Ilustrasi: Representasi akad nikah dalam konteks syariat.
Dalam konteks pelaksanaan akad nikah dalam Islam, terdapat sebuah frasa atau kata yang sering kali menjadi sorotan, yaitu penyebutan nama ayah melalui kata "binti" (untuk perempuan) atau "bin" (untuk laki-laki). Kata ini memiliki kedudukan penting karena menyangkut identitas dan validitas sahnya pernikahan dari perspektif hukum Islam. Memahami makna dan urgensi penyebutan "binti" adalah kunci untuk memastikan syariat pernikahan terpenuhi.
Apa Itu "Binti" dan Kedudukannya?
Secara harfiah, "binti" adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti "putri dari" atau "anak perempuan dari". Dalam struktur nama Arab dan tradisi Islam, penyebutan nama ayah melalui "bin" atau "binti" berfungsi sebagai penanda nasab atau garis keturunan. Ini adalah cara tradisional untuk menegaskan siapa orang tua biologis dari individu yang bersangkutan.
Dalam akad nikah, penyebutan nama lengkap calon mempelai wanita, termasuk penyebutan "binti" diikuti nama ayahnya, adalah bagian integral dari formalitas pengesahan. Ini bukan sekadar tradisi verbal, melainkan penegasan identitas hukum dan syar'i dari pihak yang dinikahkan.
Mengapa Penyebutan Binti Begitu Penting dalam Akad?
Pentingnya penyebutan "binti" pada saat akad nikah berakar pada beberapa pertimbangan fundamental dalam fikih pernikahan:
1. Penegasan Identitas dan Validitas
Akad nikah adalah kontrak suci yang membutuhkan kejelasan identitas para pihak yang terikat di dalamnya. Menyebutkan nama ayah (melalui "binti") memastikan bahwa tidak ada keraguan sedikit pun mengenai siapa wanita yang dinikahkan. Jika identitas wali atau nasab tidak jelas, maka status perwalian dan sahnya pernikahan bisa dipertanyakan.
2. Kewenangan Wali Nikah
Dalam Islam, pernikahan seorang wanita disyaratkan memerlukan izin dan perwalian dari walinya (biasanya ayah kandung). Penyebutan "binti" secara eksplisit menegaskan hubungan kekerabatan antara calon mempelai wanita dan walinya yang memberikan izin. Ini menunjukkan bahwa orang yang menikahkan adalah wali yang sah secara syar'i.
3. Kepatuhan Terhadap Prosedur Syar'i
Mayoritas ulama sepakat bahwa menyebutkan nama ayah melalui "bin" atau "binti" merupakan bagian dari kesempurnaan (sunnah muakkadah) atau bahkan rukun (menurut beberapa pandangan) dalam akad nikah. Ketidakadaan penyebutan ini seringkali dianggap mengurangi kesempurnaan akad, meskipun dalam beberapa kondisi tertentu ulama kontemporer memberikan kelonggaran jika identitas sudah sangat jelas melalui dokumen resmi lainnya.
Bagaimana Jika Nama Ayah Tidak Disebutkan?
Dalam praktiknya, seringkali terdapat kekhawatiran jika dalam lafal akad, penyebutan "binti" terlewat atau tidak diucapkan dengan jelas. Bagaimana hukumnya jika hal ini terjadi? Para fuqaha (ahli fikih) umumnya membedakan antara beberapa skenario:
- Jika Identitas Jelas Melalui Kesaksian: Jika nama lengkap calon mempelai wanita disebutkan secara jelas, dan para saksi serta wali mengkonfirmasi identitasnya tanpa keraguan, mayoritas ulama memandang akad tersebut tetap sah, meskipun mengurangi kesempurnaan sunnah.
- Jika Ada Keraguan Nasab: Jika penyebutan "binti" menyebabkan keraguan mengenai status nasab atau wali nikah, maka akad tersebut berpotensi bermasalah dan harus diperbaiki dengan pengulangan lafazh yang mencakup nama ayah.
- Konteks Modern dan Dokumen Resmi: Di era modern, pencatatan sipil dan KUA biasanya mencantumkan data lengkap calon mempelai, termasuk nama ayah. Dalam konteks ini, penyebutan lisan "binti" berfungsi sebagai konfirmasi formalitas agama, namun validitas hukum negara seringkali tetap diakui jika dokumen pendukung kuat.
Kesimpulan
Penyebutan "binti" pada akad nikah adalah penegasan nasab yang krusial, memastikan kejelasan identitas mempelai wanita dan validitas perwaliannya. Meskipun dalam kondisi tertentu umat Islam modern mungkin memiliki dispensasi karena adanya dokumen resmi, sangat dianjurkan untuk selalu melaksanakannya sesuai dengan tata cara yang disunnahkan. Hal ini menjamin pernikahan dilaksanakan dengan sempurna, baik dari sisi syar'i maupun sosial, menaungi janji suci tersebut dalam kerangka hukum agama yang kokoh.