Ilustrasi: Simbol penghormatan dan doa
Kehilangan orang yang dicintai merupakan ujian berat bagi setiap Muslim. Setelah kepergian jasad, amalan dan doa dari yang ditinggalkan menjadi harapan utama agar almarhum/almarhumah mendapatkan ketenangan di alam baka. Dalam konteks sedekah dan amal jariyah, muncul pertanyaan mengenai pelaksanaan aqiqah untuk orang meninggal.
Secara tradisional, aqiqah dikenal sebagai sunnah muakkadah yang dilaksanakan ketika kelahiran seorang anak (biasanya pada hari ketujuh). Namun, dalam khazanah fikih dan praktik masyarakat, terdapat perluasan makna mengenai sedekah yang diniatkan atas nama almarhum. Sebagian ulama memandang bahwa niat sedekah atau kurban (yang memiliki struktur mirip aqiqah) atas nama orang yang telah meninggal adalah amalan yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan sebagai bentuk bakti.
Penting untuk membedakan antara ibadah yang bersifat murni individual (seperti shalat wajib) dengan ibadah yang mengandung unsur harta dan sedekah. Aqiqah orang yang telah wafat termasuk dalam kategori yang diperdebatkan oleh para fuqaha (ahli fikih).
Inti dari pelaksanaan penyembelihan hewan atas nama orang yang telah meninggal adalah sedekah. Dalam Islam, sedekah yang dilakukan oleh kerabat untuk jenazah sangat dianjurkan karena pahalanya mengalir tanpa terputus. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa di antara amalan yang terus mengalirkan pahala setelah kematian adalah ilmu yang bermanfaat, amal jariyah, dan doa anak yang saleh.
Ketika kita melaksanakan penyembelihan hewan—meskipun kita menyebutnya 'aqiqah' sebagai tradisi mengenang syariat kelahiran—niat utamanya adalah sedekah pahala. Jika niatnya adalah untuk bersedekah atas nama almarhum, maka ini sejalan dengan ajaran Islam. Ini adalah cara nyata untuk menunjukkan cinta dan bakti kita, memastikan bahwa ada perbuatan baik yang dilakukan secara kolektif atas nama beliau.
Jika keluarga ingin melaksanakan apa yang populer disebut sebagai aqiqah untuk orang meninggal, berikut adalah panduan praktis yang berfokus pada aspek sedekah:
Saat prosesi penyembelihan, niatkan secara tegas bahwa hewan tersebut disembelih sebagai sedekah jariyah yang pahalanya dihadiahkan kepada almarhum/almarhumah. Tidak perlu terpaku pada status hukum aqiqah yang terlewat, melainkan pada kesempurnaan pahala sedekah.
Dalam aqiqah kelahiran, umumnya menggunakan satu ekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor untuk anak laki-laki. Dalam konteks sedekah pengganti, jumlah ini seringkali dijadikan acuan, namun yang terpenting adalah seberapa besar kemampuan keluarga untuk bersedekah.
Daging hewan kurban/sedekah ini harus didistribusikan kepada fakir miskin atau membutuhkan. Idealnya, daging tersebut dibagikan mentah kepada mereka yang berhak menerima, sebagaimana ketentuan sedekah hewan ternak.
Setelah penyembelihan atau pembagian, keluarga dianjurkan untuk mengadakan acara doa bersama atau tahlilan yang secara khusus memohonkan ampunan dan rahmat bagi almarhum. Doa dari orang yang masih hidup adalah 'balsam' terindah bagi yang telah tiada.
Keutamaan dari amalan ini sangat besar. Sedekah ini bukan hanya membantu kebutuhan orang lain di dunia, tetapi juga menjadi penolong bagi almarhum di alam kubur. Hal ini memperkuat ikatan spiritual antara yang hidup dan yang telah meninggal. Dengan melaksanakan sedekah ini, kita memastikan bahwa warisan kebaikan almarhum tetap berlanjut, dan kita telah menjalankan tugas kita sebagai keluarga untuk terus mendoakan dan beramal atas nama mereka.
Kesimpulannya, meskipun istilah 'aqiqah' secara teknis terikat pada kelahiran, melaksanakan penyembelihan hewan sebagai aqiqah untuk orang meninggal dalam bingkai sedekah pahala adalah tindakan yang dianjurkan dan diterima dalam rangka berbakti kepada almarhum/almarhumah.