Ilustrasi: Timbangan Keadilan Akidah
Gerakan Wahabisme, yang berakar dari ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab di Najd pada abad ke-18, seringkali memicu perdebatan sengit di kalangan umat Islam global. Meskipun para penganutnya mengklaim mengikuti kemurnian tauhid ala Salafus Shalih, banyak pandangan dan praktik mereka yang dianggap menyimpang dan menimbulkan kerancuan akidah oleh mayoritas ulama Sunni tradisional, terutama dari mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah. Kerancuan ini bukan sekadar perbedaan metodologi ijtihad, melainkan menyentuh dasar-dasar pokok keimanan.
Salah satu titik paling kontroversial adalah pendekatan Wahabi terhadap Asma wa Sifat Allah. Mereka cenderung menganut paham literalistik (zahiri) terhadap ayat-ayat mutasyabihat (yang maknanya memerlukan interpretasi mendalam), mengabaikan kaidah tafwidh (menyerahkan hakikat makna kepada Allah) atau ta'wil (interpretasi kontekstual yang sesuai dengan prinsip ketuhanan) yang lazim digunakan oleh Ahlussunnah Wal Jama'ah.
Misalnya, klaim mengenai sifat "yadullah" (tangan Allah) atau "wajhullah" (wajah Allah) sering dipahami secara harfiah oleh kelompok Wahabi, yang kemudian mengarah pada tuduhan "tashbih" (menyerupakan Allah dengan makhluk). Bagi jumhur ulama, memahami sifat Allah harus selalu berada dalam kerangka "laa yukhalifu fiihi, wa laa yusyabihul makhluqin" (tidak bertentangan dengan prinsip ketuhanan dan tidak menyerupai ciptaan). Kerancuan ini berdampak pada penolakan terhadap konsep keagungan Allah yang melampaui pemahaman indrawi manusia.
Kerancuan akidah Wahabi terlihat nyata dalam sikap mereka terhadap warisan keilmuan Islam yang telah mapan selama berabad-abad. Mereka cenderung menolak otoritas empat mazhab fiqih utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dalam masalah furu' (cabang) dan bahkan dalam ushul (pokok) tertentu, menganggap praktik yang berkembang di masyarakat Muslim (seperti ziarah kubur, tahlilan, atau perayaan maulid) sebagai bid'ah yang mengarah pada kesyirikan.
Sikap takfir (mengkafirkan) dan tabdi' (menganggap bid'ah) yang sangat mudah dikeluarkan terhadap Muslim yang berbeda pandangan menjadi ciri khas yang menimbulkan perpecahan. Padahal, dalam tradisi Islam, perbedaan pendapat yang muncul dari ijtihad yang dilandasi dalil tetap dihargai sebagai rahmat. Ketika tradisi ini ditolak mentah-mentah tanpa pemahaman konteks historis dan teologis yang mendalam, maka lahirlah sebuah kerancuan di mana 'kemurnian' yang dicari justru meniadakan jembatan persatuan umat.
Isu tawasul (meminta pertolongan melalui perantara Nabi Muhammad SAW atau wali Allah) adalah salah satu ranah di mana kerancuan akidah Wahabi paling vokal. Mereka menganggap segala bentuk tawasul kecuali yang spesifik diajarkan Nabi sebagai kesyirikan besar. Pendekatan ini menyederhanakan konsep doa dan interaksi spiritual.
Bagi mayoritas Sunni, tawasul yang bersifat "tawassul bil mahabbah" (tawasul karena kecintaan kepada Nabi) atau "tawassul bi fadlihil" (tawasul karena keutamaan Nabi) adalah sah dan merupakan bentuk cinta yang dianjurkan. Namun, dalam pandangan Wahabi, praktik ini sering dicap sebagai 'syirik akbar' yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Kerancuan muncul karena label kesyirikan diterapkan pada amalan yang selama ini dipraktikkan oleh umat Islam dari generasi ke generasi tanpa ada bantahan serius dari para ulama besar terdahulu.
Kerancuan akidah Wahabi terletak pada kecenderungan mereka untuk menganut interpretasi yang sempit dan literalistik, seringkali mengabaikan prinsip kehati-hatian (ihtiyat) dalam persoalan akidah yang kompleks. Dengan menolak otoritas keilmuan yang telah teruji dan melabeli perbedaan sebagai kesyirikan atau bid'ah secara sembrono, gerakan ini justru menciptakan perpecahan internal yang merugikan kohesi umat Islam. Memahami akar-akar kerancuan ini penting agar umat dapat kembali pada jalan tengah (wasatiyyah) yang diajarkan oleh ajaran Islam yang moderat dan inklusif.