Akad pernikahan adalah momen sakral yang menandai penyatuan dua jiwa, dan dalam tradisi Sunda, kekhusyukan acara ini diperkuat oleh kekayaan simbolisme budaya yang diwujudkan dalam busana dan perlengkapan upacara. Salah satu elemen paling ikonik dan berbobot adalah penggunaan Siger Sunda. Siger, mahkota megah yang dikenakan mempelai wanita, bukan sekadar hiasan kepala; ia adalah penjelmaan keagungan, kehormatan, dan doa restu leluhur bagi calon pengantin.
Dalam konteks siger Sunda akad, mahkota ini diletakkan di kepala sang mempelai wanita sesaat sebelum atau saat prosesi ijab kabul dilaksanakan. Pemasangan siger biasanya dilakukan oleh sesepuh atau ibu kandung, menandakan peralihan status dari seorang gadis menjadi seorang istri yang siap memikul tanggung jawab rumah tangga. Beratnya siger—baik secara fisik maupun simbolis—mengingatkan mempelai bahwa ia kini memimpin 'rumah tangga' dengan kebijaksanaan dan kelembutan ala budaya Sunda.
Siger memiliki sejarah panjang yang melampaui sekadar estetika busana pengantin. Secara etimologis, kata 'Siger' berasal dari bahasa Sunda Kuno yang berarti 'menghela napas' atau 'mendengus', yang dalam konteks modern diartikan sebagai lambang keanggunan dan kewibawaan yang memancar dari dalam diri seorang wanita terhormat.
Setiap bagian dari siger, mulai dari bahan emas atau logam mulia yang mengilap, hingga ukiran detail yang rumit, membawa makna tersendiri. Secara umum, siger melambangkan:
Meskipun banyak pernikahan modern telah mengadopsi unsur minimalis, ritual akad Sunda tetap mempertahankan esensi adat. Kehadiran siger menjadi titik fokus visual yang dramatis. Ketika mempelai wanita memasuki ruangan akad dengan mengenakan siger lengkap dengan busana adat (seperti kebaya beludru dan kain songket), aura sakral pernikahan terasa semakin kuat.
Prosesi ini juga seringkali diselingi dengan lantunan doa-doa yang memohon keberkahan bagi kehidupan baru yang akan dimulai. Siger berfungsi sebagai penanda visual bahwa momen ini adalah titik balik penting. Ia adalah mahkota dunia bagi wanita pada hari itu, sebuah pengingat akan tanggung jawab baru yang ia pikul di hadapan Allah SWT dan keluarga besar kedua belah pihak.
Tradisi memang harus dilestarikan, namun budaya selalu dinamis. Dalam pernikahan masa kini, ada tren adaptasi dalam penggunaan siger. Beberapa pasangan memilih siger dengan bobot yang lebih ringan atau desain yang lebih ramping agar mempelai wanita merasa lebih nyaman selama prosesi akad yang mungkin berlangsung cukup lama. Meskipun demikian, esensi simbolisnya harus tetap terjaga. Perubahan material atau sedikit modifikasi bentuk tidak boleh menghilangkan makna inti dari mahkota agung tersebut.
Saat memilih siger untuk akad, penting bagi mempelai wanita untuk memahami apa yang ia kenakan. Siger bukanlah sekadar aksesori mahal; ia adalah warisan budaya yang membawa doa dan harapan para pendahulu. Ia mewakili wanita Sunda yang anggun, kuat, dan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur. Ketika tali pernikahan diikat dalam prosesi akad, mahkota siger itu menjadi saksi bisu atas janji suci yang terucap, membingkai wajah mempelai wanita dengan aura kebanggaan adat istiadat yang tak lekang oleh waktu. Kehadirannya menegaskan bahwa meski zaman berganti, akar budaya Sunda akan selalu menjadi penopang kokoh dalam setiap ikatan cinta.