Visualisasi Keseimbangan dalam Aqidah
Dalam Islam, **Aqidah** memegang peranan sentral sebagai fondasi keimanan. Aqidah adalah seperangkat keyakinan yang harus diyakini kebenarannya oleh seorang Muslim tanpa keraguan sedikit pun, karena menjadi penentu sah atau tidaknya keislaman seseorang. Salah satu corak pemikiran yang paling berpengaruh dan dianut oleh mayoritas umat Islam Sunni di Nusantara adalah **Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah**, atau yang sering disingkat **Aswaja**.
Secara etimologis, kata "Aqidah" (عقيدة) berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan, sangkutan, atau sesuatu yang menguatkan. Dalam konteks terminologi keagamaan, aqidah merujuk pada pokok-pokok keimanan yang tertanam kuat di dalam hati seorang mukmin. Aqidah ini tidak bisa didasarkan pada dugaan, spekulasi, atau hawa nafsu, melainkan harus berdasarkan dalil-dalil yang kuat (qath'i), yaitu Al-Qur'an dan Hadis yang sahih.
Fokus utama aqidah adalah enam pilar iman (rukun iman), yang meliputi iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan qada serta qadar.
Istilah **Ahlussunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)** adalah sebutan bagi kelompok umat Islam yang teguh mengikuti jalan (Sunnah) Nabi Muhammad SAW dan praktik para sahabat (Jamā’ah). Aswaja bukanlah sekte baru, melainkan penjaga konsistensi ajaran Islam yang dipahami dan diamalkan secara benar sejak masa awal Islam.
Aqidah Aswaja ditegaskan melalui tiga kerangka utama yang saling melengkapi dalam memahami persoalan teologis dan metafisik:
Aqidah Aswaja seringkali diperjelas melalui penegasan sikapnya terhadap isu-isu teologi yang pernah diperdebatkan di masa lampau. Hal ini penting agar umat Islam memiliki pegangan yang jelas dan terhindar dari pemahaman yang menyimpang.
Aswaja berpegang teguh pada penetapan sifat-sifat Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa melakukan ta'thil (menolak sifat), tahrif (mengubah makna), takyif (mempertanyakan bagaimana), atau tamtsil (menyamakan sifat Allah dengan makhluk). Misalnya, Allah memiliki sifat "beristiwa" (duduk) di atas 'Arsy, namun dipahami secara maknawi tanpa bertanya bagaimana caranya (Bila Kayfa).
Dalam memahami persoalan akal dan wahyu, Aswaja menggunakan pendekatan rasional (kalam) yang seimbang. Misalnya, mengenai status perbuatan manusia, Aswaja meyakini bahwa manusia memiliki kehendak dan ikhtiar, namun semua itu tetap dalam kerangka kehendak dan kuasa mutlak Allah SWT. Pendekatan ini menolak fatalisme mutlak (Jabariyah) dan juga penolakan total terhadap kehendak Tuhan (Qadariyah).
Aqidah Aswaja meyakini adanya karamah (pertolongan luar biasa dari Allah) yang diberikan kepada para wali-Nya, sebagai bentuk penguatan iman dan bukti kebenaran jalan yang mereka tempuh. Hal ini merupakan bagian dari penghormatan terhadap keteladanan para sahabat dan ulama.
Di tengah arus informasi dan pemikiran yang sangat beragam, pemahaman yang kokoh mengenai Aqidah Aswaja berfungsi sebagai jangkar spiritual. Ia membimbing umat untuk mempraktikkan Islam secara wasathiyah (tengah), menjauhkan diri dari sikap takfir (pengkafiran) terhadap sesama Muslim, serta memastikan bahwa ibadah dan keyakinan seseorang terikat erat pada ajaran yang telah diwariskan secara otentik oleh generasi terbaik umat. Dengan memegang teguh Aqidah Aswaja, seorang Muslim memastikan fondasi imannya berada di atas landasan yang lurus dan terpelihara dari bid’ah yang menyesatkan.
Oleh karena itu, mengkaji dan mengamalkan Aqidah Aswaja bukan sekadar pilihan teologis, tetapi sebuah keniscayaan demi menjaga kemurnian ajaran Islam di tengah kompleksitas zaman.