Aqiqah adalah salah satu bentuk rasa syukur seorang muslim kepada Allah SWT atas karunia kelahiran seorang anak. Secara etimologi, aqiqah berarti memotong atau mencukur rambut bayi yang baru lahir. Dalam konteks syariat, aqiqah merujuk pada penyembelihan hewan ternak sebagai tanda syukur tersebut, yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dan rukun yang telah ditetapkan oleh agama Islam.
Pelaksanaan aqiqah bukan sekadar tradisi, melainkan ibadah yang memiliki tuntunan syar’i yang jelas. Untuk memastikan ibadah ini sah dan diterima di sisi Allah, seorang Muslim harus memahami dan memenuhi setiap rukun yang ada dalam pelaksanaannya. Tanpa terpenuhinya rukun-rukun ini, pelaksanaan aqiqah bisa dianggap gugur atau tidak sesuai sunnah.
Rukun aqiqah merujuk pada syarat-syarat pokok yang harus dipenuhi agar penyembelihan tersebut dianggap sebagai ibadah aqiqah yang sah. Rukun ini mencakup beberapa aspek krusial:
Rukun pertama dan paling mendasar dalam segala bentuk ibadah, termasuk aqiqah, adalah niat yang tulus. Niat yang dimaksud adalah membulatkan tekad di dalam hati bahwa penyembelihan hewan tersebut dilakukan semata-mata untuk melaksanakan sunnah aqiqah karena kelahiran anak, bukan untuk kepentingan daging semata, nazar, atau tradisi biasa tanpa landasan ibadah.
Niat ini harus dibarengi dengan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT atas anugerah putra atau putri.
Hewan yang disembelih harus memenuhi kriteria hewan kurban, karena aqiqah hukumnya sangat mendekati kurban. Hewan yang sah adalah:
Syarat sah hewan aqiqah sama dengan syarat hewan kurban, yaitu tidak boleh cacat, sehat secara fisik, dan telah mencapai usia minimal yang disyariatkan (misalnya, kambing minimal berumur satu tahun dan sehat).
Jumlah hewan yang disembelih merupakan rukun penting yang membedakan antara aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan, sesuai dengan praktik yang diajarkan:
Meskipun demikian, jika hanya mampu menyembelih satu ekor untuk laki-laki, hal itu tetap diperbolehkan dan dianggap telah memenuhi substansi ibadah aqiqah.
Meskipun waktu aqiqah memiliki keluasan, terdapat waktu yang paling utama (afdhal) dan waktu yang diperbolehkan. Waktu yang paling utama adalah pada hari ketujuh kelahiran bayi. Jika tidak memungkinkan, boleh dilaksanakan pada hari ke-14 atau hari ke-21. Secara umum, aqiqah dilakukan sebelum anak tersebut baligh, namun sebagian besar ulama berpegangan pada hari ketujuh.
Penyembelihan hewan harus dilakukan sesuai dengan tata cara penyembelihan hewan halal dalam Islam, yang meliputi:
Daging hewan hasil aqiqah kemudian dapat dibagikan dalam bentuk masakan atau mentah, meskipun membagikannya setelah dimasak seringkali lebih memudahkan penerima dan lebih sesuai dengan praktik yang berkembang.
Memenuhi rukun aqiqah memastikan bahwa tujuan utama ibadah ini tercapai. Selain sebagai bentuk syukur, aqiqah bertujuan untuk:
Dengan memahami dan menunaikan rukun aqiqah dengan benar, seorang muslim telah melaksanakan hak dan tanggung jawab pertamanya terhadap amanah kelahiran seorang anak, menjadikannya ibadah yang sempurna di mata syariat.