa dan menetap sebagai ikon kenyamanan di meja makan keluarga Indonesia-Tionghoa.

Dalam artikel yang terperinci ini, kita akan menyelami setiap aspek dari Baso Lohua—mulai dari asal-usulnya yang misterius, filosofi bahan baku yang digunakan, teknik memasak yang menuntut kesabaran, hingga perannya yang tak tergantikan dalam mozaik kuliner Indonesia. Kelezatan Baso Lohua terletak pada keseimbangan yang presisi: kuah yang ringan namun penuh umami, baso yang membal dengan gigitan yang memuaskan, dan isian pelengkap yang melengkapi spektrum rasa. Memahami Baso Lohua berarti memahami sebagian sejarah migrasi dan adaptasi budaya di Indonesia.

Asal Usul Nama dan Sejarah Akulturasi

Untuk mengapresiasi Baso Lohua, kita harus terlebih dahulu memahami makna di balik namanya. Kata 'Baso' (atau Bakso) sendiri merupakan serapan dari dialek Hokkien, yang berarti daging giling atau bola daging. Namun, penambahan 'Lohua' inilah yang memberikan identitas unik pada hidangan ini. Meskipun tidak ada catatan sejarah tunggal yang pasti, para ahli kuliner dan sejarawan lokal meyakini bahwa 'Lohua' merujuk pada dialek atau kelompok etnis tertentu dari Tiongkok, atau bisa jadi merupakan singkatan dari istilah yang menggambarkan kuahnya yang kaya atau isiannya yang spesifik.

Salah satu interpretasi yang paling kuat menyebutkan bahwa Lohua merujuk pada tradisi masakan Tionghoa yang dibawa oleh para imigran di pesisir. Masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia umumnya dapat dibagi berdasarkan dialek—Hokkien, Hakka, Kanton, dan Teochew. Baso Lohua, dengan kuahnya yang jernih dan fokus pada tekstur daging, cenderung memiliki kedekatan dengan tradisi masakan dari wilayah selatan Tiongkok, khususnya yang berdekatan dengan tradisi Teochew atau Hokkien, yang gemar menggunakan hasil laut dan kaldu bening sebagai penopang rasa utama.

Jalur Migrasi dan Perpaduan Bahan Lokal

Baso Lohua adalah produk dari proses adaptasi yang panjang. Ketika imigran Tionghoa menetap, mereka harus menyesuaikan resep asli mereka dengan bahan-bahan yang tersedia di pasar lokal. Daging sapi, yang lebih umum di Indonesia, sering digunakan sebagai pengganti daging babi (atau dicampur) untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Pati tapioka dan sagu lokal menggantikan pati kentang atau gandum, memberikan tekstur kenyal yang khas dan sangat disukai oleh lidah Nusantara. Inilah titik balik yang mengubah bola daging Tiongkok menjadi Baso Lohua yang kita kenal sekarang.

Akulturasi ini juga terlihat pada elemen pelengkap Baso Lohua. Sementara baso tradisional Tiongkok mungkin hanya disajikan dengan kaldu, Baso Lohua seringkali diperkaya dengan tahu isi (sumbat tahu), kembang tahu, dan terkadang udang kering (ebi) untuk menambah kompleksitas umami. Penambahan bawang putih goreng renyah dan seledri, yang merupakan sentuhan lokal Indonesia, menyempurnakan harmoni rasa ini. Perpaduan ini menciptakan sebuah hidangan yang secara genetik Tionghoa, tetapi secara identitas adalah Indonesia sejati.

Filosofi Bahan Baku: Mengejar Kemurnian dan Kenyal Sempurna

Kelezatan Baso Lohua tidak dihasilkan dari bumbu yang berlebihan, melainkan dari kualitas bahan baku dan teknik pengolahan yang teliti. Ini adalah masakan yang mengedepankan filosofi 'kurang adalah lebih'. Setiap komponen harus bekerja secara sinergis, dimulai dari pilihan daging hingga bumbu penyedap yang sangat minimalis.

Daging: Kunci Tekstur Kenyal (Kekenyalan)

Pemilihan daging adalah langkah krusial. Baso Lohua yang autentik sering kali menggunakan campuran daging sapi dan sedikit daging ayam, atau bahkan ikan tergantung varian regionalnya. Bagian daging yang mengandung urat atau tendon yang sedikit (seperti paha belakang atau bagian has) sering dihindari demi mendapatkan tekstur yang halus. Daging harus segar, dingin, dan diproses dengan cepat untuk memaksimalkan ekstraksi protein miofibril.

Proses pembentukan tekstur "kenyal" atau Q-texture (istilah yang sering digunakan dalam masakan Tionghoa) adalah seni tersendiri. Daging tidak hanya digiling, tetapi juga diuleni atau dibanting (proses beating) dengan suhu sangat rendah. Tindakan ini memecah dan merekonstruksi struktur protein dalam daging, memungkinkan penyerapan air yang lebih baik, sehingga bola daging mengembang saat direbus dan menghasilkan pantulan yang memuaskan di mulut. Kesabaran dalam pengulenan ini adalah penentu utama perbedaan antara baso biasa dengan Baso Lohua yang premium.

Pentingnya Suhu dalam Pembuatan Baso:

Suhu daging harus dipertahankan di bawah 10°C selama proses penggilingan dan pengulenan. Panas dapat menyebabkan protein terdenaturasi sebelum waktunya, menghasilkan baso yang kering, keras, dan gagal mencapai tekstur kenyal yang diinginkan. Beberapa pembuat baso tradisional bahkan menggunakan es serut yang dimasukkan langsung ke dalam adonan.

Kuah Lohua: Kejernihan yang Penuh Umami

Jantung dari Baso Lohua adalah kuahnya. Kuah ini harus bening layaknya kristal, namun memiliki rasa yang sangat mendalam dan kaya. Berbeda dengan kaldu Indonesia yang mungkin menggunakan kunyit atau kemiri, kuah Lohua hanya mengandalkan tulang dan bahan-bahan aromatik yang sangat terbatas—biasanya tulang sapi atau babi (tergantung preferensi), bawang putih, jahe, dan sedikit merica.

Teknik merebus kaldu ini memerlukan kesabaran tinggi. Tulang harus direbus dengan api sangat kecil (simmering) selama berjam-jam. Buih dan lemak harus terus-menerus disaring (skimming) dari permukaan air. Proses penyaringan yang ketat ini mencegah pengotoran kaldu dan memastikan kejernihan optik yang sempurna. Kejernihan kuah melambangkan kemurnian rasa dan perhatian terhadap detail dalam masakan Tionghoa tradisional.

Penyeimbang rasa utama dalam kuah ini adalah garam, sedikit gula batu (untuk menyeimbangkan rasa gurih tulang), dan kadang-kadang sedikit kecap ikan atau arak masak (bagi versi non-halal) untuk memperkaya umami. Semua bahan ini ditambahkan dengan perhitungan yang sangat hati-hati agar rasa kaldu tidak tertutup, melainkan diperkuat.

Elemen Pelengkap Khas Baso Lohua

Baso Lohua menjadi lengkap dengan kehadiran teman-temannya yang tak kalah penting. Pelengkap ini tidak hanya berfungsi sebagai pengisi mangkuk, tetapi juga menambahkan dimensi tekstur dan rasa yang lebih kompleks. Kehadiran elemen-elemen ini seringkali menjadi penanda bahwa hidangan ini memang Baso Lohua, bukan sekadar bakso biasa.

Sumbat Tahu dan Kembang Tahu Isi

Sumbat tahu, atau tahu isi daging, adalah ciri khas yang hampir wajib. Tahu kotak digoreng, dibelah, dan diisi dengan adonan daging yang sama dengan adonan baso, tetapi mungkin dengan tambahan bumbu yang sedikit lebih berani. Tahu yang lembut menyerap kuah dengan sempurna, sementara isian dagingnya memberikan kontras yang lembut dengan tekstur baso yang kenyal. Demikian pula, kembang tahu (kulit tahu) yang diisi dan diikat, memberikan tekstur kenyal-kenyal lembut yang unik.

Penggunaan tahu ini mencerminkan akar Tionghoa yang kuat, di mana tahu (dofu) merupakan sumber protein utama dan sering diolah dengan cara yang kreatif. Dalam konteks Lohua, tahu bertindak sebagai spons penyerap kuah, melepaskan rasa gurih saat digigit.

Penyempurnaan Rasa: Bawang Putih dan Minyak Wijen

Garnish adalah langkah terakhir yang sangat penting. Minyak bawang putih, yang dibuat dengan menumis irisan bawang putih hingga kuning keemasan, adalah penyempurna utama. Minyak ini memberikan aroma yang tajam, gurih, dan hangat, yang sangat kontras dengan kuah yang bening dan ringan. Tanpa minyak bawang putih ini, rasa Baso Lohua akan terasa kurang dimensinya. Demikian pula, sentuhan kecil minyak wijen pada beberapa versi memberikan aroma khas Tionghoa yang tak tertandingi.

Teknik Detail Pengolahan: Dari Adonan Hingga Pemasakan

Pembuatan Baso Lohua adalah ritual yang menuntut ketelitian yang mendekati ilmu pengetahuan. Setiap langkah, dari persiapan bahan mentah hingga penyajian, memengaruhi hasil akhir. Mengabaikan detail sekecil apa pun dapat merusak tekstur yang sangat dicari.

Proses Pengolahan Daging: Emulsifikasi Sempurna

Setelah daging digiling kasar, proses selanjutnya adalah pengadukan dengan bumbu dan pati. Rasio pati (tapioka/sagu) terhadap daging harus dijaga ketat, biasanya tidak lebih dari 15-20% dari total berat daging. Pati berlebih menghasilkan baso yang sangat keras dan tidak alami, sementara pati yang kurang menyebabkan baso menjadi rapuh dan kurang kenyal.

Pengadukan harus dilakukan secara cepat dan kuat, seringkali menggunakan mixer industri atau, secara tradisional, dengan tangan dan alat pukul. Tujuan utama adalah menciptakan emulsi yang stabil—lemak dan air tercampur merata ke dalam protein daging. Emulsi yang berhasil akan menghasilkan adonan yang lengket, elastis, dan memiliki daya rekat tinggi. Adonan yang siap dicetak harus terasa dingin dan sedikit bergetar karena kandungan airnya yang tinggi.

Pencetakan dan Rebusan Bertahap

Pencetakan baso Lohua umumnya dilakukan dengan tangan, menggunakan jempol dan telunjuk untuk membentuk bola-bola sempurna dari kepalan tangan. Bola-bola ini kemudian dimasukkan ke dalam air hangat (bukan air mendidih). Ini adalah teknik krusial. Jika baso dimasukkan ke air mendidih, bagian luarnya akan matang terlalu cepat, mengunci bagian dalam, dan menghasilkan tekstur yang keras.

Baso direbus dalam air bersuhu sekitar 70-80°C. Pada suhu ini, protein daging akan berkoagulasi secara perlahan dan merata, memungkinkan baso mengembang dan mencapai kekenyalan optimal. Ketika baso mulai mengapung, itu menandakan bahwa baso sudah matang dan siap dipindahkan ke dalam kuah kaldu yang sudah disiapkan dan dijaga tetap panas. Pemindahan ini memastikan baso segera menyerap sedikit rasa dari kaldu utama.

Variasi Regional Baso Lohua di Nusantara

Meskipun memiliki inti resep yang sama—kuah bening, baso kenyal—Baso Lohua telah beradaptasi sesuai selera lokal di berbagai kota besar di Indonesia, terutama yang memiliki komunitas Tionghoa yang kuat. Variasi ini memperkaya identitas kuliner Lohua.

Baso Lohua Gaya Batavia (Jakarta)

Di Jakarta dan sekitarnya, Baso Lohua seringkali disajikan dengan isian yang lebih beragam, mencerminkan keragaman masakan Betawi-Tionghoa. Tambahan yang umum termasuk potongan lobak (memberikan rasa manis alami pada kuah), irisan jamur kuping hitam, dan taburan merica putih yang lebih kuat. Versi Batavia juga sering kali menyertakan sedikit cuka atau sambal yang dicampur, menghasilkan rasa asam-pedas yang segar.

Beberapa pedagang legendaris di Jakarta mempertahankan resep kuno dengan menggunakan minyak babi sebagai pengganti lemak sapi dalam pembuatan adonan, yang menghasilkan baso dengan aroma yang sangat khas dan tekstur yang lebih berminyak di mulut. Namun, semakin banyak versi yang murni menggunakan daging sapi dan ayam untuk memenuhi permintaan pasar yang lebih luas.

Baso Lohua Gaya Medan dan Sumatera

Di wilayah Sumatera Utara, Baso Lohua sangat dipengaruhi oleh masakan Teochew dan Hakka, yang memiliki kedekatan dengan hasil laut. Baso Lohua di Medan seringkali memasukkan elemen seperti potongan perut ikan (fish maw) kering yang direhidrasi atau bakso ikan sebagai pelengkap. Kuahnya mungkin sedikit lebih gelap karena penggunaan kecap asin premium yang lebih banyak, tetapi tetap mempertahankan kejernihannya.

Fokus di sini adalah pada aroma. Penggunaan daun ketumbar segar, alih-alih hanya seledri, memberikan dimensi aromatik yang berbeda, lebih tajam dan segar. Pedasnya juga seringkali lebih ditekankan, disajikan dengan sambal rawit hijau yang kuat, sesuai dengan selera lokal Sumatera.

Baso Lohua Gaya Jawa Tengah dan Timur

Di Semarang, Surabaya, atau Solo, Baso Lohua berinteraksi dengan tradisi bakso Jawa yang sudah mapan. Hasilnya adalah Baso Lohua yang mungkin memiliki kadar pati sedikit lebih tinggi, menghasilkan tekstur yang lebih padat dan "padat" (tidak terlalu membal seperti versi pesisir). Di Jawa, kaldu cenderung lebih kaya bumbu rempah seperti pala dan cengkeh (dalam jumlah yang sangat minim agar tidak mengubah karakteristik kuah bening), tetapi tetap berusaha mempertahankan kejernihan khasnya.

Di beberapa tempat, Baso Lohua disajikan dengan mie kuning tebal atau bihun, menjadikannya hidangan utama yang lebih substansial, bukan hanya sup pendamping.

Analisis Sensori dan Pengalaman Menikmati Baso Lohua

Menikmati Baso Lohua adalah pengalaman multidimensi yang melibatkan seluruh indra. Pemahaman mendalam tentang setiap lapisan sensori membantu kita mengapresiasi kompleksitas yang ada di balik kesederhanaannya.

Aroma: Kehangatan dan Kekuatan Bawang Putih

Aroma Baso Lohua harus segera membangkitkan rasa nyaman. Dominasi bau kaldu tulang yang dimasak perlahan bercampur dengan aroma Bawang Putih goreng yang renyah dan sedikit pedasnya merica putih. Tidak ada bau rempah yang menonjol; justru aroma yang dominan adalah bau 'umami' alami yang berasal dari tulang sumsum dan protein daging yang terlarut dalam air.

Saat hidangan diletakkan di depan kita, uapnya membawa janji kehangatan dan kejujuran rasa. Aroma ini seringkali menjadi penanda nostalgia bagi banyak orang yang tumbuh di lingkungan keluarga Tionghoa.

Tekstur: Q dan Kontras

Tekstur adalah pembeda utama Baso Lohua.

Rasa: Keseimbangan Gurih dan Asin

Rasa Baso Lohua adalah contoh harmoni yang tenang. Rasa gurih (umami) dari kaldu sangat jelas, namun tidak asin berlebihan. Kehadiran garam dan merica berfungsi sebagai penekanan, bukan sebagai rasa dominan. Ada sedikit rasa manis alami yang berasal dari tulang sumsum atau penambahan gula batu. Ini adalah masakan yang menenangkan, dirancang untuk dikonsumsi sebagai hidangan utama maupun pelengkap, tanpa membebani indra perasa.

Mencicipi Lohua adalah proses apresiasi terhadap kualitas bahan. Jika kualitas daging dan tulang kurang baik, kuah akan terasa hambar atau datar. Kualitas Lohua sejati terpancar melalui kejujuran rasanya yang sederhana namun mendalam.

Baso Lohua dalam Konteks Sosial dan Budaya

Lebih dari sekadar makanan, Baso Lohua memiliki nilai sosial dan budaya yang penting, khususnya dalam komunitas Indonesia-Tionghoa. Ia sering dipandang sebagai makanan rumahan (comfort food) yang mewakili memori kolektif.

Makanan Keluarga dan Perayaan

Baso Lohua sering muncul di meja makan saat perayaan Imlek atau acara keluarga besar. Di tengah hidangan-hidangan mewah yang kaya rasa, Lohua menawarkan jeda yang hangat dan akrab. Dalam konteks Tionghoa, hidangan sup sering melambangkan kebersamaan dan persatuan. Baso Lohua, dengan kuah jernih dan bola-bola yang bulat, melambangkan keutuhan keluarga dan harapan akan masa depan yang mulus.

Karena proses pembuatannya yang memakan waktu dan melibatkan banyak tahap—dari menguleni daging, menyiapkan tahu, hingga merebus kaldu berjam-jam—memasak Baso Lohua seringkali menjadi kegiatan komunal yang melibatkan beberapa anggota keluarga. Ini memperkuat ikatan dan meneruskan warisan resep dari generasi ke generasi.

Warisan Pedagang Kaki Lima Legendaris

Sebagaimana banyak hidangan akulturasi lainnya, popularitas Baso Lohua juga didorong oleh pedagang kaki lima dan kedai-kedai kecil yang legendaris. Pedagang-pedagang ini, seringkali telah beroperasi selama puluhan tahun, memegang resep rahasia yang tidak tertulis. Konsistensi rasa mereka—terutama dalam mempertahankan kejernihan kuah dan kekenyalan baso—adalah kunci kelangsungan hidup kuliner ini.

Mereka menjadi penjaga tradisi, memastikan bahwa teknik kuno seperti pengulenan baso dengan tangan dan penggunaan panci kaldu yang tidak pernah kosong tetap dipertahankan, meskipun zaman modern menuntut kecepatan dan efisiensi. Keberadaan kedai-kedai ini adalah bukti nyata bahwa Baso Lohua adalah bagian tak terpisahkan dari lanskap kuliner urban Indonesia.

Tantangan Kontemporer dan Masa Depan Baso Lohua

Di era modern, di mana kecepatan adalah prioritas, Baso Lohua menghadapi tantangan dalam mempertahankan keautentikannya. Proses tradisionalnya, yang sangat bergantung pada waktu (untuk kaldu) dan tenaga kerja (untuk pengulenan), seringkali bertentangan dengan kebutuhan komersial untuk produksi massal.

Ancaman Efisiensi vs. Kualitas

Untuk memproduksi Baso Lohua dalam skala besar, banyak produsen cenderung menggunakan bahan tambahan makanan, penguat rasa (MSG berlebih), atau pati yang terlalu banyak untuk menekan biaya daging. Meskipun ini meningkatkan efisiensi, hal ini seringkali merusak tekstur "Q" yang alami dan mengurangi kedalaman rasa kaldu bening yang merupakan esensi dari Lohua.

Tantangan terbesar adalah mempertahankan kejernihan kuah tanpa mengorbankan kedalaman rasanya. Kaldu yang buram seringkali menandakan proses perebusan yang terlalu cepat atau kurangnya proses pembersihan lemak (skimming). Konsumen sejati Baso Lohua selalu dapat membedakan antara kaldu "instant" dan kaldu yang dimasak perlahan selama delapan jam.

Inovasi dan Konservasi Resep

Di sisi lain, Baso Lohua juga mengalami inovasi yang menarik. Para koki muda mulai bereksperimen dengan isian yang lebih modern, seperti truffle oil atau keju, atau menyajikan Baso Lohua dalam bentuk lain, seperti Baso Lohua Goreng dengan saus asam manis. Meskipun inovasi ini disambut baik, gerakan konservasi resep juga penting untuk memastikan generasi mendatang tetap dapat merasakan Baso Lohua yang otentik dan tradisional.

Upaya konservasi ini termasuk mendokumentasikan resep-resep keluarga yang sudah berusia ratusan tahun dan mengajarkan teknik pengolahan daging yang benar kepada para penerus. Baso Lohua, sebagai warisan budaya, harus dijaga integritasnya sambil tetap membuka diri terhadap perkembangan kuliner kontemporer. Kehadiran Baso Lohua di restoran kelas atas yang menyajikan versi premium dengan bahan-bahan terbaik menunjukkan bahwa hidangan sederhana ini memiliki potensi untuk diangkat ke level gastronomi yang lebih tinggi.

Panduan Lengkap Meracik dan Menikmati Baso Lohua Sempurna

Bagi mereka yang ingin mendalami teknik pembuatan hidangan ini, terdapat beberapa prinsip utama yang harus dipegang teguh. Kesuksesan terletak pada disiplin dalam setiap tahap.

Tahap 1: Mempersiapkan Kaldu Induk (Kuah)

Gunakan tulang sumsum yang telah dicuci bersih, direbus sebentar (blanching), dan dibuang air kotornya. Rebus tulang dengan air baru, irisan jahe, dan sedikit bawang bombay utuh. Kaldu harus direbus minimal 6 jam dengan api sangat kecil. Penting untuk tidak pernah membiarkan air mendidih terlalu keras, karena ini akan mengocok lemak dan kotoran, membuat kaldu menjadi buram dan keruh. Saring kaldu melalui kain muslin atau saringan halus untuk memastikan kejernihan maksimal.

Tahap 2: Mengolah Daging Dingin

Giling daging hingga halus bersama es serut dan bumbu dasar (garam, gula, merica putih, sedikit minyak wijen). Adonan harus tetap sangat dingin. Setelah digiling, adonan dibanting atau diuleni dengan kecepatan tinggi untuk menciptakan kekenyalan yang diinginkan. Tes kualitas adonan adalah dengan menjatuhkan sedikit adonan ke permukaan air; jika adonan mengapung dan tidak menyebar, emulsi telah berhasil.

Tahap 3: Penyajian dan Harmonisasi

Rebus baso yang sudah dicetak pada air hangat, lalu pindahkan ke kaldu induk yang panas. Baso Lohua disajikan segera. Taburi mangkuk dengan bawang putih goreng yang dibuat dari minyak nabati atau minyak babi (sesuai selera) dan irisan daun seledri atau daun bawang. Penggunaan sedikit cuka beras atau merica bubuk tambahan adalah opsional, tetapi selalu disarankan untuk menambahkan sambal di sisi mangkuk agar keindahan kuah bening tetap terjaga.

Baso Lohua adalah representasi dari kesabaran kuliner. Setiap sendok yang kita santap mengandung jam-jam perebusan kaldu, menit-menit pengulenan adonan, dan keahlian yang diwariskan turun-temurun. Inilah mengapa hidangan ini tidak hanya memuaskan perut, tetapi juga memberikan kehangatan yang mendalam di hati.

Dampak Kehadiran Baso Lohua pada Kuliner Indonesia Modern

Kehadiran Baso Lohua memberikan kontribusi signifikan terhadap definisi bakso di Indonesia. Ia mengajarkan bahwa ada spektrum rasa yang lebih luas di luar bakso urat pedas atau bakso yang dicampur dengan mie ayam. Baso Lohua mewakili sisi bakso yang elegan, murni, dan klasik.

Keseimbangan rasa dan teknik yang ditekankan dalam Baso Lohua telah memengaruhi tren kuliner kontemporer, mendorong koki untuk kembali ke dasar dan menghargai pentingnya kaldu yang berkualitas. Filosofi kejernihan dan kesederhanaan rasa yang diusung oleh Baso Lohua adalah pelajaran berharga tentang bagaimana bahan baku terbaik harus diizinkan untuk berbicara sendiri, tanpa ditutupi oleh bumbu yang berlebihan.

Dalam sejarah panjang kuliner Tionghoa-Indonesia, Baso Lohua berdiri tegak sebagai simbol harmonisasi budaya. Ia mengambil yang terbaik dari dua dunia—teknik Tiongkok kuno dalam mengolah bola daging (yang memprioritaskan tekstur) dan kekayaan bahan baku lokal Nusantara (seperti tahu dan pati)—menciptakan hidangan yang abadi. Baso Lohua akan terus menjadi warisan kuliner yang dihargai, menawarkan kehangatan yang konsisten dan rasa yang tak lekang oleh waktu, bagi setiap generasi yang mencarinya.

🏠 Homepage