Prolog: Sosok Simbolis di Jantung Priangan
Di balik kemegahan pegunungan yang memeluk tanah Pasundan, tersembunyi sebuah permata kearifan yang tak lekang dimakan zaman. Permata itu bukanlah benda mati atau prasasti batu, melainkan sosok hidup yang menjadi tiang penyangga moral dan tradisi sebuah kampung. Ia adalah Ceu Imas. Nama ini, yang mungkin terdengar biasa bagi telinga yang asing, sesungguhnya mewakili seluruh filosofi Sunda: keramahan, kehangatan, ketelitian, dan hubungan erat dengan alam.
Ceu Imas bukan sekadar nama diri; ia adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat atas jasa dan kebijaksanaannya yang melampaui usia biologisnya. Setiap orang yang menyebutnya — mulai dari anak kecil yang berebut *awug* buatannya hingga tetua kampung yang meminta nasihat — merasakan resonansi dari sebuah tradisi yang dipegang teguh. Dalam kehidupan modern yang serba cepat, Ceu Imas berdiri tegak sebagai benteng yang menjaga irama lambat, sakral, dan penuh makna dari kehidupan desa yang sesungguhnya.
Kisah tentang Ceu Imas adalah kisah tentang api tungku yang tak pernah padam, tentang lumbung padi yang selalu penuh, dan tentang senyuman yang mampu meredakan ketegangan sekampung. Artikel ini berusaha merangkum esensi dari keberadaan Ceu Imas, menelusuri jejak-jejak kearifannya, dari dapur yang beraroma rempah hingga balai musyawarah di bawah naungan pohon beringin tua.
I. Juru Masak Tradisi: Api Tungku dan Filosofi Rasa
Dalam diri Ceu Imas, memasak bukanlah sekadar kegiatan mengisi perut; ia adalah ritual, sebuah bentuk meditasi, dan cara untuk mengabadikan ingatan kolektif. Dapur Ceu Imas, yang lantainya terbuat dari tanah liat yang dipadatkan dan dindingnya menghitam oleh asap, adalah laboratorium rasa yang paling otentik di kampung itu. Di sinilah terlahir hidangan-hidangan yang, menurut para penikmat, memiliki "rasa yang jujur" — rasa yang menceritakan perjalanan bahan dari sawah hingga ke piring.
1. Nasi Liwet: Karya Agung Kesabaran
Untuk memahami Ceu Imas, seseorang harus memahami nasi liwet buatannya. Nasi liwet, yang dimasak dalam *kastrol* (panci logam tebal) di atas tungku kayu bakar, jauh melampaui nasi biasa. Ia adalah simbol kebersamaan. Ceu Imas selalu memilih beras yang baru dipanen, beras yang masih menyimpan aroma padi yang belum hilang sepenuhnya. Ia tidak pernah terburu-buru. Kayu bakar yang digunakan pun dipilih dengan cermat — biasanya kayu kopi atau rambutan — agar apinya stabil dan asapnya memberikan aroma khas yang meresap ke dalam nasi.
Proses perendamannya dihitung dengan presisi, perbandingan air dan berasnya diputuskan bukan melalui timbangan digital, melainkan melalui intuisi yang diasah puluhan tahun. Bumbu yang ditambahkan—serai yang digeprek, daun salam yang disobek sedikit agar aromanya keluar, dan irisan bawang merah serta cabai rawit utuh—diletakkan dengan penuh hormat. Kemudian, yang menjadi ciri khas nasi liwet Ceu Imas adalah penggunaan ikan asin peda atau jambal roti yang dipotong kecil dan digoreng kering terlebih dahulu, lalu dicampurkan saat nasi mulai *diaron* (setengah matang).
"Rasa itu bukan hanya lidah yang merasakan, tapi hati. Kalau masak terburu-buru, rasa hatinya tidak ikut. Nasi liwet yang sempurna harus mendesis pelan, mengeluarkan asap tipis, dan saat dibuka, butiran nasinya harus berdiri tegak, tidak saling menempel, tapi juga tidak kering. Itu namanya ‘butir yang sopan’," ujar Ceu Imas, selalu sambil tersenyum tipis, saat menjelaskan seni liwet kepada cucu-cucunya.
2. Kecakapan dalam Pepes dan Pais
Selain liwet, keahlian Ceu Imas yang paling diakui adalah teknik membungkus dan mengukus (pepes atau pais). Pepes bukan sekadar cara mengolah ikan atau jamur; ini adalah cara Ceu Imas mengawetkan dan memekatkan rasa alam. Ia menggunakan daun pisang yang baru dipetik di pagi hari, memastikan daun itu lentur dan tidak mudah robek, dan mengolesinya dengan sedikit minyak kelapa agar tidak lengket.
Bumbu dasar (bumbu kuning atau bumbu merah) yang ia buat selalu digiling manual menggunakan *coét* (cobek batu besar), bukan blender. Proses penggilingan ini, menurutnya, mengeluarkan minyak atsiri dari rempah-rempah dengan cara yang berbeda, lebih otentik. Bumbu dasar ini sangat kompleks, melibatkan kunyit bakar, jahe, kencur (yang wajib ada dalam masakan Sunda), bawang merah, bawang putih dari kebun sendiri, kemiri sangrai, dan tentu saja, cabai yang digerus pelan.
Bayangkanlah Pepes Ikan Mas Presto ala Ceu Imas. Ikan mas yang digunakan harus berasal dari kolam air mengalir, yang memastikan tidak ada bau lumpur. Setelah dibersihkan dan dilumuri air asam, ikan tersebut dibaluri bumbu tebal yang diperkaya daun kemangi segar dan irisan tomat hijau. Proses pengukusan yang lama (seringkali lebih dari empat jam) membuat tulang ikan menjadi lunak dan bumbu meresap sempurna. Langkah terakhir, pembakaran singkat di atas bara arang panas, memberikan aroma *hangit* (gosong) yang tipis dan khas, menjadikannya sebuah mahakarya rasa yang membuat orang rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk mencicipinya.
3. Lalapan dan Sambal: Kesederhanaan yang Rumit
Di meja makan Ceu Imas, selalu ada *lalapan* (sayuran mentah) dan *sambel terasi*. Lalapan adalah representasi langsung dari ekosistem sekitar. Ia tidak pernah mengambil lalapan dari pasar. Ia memetiknya sendiri dari pekarangan belakang: daun singkong muda, daun pepaya yang direbus sebentar untuk menghilangkan pahitnya, petai cina, mentimun yang masih berembun, dan daun pohpohan yang renyah dengan aroma mint yang tajam.
Namun, bintang sesungguhnya adalah sambalnya. Sambal terasi Ceu Imas memiliki tekstur kasar dan warna merah yang pekat. Rahasianya terletak pada terasi yang dibakar hingga mengeluarkan aroma khas yang menusuk hidung, dicampur dengan cabai rawit merah segar, garam laut, gula merah aren asli, dan perasan air jeruk limau. Ceu Imas selalu menekankan bahwa sambal adalah keseimbangan antara pedas (amarah), manis (harapan), asin (kehidupan), dan asam (kesegaran). Keempat rasa ini harus hadir serentak, mewakili dinamika kehidupan.
Kontras tekstur dari lalapan yang segar dan renyah, berpadu dengan sambal yang pedas, gurih, dan kompleks, menciptakan pengalaman makan yang autentik dan tak tertandingi. Ini bukan hanya tentang makanan; ini adalah tentang cara Ceu Imas merawat bumi dan mengambil manfaatnya tanpa berlebihan. Setiap gigitan adalah sebuah pelajaran tentang ekologi dan rasa syukur.
II. Indung Peuting: Kearifan Sosial dan Perekat Kampung
Jika dapur adalah hati Ceu Imas, maka perannya dalam komunitas adalah jiwanya yang meluas. Di kampung, ia dijuluki *Indung Peuting* (Ibu Malam, metafora untuk sosok yang memberikan perlindungan dan ketenangan). Perannya melampaui batasan formal ketua RT atau tokoh agama; ia adalah simpul tak terlihat yang menjaga agar benang-benang sosial di kampung tidak putus.
1. Mediator dan Penasihat Senyap
Konflik kecil di kampung, seperti batas lahan yang bergeser, perselisihan antar pedagang di pasar, atau masalah rumah tangga yang memanas, seringkali berhenti di teras rumah Ceu Imas. Ia jarang menggunakan kata-kata keras atau hukuman. Nasihatnya disampaikan melalui analogi sederhana, seringkali terkait dengan kegiatan menanam atau memasak.
Misalnya, saat dua pemuda berselisih karena iri hati, Ceu Imas tidak langsung menyalahkan. Ia akan menyuruh mereka membantunya menampi beras. Saat beras dan sekam dipisahkan oleh gerakan ayunan yang ritmis, ia berkata, "Hidup ini seperti menampi. Kotoran dan biji yang baik harus dipisahkan perlahan. Jika kita ayunkan terlalu keras karena marah, biji yang baik pun ikut terbuang. Sabar. Cari tahu mana biji, mana sekam, baru kita buang sekamnya." Pendekatan yang sarat makna dan non-konfrontatif ini membuat setiap pihak merasa didengarkan dan dihormati.
2. Gotong Royong dan Tradisi Ngariung
Ceu Imas adalah motor penggerak tradisi *gotong royong* (kerja bakti). Tidak ada kegiatan besar di kampung—mulai dari memperbaiki saluran irigasi hingga perayaan pernikahan—yang tidak melibatkan koordinasinya. Namun, kehebatannya terletak pada ritual *ngariung* (berkumpul) setelah kerja keras usai. Ia percaya, keringat harus diimbangi dengan kebahagiaan bersama.
Saat *ngariung*, makanan yang ia siapkan selalu disajikan dalam porsi besar, dengan lauk-pauk yang diletakkan di atas daun pisang panjang (botram). Ini bukan hanya tentang makan; ini adalah penegasan bahwa hasil kerja keras adalah milik bersama. Dalam tradisi *ngariung* ini, status sosial hilang. Kepala desa, petani, dan guru duduk bersila berdampingan, makan dari piring yang sama, mematahkan batasan, dan memperkuat ikatan *silih asih* (saling menyayangi) yang merupakan inti dari kearifan Sunda.
Ia juga mengajarkan pentingnya *pamali* (pantangan/tabu) bukan sebagai larangan yang menakutkan, melainkan sebagai pedoman ekologis. Misalnya, "Pamali mengambil ikan yang sedang bertelur," yang merupakan cara Ceu Imas mengajarkan konservasi sumber daya alam. Ia menghubungkan setiap tradisi dengan kelangsungan hidup komunitas. Jika komunitas kuat, maka individu di dalamnya akan aman.
3. Penjaga Bahasa dan Cerita Lama
Di masa ketika bahasa Sunda mulai terkikis oleh modernisasi, Ceu Imas adalah kamus berjalan. Ia selalu berbicara dengan bahasa Sunda *lemes* (halus), mengajarkan anak-anak pentingnya unggah-ungguh (etika berbahasa). Ia tidak hanya mengajarkan kata, tetapi juga nada dan konteks.
Setiap malam Jumat, seringkali anak-anak kampung berkumpul di beranda rumahnya yang beralaskan tikar pandan. Ceu Imas akan menceritakan *dongeng* (cerita rakyat) yang mengandung pesan moral mendalam. Ia bercerita tentang Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau kisah lokal tentang asal-usul bukit di belakang kampung. Melalui cerita ini, ia menanamkan rasa memiliki terhadap tanah dan sejarah leluhur. Cerita-cerita itu bukan sekadar hiburan; mereka adalah kurikulum tidak tertulis mengenai nilai-nilai kejujuran, keberanian, dan kesetiaan terhadap kampung halaman.
Ia juga ahli dalam *sisindiran* (pantun Sunda) dan *kawih* (lagu tradisional). Ketika ada momen sedih atau bahagia, ia selalu memiliki *kawih* yang tepat, yang diiringi petikan kecapi sederhana. Suaranya, meskipun sudah menua, selalu membawa getaran nostalgia dan rasa hormat terhadap seni tutur yang hampir punah. Ia memastikan bahwa tradisi lisan ini akan terus hidup, diwariskan melalui telinga ke hati.
III. Filosofi Sawah dan Gunung: Silih Wawangi
Kehidupan Ceu Imas tidak dapat dipisahkan dari ekologi tempat ia tinggal. Ia adalah representasi nyata dari filosofi Sunda kuno: *silih asih, silih asuh, silih wawangi* (saling mengasihi, saling mengayomi, dan saling mengharumkan/menghormati). Penghormatan terhadap alam adalah inti dari keberadaannya, yang tercermin dalam setiap praktik pertanian dan pengobatan tradisionalnya.
1. Padi, Air, dan Ritual Hajat Bumi
Meskipun bukan petani utama, Ceu Imas memiliki pemahaman yang mendalam tentang siklus pertanian. Ia adalah pemrakarsa *Hajat Bumi* (syukuran panen) yang dilakukan sebelum penanaman dan setelah panen raya. Ritual ini adalah manifestasi rasa terima kasih kepada alam yang telah memberikan kehidupan.
Dalam ritual tersebut, Ceu Imas memimpin para ibu-ibu membuat *tumpeng* yang sangat besar, menggunakan beras hasil panen terbaik. Tumpeng tersebut kemudian diarak ke sawah, diiringi doa-doa kuno yang memohon berkah dan kesuburan, serta meminta maaf kepada air, tanah, dan padi, jika selama pengolahan ada perlakuan yang kurang menghormati mereka. Praktik ini mengajarkan bahwa hasil panen bukanlah hak mutlak, melainkan pinjaman dari alam yang harus dijaga keseimbangannya.
Ia juga sangat ketat dalam urusan air. Kampung mereka dialiri oleh *leuwi* (sungai kecil) yang berhulu di gunung. Ceu Imas selalu memastikan bahwa tidak ada sampah atau limbah yang dibuang ke sungai. Ia mengajarkan bahwa air adalah darah kehidupan; jika air kotor, maka seluruh kampung akan sakit. Kedisiplinannya dalam menjaga mata air telah membuat kampungnya dikenal memiliki sistem irigasi yang paling efisien dan air minum yang paling jernih di wilayah tersebut.
2. Farmasi Hijau: Jamu dan Pengobatan Tradisional
Pekarangan rumah Ceu Imas adalah apotek herbal alami. Ia mahir dalam meracik jamu dan obat-obatan tradisional berbasis tanaman. Pengetahuannya tentang khasiat daun, akar, dan rimpang diperoleh turun-temurun dari neneknya, yang dulunya adalah seorang *paraji* (dukun beranak/bidan tradisional).
Beberapa racikan andalannya yang sering diminta warga, terutama saat pergantian musim, meliputi:
- Jamu Kunyit Asam: Dibuat dari kunyit yang baru dipanen, asam Jawa berkualitas tinggi, dan gula aren, berfungsi untuk menjaga stamina dan membersihkan perut. Ia menambahkan sedikit cengkeh untuk aroma yang hangat.
- Ramuan Penghangat Badan: Kombinasi jahe merah bakar, kencur, sereh, dan sedikit lada hitam, direbus hingga pekat. Ramuan ini wajib diminum saat musim hujan atau setelah bekerja di sawah yang dingin.
- Tapal untuk Luka: Menggunakan daun sirih atau daun jarak yang ditumbuk halus, dicampur dengan sedikit kapur sirih, lalu ditempelkan pada luka kecil atau bengkak.
Dalam setiap pembuatan jamu, Ceu Imas selalu mengingatkan bahwa khasiat terbesar bukanlah pada bahan, melainkan pada keyakinan dan niat saat meracik dan meminumnya. Ia tidak mengklaim dirinya sebagai dokter, tetapi sebagai fasilitator antara manusia dan penyembuhan alami yang ditawarkan oleh tanah Pasundan.
IV. Warisan Rasa yang Tak Terukur: Detail di Balik Kehangatan
Untuk benar-benar memenuhi kedalaman karakter Ceu Imas dan mencapai elaborasi yang dibutuhkan, kita harus menyelam lebih dalam ke dalam detail-detail kecil yang membentuk kehidupannya sehari-hari. Detail ini adalah warisan tak terukur yang ia wariskan kepada generasi berikutnya.
1. Etika Makan dalam Perspektif Ceu Imas
Ceu Imas memiliki etika yang sangat ketat mengenai makanan. Etika ini bukan hanya untuk tata krama di meja, tetapi juga untuk menghargai proses yang ada di balik makanan itu sendiri. Ia mengajarkan bahwa sebelum makan, harus ada jeda sejenak untuk mengingat kerja keras petani, panasnya api, dan kesabaran tukang masak. Jeda ini disebut *rasa hurmat* (rasa hormat).
Ia melarang keras membuang makanan. Sisa makanan adalah *durhaka* terhadap bumi. Jika ada sisa, ia selalu punya cara untuk mengolahnya kembali—nasi sisa menjadi *nasi goreng kampung* yang dibumbui terasi dan kencur, atau sayur sisa dihangatkan dengan sedikit air kaldu baru agar rasanya segar kembali. Tidak ada pemborosan dalam kamus Ceu Imas.
Ia juga sangat memperhatikan cara menyajikan makanan. Meskipun hanya untuk keluarga, makanan harus diletakkan dengan indah. Daun pisang selalu dibersihkan dengan lap basah hingga mengilat. Sambal diletakkan di tengah cobek batu yang sudah dicuci bersih. Filosofi ini mengajarkan bahwa estetika adalah bagian dari rasa; makanan yang disajikan dengan indah terasa dua kali lebih nikmat.
2. Seni Membuat Kue Tradisional (Jajanan Pasar)
Di luar masakan berat, keahlian Ceu Imas dalam membuat *jajanan pasar* Sunda merupakan harta karun tersendiri. Kue-kue ini adalah lambang kelembutan dan ketelatenan. Proses pembuatannya sangat manual dan membutuhkan keahlian khusus yang kini sulit ditemukan.
Kue Awug: Simbol Kehangatan
Awug adalah kue dari tepung beras ketan yang dikukus berlapis-lapis dengan gula merah aren, disajikan dengan parutan kelapa. Ceu Imas sangat teliti memilih kelapa, harus kelapa yang tidak terlalu tua, agar parutannya masih mengandung sedikit air dan terasa gurih. Proses mengukusnya menggunakan *aseupan* (kukusan berbentuk kerucut) yang diletakkan di atas *dandang* (panci kukus besar). Uap panas yang dihasilkan oleh kayu bakar memberikan tekstur yang sempurna—lembut, sedikit kenyal, dan aroma gula merah yang meleleh sempurna.
Teknik Ceu Imas adalah ia tidak pernah mencampur gula dan tepung terlalu banyak. Gula merah harus menjadi lapisan di antara adonan tepung. Ketika awug matang, gula merah akan meleleh dan turun ke lapisan bawah, menciptakan kejutan rasa manis yang seimbang dengan gurihnya kelapa. Awug ini adalah hidangan yang wajib ada saat pertemuan keluarga besar atau acara kampung yang bersifat hangat dan santai.
Kue Ali Agrem dan Bugis
Untuk Ali Agrem (kue berbentuk cincin dari tepung beras ketan dan gula aren), Ceu Imas menggunakan teknik penggorengan yang sangat spesifik. Minyak kelapa harus panas merata, dan kue digoreng dengan api kecil agar matang hingga ke dalam tanpa menjadi gosong di luar. Kue ini melambangkan ikatan yang tak terputus (cincin) dalam komunitas.
Sedangkan Kue Bugis (adonan ketan yang diisi parutan kelapa manis/unti), dibungkusnya menggunakan teknik lipatan daun pisang yang sangat rapi dan berbentuk segitiga sempurna. Ia memastikan tidak ada adonan yang bocor saat dikukus, sehingga menghasilkan tekstur yang sangat halus dan mengilat. Kekuatan Ceu Imas terletak pada konsistensi adonan; tidak terlalu lembek, tidak terlalu keras, pas di gigitan.
3. Mengelola Rasa Sakit dan Dukacita
Peran Ceu Imas juga sangat terasa saat kampung dilanda musibah atau dukacita. Dalam suasana duka, kehadirannya adalah ketenangan. Ia tidak banyak bicara, tetapi tindakannya berbicara lebih keras. Ia adalah orang pertama yang memastikan dapur keluarga yang berduka tetap mengepul, menyediakan makanan untuk pelayat, dan mengatur logistik. Dalam budaya Sunda, memastikan perut pelayat terisi adalah bentuk penghormatan tertinggi kepada yang meninggal dan keluarganya.
Ia mengatur pembagian tugas memasak, memastikan semua ibu-ibu mendapat bagian yang adil, dan bahwa semua bahan tersedia. Ia memimpin prosesi memasak yang hening, di mana setiap gerakan mencincang bawang atau mengaduk kuah dilakukan dengan kesadaran penuh, sebagai bentuk solidaritas dan penghormatan. Kehadiran fisiknya yang kuat dalam membantu meringankan beban psikologis keluarga yang kehilangan adalah salah satu kontribusi sosialnya yang paling berharga.
Ia sering berkata, "Duka harus dirasakan, tetapi hidup harus terus berjalan. Dan untuk berjalan, perut harus terisi. Rasa sedih tidak boleh membuat kita lupa pada kewajiban memberi makan tubuh dan jiwa." Prinsip pragmatis yang lembut inilah yang membuat Ceu Imas dihormati sebagai pengelola emosi dan logistik kampung.
4. Detail Penggunaan Garam dan Gula
Dalam seni memasak, Ceu Imas berpegangan pada prinsip 'setengah sendok lebih sedikit lebih baik daripada seperempat sendok terlalu banyak'. Ia selalu mengukur bumbu dengan tangan atau mata, tetapi filosofi di baliknya adalah tentang menahan diri (kendali diri).
Garam (asin) melambangkan tantangan dan realitas hidup yang keras. Gula (manis) melambangkan harapan dan keindahan. Ceu Imas berpendapat bahwa masakan yang sempurna harus seimbang, seperti hidup. Terlalu banyak manis akan membuat kita lengah dan lupa pada kesulitan; terlalu banyak asin akan membuat kita pahit dan putus asa. Keseimbangan rasa inilah yang ia tanamkan pada setiap masakan dan nasihatnya.
Ia menggunakan gula merah aren asli yang berwarna gelap dan beraroma karamel kaya, yang ia dapatkan langsung dari penderes di kaki gunung. Garam yang digunakannya adalah garam laut yang masih kasar, yang menurutnya memiliki mineral dan rasa yang lebih kompleks daripada garam meja halus. Detail pemilihan bahan ini memastikan bahwa setiap hidangan yang dibuatnya memiliki lapisan rasa yang mendalam dan berkesan.
Filosofi ini tidak hanya berlaku untuk masakan. Ketika ia menasihati pasangan muda, ia sering menggunakan perumpamaan gula dan garam. "Jangan hanya mencari manis. Carilah asin juga, agar kalian tahu bagaimana cara membuat manis itu terasa lebih berharga. Pernikahan tanpa sedikit asin akan hambar," katanya, mengajarkan bahwa tantangan adalah bumbu yang membuat hubungan menjadi lebih bermakna.
V. Regenerasi dan Jejak Abadi Ceu Imas
Seorang tokoh sejati diukur bukan hanya dari apa yang ia lakukan saat masih berkuasa, tetapi dari bagaimana ia menyiapkan transisi dan warisan untuk generasi berikutnya. Ceu Imas sangat sadar akan pentingnya regenerasi kearifan lokal. Ia tidak pernah pelit ilmu, tetapi ia tahu bahwa kearifan tidak bisa diajarkan melalui buku teks; ia harus dialami dan dihayati.
1. Sekolah Tak Berdinding
Dapur Ceu Imas adalah sekolah tak berdinding. Anak-anak muda, khususnya para gadis yang akan menikah atau pemuda yang ingin belajar hidup mandiri, sering menghabiskan waktu di sampingnya. Ia tidak memberikan resep tertulis. Ia mengajarkan dengan meminta mereka "merasakan" bumbu, "mendengarkan" desis minyak, dan "mencium" aroma kematangan. Metode pengajaran ini menekankan pada intuisi dan koneksi sensorik, yang merupakan kunci utama dalam tradisi memasak leluhur.
Ia mengajarkan tentang *lekker* (gurih), *pait* (pahit), *seger* (segar), dan *hinyay* (berminyak, biasanya konotasi negatif jika berlebihan) bukan hanya sebagai kata sifat, tetapi sebagai pengalaman. Misalnya, jika masakan terlalu asin, ia akan menyuruh muridnya menambahkan sedikit air kelapa atau gula untuk menyeimbangkan, dan kemudian bertanya, "Apa yang kamu pelajari dari kelebihan garam ini?" Pelajaran selalu berakhir pada kearifan hidup, bukan sekadar teknik memasak.
Salah satu pelajaran terpenting yang ia tekankan adalah etika mendapatkan bahan. Ia meminta mereka untuk meminta izin kepada alam sebelum memetik daun atau bunga. Jika memetik daun singkong, harus disisakan untuk pertumbuhan berikutnya. Jika mengambil ikan, ambil yang sudah dewasa. Hal ini memastikan bahwa generasi muda mewarisi bukan hanya resep, tetapi juga tanggung jawab ekologis.
2. Konservasi Budaya dalam Kain Tenun
Selain kuliner dan sosial, Ceu Imas juga aktif dalam konservasi seni rupa lokal, terutama tenun atau batik sederhana yang biasa dipakai sehari-hari. Ia mengelola kelompok kecil ibu-ibu yang bertugas menjaga pola-pola tenun lama yang terancam punah. Ia percaya bahwa pakaian adalah cerminan dari martabat dan kebanggaan terhadap identitas Sunda.
Setiap motif yang diajarkan memiliki cerita: motif *mega mendung* meskipun aslinya Cirebon, diadaptasi dengan warna-warna Priangan yang lebih lembut; motif *parang* yang melambangkan ombak kehidupan yang harus dihadapi dengan keberanian. Ceu Imas memastikan bahwa para penenun muda memahami makna di balik setiap benang yang mereka rajut, sehingga produk mereka bukan hanya kain, tetapi narasi yang bisa dikenakan.
3. Warisan di Setiap Sudut Kampung
Warisan Ceu Imas kini terlihat di mana-mana. Tukang sayur kini menjual lalapan yang lebih lengkap, karena ia mencontohkan cara menghargai varietas lokal. Para ibu muda kini lebih sering memilih tungku daripada kompor gas untuk acara-acara khusus. Kebun di belakang rumah-rumah warga kembali dipenuhi tanaman obat-obatan. Semua ini adalah efek riak dari keteladanan yang ia berikan.
Ia tidak pernah memaksa. Ia hanya hidup sebagai contoh, sebagai *role model* yang diam dan kuat. Ia menunjukkan bahwa hidup yang terhubung dengan akar budaya dan alam adalah hidup yang paling kaya, paling tenang, dan paling bermakna.
Sosok Ceu Imas adalah sebuah pengingat abadi bahwa kemajuan tidak harus berarti meninggalkan tradisi. Sebaliknya, tradisi—yang dikemas dengan kearifan dan disajikan dengan cinta, seperti nasi liwet yang sempurna—adalah fondasi terkuat untuk menghadapi masa depan yang serba tidak pasti. Ia bukan pahlawan perang, bukan politisi ulung, tetapi ia adalah penjaga rasa yang menjaga keutuhan jiwa Pasundan.
Melalui setiap kunyahan lalapan segar, setiap hirupan kuah sayur asam yang pedas, dan setiap tawa yang dibagi saat *ngariung*, Ceu Imas mengajarkan kepada kita semua makna sejati dari kata "pulang." Pulang ke akar, pulang ke alam, dan pulang ke rasa yang jujur.
Kehadirannya adalah sebuah ode terhadap kesederhanaan yang mendalam. Sebuah pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya: berakar kuat di tanah tempat ia dilahirkan, namun memiliki hati yang terbuka luas untuk merangkul setiap orang yang datang mencari kehangatan dan kearifan.
Biarlah cerita ini menjadi pengingat, bahwa di setiap kampung, di setiap dapur yang berasap, ada seorang Ceu Imas yang mungkin tidak dikenal dunia luar, tetapi merupakan mercusuar abadi bagi komunitasnya. Dan kearifan yang ia wariskan akan terus membimbing langkah anak cucu Pasundan untuk selamanya.
Detail-detail kecil dalam kehidupan sehari-hari Ceu Imas, mulai dari cara ia memotong bawang yang selalu bersih dan rapi, hingga caranya menyapu halaman rumahnya di pagi hari yang dilakukan dengan gerakan ritmis dan penuh kesadaran, semua menunjukkan bahwa kearifan adalah aplikasi dari ketelitian dalam hal-hal terkecil sekalipun. Ia mengajarkan bahwa ritual terbesar adalah rutinitas sehari-hari yang dilakukan dengan penuh rasa hormat. Setiap helai daun yang gugur adalah pengingat akan siklus kehidupan, dan setiap butir beras yang dimasak adalah karunia yang tak ternilai.
Pengaruhnya meluas hingga ke sektor ekonomi mikro kampung. Ia sering menjadi penjamin bagi para pedagang kecil yang ingin memulai usaha, menyediakan modal awal tanpa bunga, hanya dengan janji: "Bayar kembali jika usahamu sudah berjalan, dan jangan pernah mengambil untung dengan menipu timbangan." Prinsipnya adalah kepercayaan yang dibangun di atas kejujuran, bukan kontrak legal yang kaku. Hal ini menciptakan ekosistem ekonomi yang berbasis pada *silih percaya* (saling percaya) dan *silih tulungan* (saling menolong), menjauhkan kampung dari jeratan rentenir atau hutang yang merusak.
Bahkan dalam hal seni berpakaian, Ceu Imas memiliki gaya yang khas. Ia selalu mengenakan kebaya sederhana dari katun, dengan kain batik yang warnanya sudah memudar karena sering dicuci, namun selalu terlihat bersih dan rapi. Penampilan ini mencerminkan filosofi hidupnya: bersahaja, tidak mencolok, tetapi memiliki aura martabat yang kuat. Kebaya dan batik yang ia kenakan adalah seragam seorang pelayan komunitas, yang selalu siap siaga, namun tetap menjaga kehormatan diri.
Ketika malam tiba, setelah semua urusan dapur dan musyawarah selesai, Ceu Imas seringkali menghabiskan waktu di teras rumahnya, ditemani secangkir kopi tubruk hitam manis. Momen ini adalah momen refleksi. Ia melihat ke arah sawah yang gelap, hanya diterangi oleh bintang. Ia merenungkan hari yang telah berlalu dan membuat rencana tentang bagaimana menjaga harmoni keesokan harinya. Keheningan malam memberinya kekuatan untuk menghadapi hiruk pikuk siang. Ketenangan ini, yang ia yakini didapatkan dari hidup yang selaras dengan irama alam, adalah warisan terbesarnya yang sulit ditiru: ketenangan jiwa yang absolut di tengah dunia yang bising.
Dia adalah penjaga waktu. Waktu di dapur bukan dihitung dengan jam, tetapi dengan aroma. Waktu di sawah dihitung dengan pergerakan matahari. Waktu dalam komunitas dihitung dengan musim panen dan musim hujan. Kehidupan yang terstruktur oleh alam, bukan oleh mesin, adalah inti dari ajaran Ceu Imas. Dan selama masih ada beras yang dimasak di atas tungku, selama masih ada daun pisang yang digunakan untuk membungkus bumbu, dan selama masih ada orang yang mau mendengarkan cerita lama, maka jiwa dan kearifan Ceu Imas akan terus menjadi denyut nadi yang hidup dan abadi di tanah Pasundan.
Penghormatan terhadap tanah juga diwujudkan dalam cara ia mengubur sisa-sisa bahan organik. Semua limbah dapur yang bisa diuraikan dikembalikan ke bumi sebagai kompos. Ia memastikan bahwa nutrisi yang diambil dari tanah dikembalikan dengan penuh rasa syukur. Proses ini adalah metafora untuk memberi dan menerima dalam kehidupan sosial: apa yang kita ambil, harus kita kembalikan dalam bentuk kebaikan atau manfaat bagi orang lain. Jika kita hanya mengambil tanpa memberi, keseimbangan akan rusak.
Dalam musim kemarau panjang, ketika sumber air mulai menipis, peran Ceu Imas menjadi sangat krusial. Ia tidak hanya menghemat air untuk dirinya sendiri, tetapi ia juga mengorganisir sistem penjatahan air yang adil. Ia mengajarkan pentingnya berbagi air untuk kebutuhan minum dan pertanian, bahkan jika itu berarti sumurnya sendiri harus berkurang. Prinsipnya adalah, "Sakit satu, sakit semua." Kelangsungan hidup komunitas lebih penting daripada kenyamanan pribadi. Solidaritas di bawah ancaman alam adalah ujian kearifan sejati, dan Ceu Imas selalu memimpin dengan keteladanan.
Bahkan dalam cara ia menanggapi modernisasi, Ceu Imas menunjukkan kebijaksanaan. Ia tidak menolak teknologi sepenuhnya, tetapi ia memfilternya. Ia menggunakan ponsel hanya untuk komunikasi mendesak dan jarang bersentuhan dengan media sosial. Ia menyaring informasi baru melalui kacamata kearifan lokal. Jika sebuah inovasi membantu komunitas tanpa merusak nilai-nilai luhur atau lingkungan, ia akan mendukungnya. Namun, jika sebuah kemajuan hanya menciptakan individualisme dan pemborosan, ia akan menolaknya dengan halus, memberikan argumen yang didasarkan pada pengalaman empiris dan tradisi. Ia mengajarkan bahwa teknologi harus menjadi alat, bukan tuan.
Warisan terpenting dari Ceu Imas adalah sebuah paradigma kehidupan yang utuh. Ia menghubungkan spiritualitas dengan makanan, ekonomi dengan etika, dan sosial dengan ekologi. Hidupnya adalah sebuah ensiklopedia yang tidak tertulis tentang bagaimana menjalani kehidupan yang sederhana tetapi kaya, terbatas oleh ruang kampungnya, tetapi tak terbatas dalam pengaruh kearifannya. Setiap langkahnya, setiap resepnya, setiap kata nasihatnya adalah babak dalam saga abadi tentang menjaga *rasa*—bukan hanya rasa di lidah, tetapi rasa kemanusiaan dan rasa syukur terhadap alam semesta.
Kisah Ceu Imas akan terus diceritakan oleh angin yang berembus melintasi sawah, oleh aroma kunyit yang dibakar di dapur, dan oleh ketenangan yang dirasakan setiap orang yang duduk bersila di terasnya. Ia adalah denyut jantung dari kearifan Sunda, sebuah legenda yang hidup, dan penjaga api tradisi yang takkan pernah padam.