Ilmu yang Memperkuat Keimanan
Aqidah, atau keyakinan dasar dalam Islam, merupakan fondasi utama yang menopang seluruh bangunan ibadah dan perilaku seorang Muslim. Meskipun prinsip-prinsip dasarnya telah dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur'an dan Sunnah, seringkali timbul pertanyaan-pertanyaan filosofis atau teologis yang menantang pemahaman kita. Pertanyaan-pertanyaan sulit ini, meski terkadang membuat dahi berkerut, sejatinya adalah ujian sekaligus sarana untuk memperdalam keyakinan dan rasa syukur kita kepada Allah SWT.
Menghadapi keraguan atau pertanyaan mendalam bukanlah tanda kelemahan iman, melainkan peluang untuk mencari kejelasan dengan merujuk pada sumber-sumber yang sahih dan bimbingan ulama yang mumpuni. Berikut adalah beberapa contoh pertanyaan sulit yang sering muncul dalam kajian akidah dan bagaimana kita bisa mendekatinya.
Salah satu paradoks terbesar dalam teologi adalah bagaimana menggabungkan konsep bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan (Qada dan Qadar) oleh Allah, dengan tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Jika segala sesuatu sudah ditentukan, mengapa manusia harus berusaha atau dihukum atas kemaksiatan?
Pendekatan yang diajarkan oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi (Ilmu Allah yang Maha Luas) dan menetapkan hasil akhirnya. Namun, pada saat yang sama, Allah memberikan manusia kehendak (ikhtiyar) untuk memilih antara ketaatan dan kemaksiatan. Manusia bertanggung jawab atas pilihan yang ia buat, terlepas dari pengetahuan dan penetapan Allah sebelumnya. Pemahaman ini menegaskan kesempurnaan ilmu Allah tanpa menafikan keadilan-Nya dalam memberi balasan atas pilihan sadar manusia.
Terkadang, pemahaman akal manusia yang terbatas menemui kesulitan saat memahami sifat-sifat Allah yang terkesan 'berlawanan' jika diterapkan pada makhluk. Contohnya, bagaimana Allah Maha Kasih namun juga Maha Pemberi Hukuman (Al-Adl dan Ar-Rahman)? Bagaimana Allah bisa Maha Ada tanpa tempat (tanpa memerlukan ruang) namun juga Maha Dekat dengan hamba-Nya?
Kunci dalam menjawab persoalan ini adalah prinsip Tafwidhu Bilaykaif (menyerahkan hakikatnya kepada Allah tanpa bertanya bagaimana). Kita wajib mengimani semua sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa menyamakannya dengan makhluk (tasybih), tanpa menolak maknanya (ta'thil), dan tanpa mendefinisikan bentuknya (takyif). Kedekatan Allah adalah kedekatan kekuasaan dan pengetahuan-Nya, bukan kedekatan fisik seperti makhluk.
Mengapa orang baik menderita, sementara orang zalim hidup makmur? Pertanyaan ini sangat menyentuh hati dan seringkali menguji kesabaran. Jika Allah Maha Adil, mengapa keadilan-Nya tampak tertunda di dunia?
Aqidah mengajarkan bahwa dunia ini adalah darul bala' (negeri ujian), bukan darul jaza' (negeri pembalasan sempurna). Penderitaan bisa menjadi ujian untuk mengangkat derajat, penghapus dosa, atau sarana untuk menunjukkan kesabaran. Sementara itu, kemakmuran orang zalim seringkali hanyalah penangguhan hukuman. Pembalasan sempurna dan keadilan mutlak baru akan terwujud secara penuh dan nyata di Akhirat, di mana tidak ada lagi tempat bagi ketidakadilan.
Manusia terbiasa mengasosiasikan eksistensi dengan ruang, waktu, dan batasan. Ketika kita berbicara tentang Allah yang Maha Pencipta ruang dan waktu, muncul pertanyaan: "Di mana Allah?" atau "Kapan Allah mulai ada?"
Jawaban akidah menegaskan bahwa Allah itu Al-Awwal (Yang Pertama) dan Al-Akhir (Yang Terakhir). Dia tidak diciptakan oleh ruang, karena Dia Pencipta ruang. Dia tidak terikat waktu, karena Dia Pencipta waktu. Menanyakan "di mana" bagi Allah adalah menerapkan kategori makhluk pada Sang Pencipta, yang mana hal itu mustahil. Keberadaan-Nya melampaui segala dimensi yang kita kenal.
Menghadapi pertanyaan sulit tentang aqidah memerlukan ketenangan, kerendahan hati, dan komitmen untuk kembali pada manhaj yang benar. Ini adalah perjalanan intelektual dan spiritual yang memperkuat keyakinan kita bahwa Allah Maha Suci dari segala kekurangan dan pemahaman terbatas manusia.