Sighat dalam Pernikahan: Esensi Pengikatan Janji

Pernikahan, dalam pandangan hukum dan agama, bukanlah sekadar pertemuan dua insan, melainkan sebuah akad atau perjanjian suci yang mengikat. Inti dari terlaksananya akad ini terletak pada terpenuhinya berbagai rukun dan syarat, salah satunya adalah **sighat**.

Dalam konteks fikih pernikahan, sighat merujuk pada lafaz (ucapan) ijab dan kabul yang diucapkan oleh wali/perwakilan mempelai wanita dan mempelai pria. Sighat adalah momen krusial yang secara simbolis dan legal merealisasikan persetujuan kedua belah pihak untuk terikat dalam ikatan perkawinan yang sah. Tanpa sighat yang jelas, sah, dan memenuhi kaidah, pernikahan bisa dianggap batal atau tidak sah secara syar'i.

Ilustrasi Dua Tangan Saling Berikatan Dua garis tangan yang saling menggenggam melambangkan janji akad nikah yang mengikat. SIGHAT

Komponen Utama Sighat: Ijab dan Kabul

Sighat terdiri dari dua elemen fundamental yang tidak terpisahkan: Ijab dan Kabul.

1. Ijab (Penawaran)

Ijab adalah pernyataan dari pihak yang mewakilkan mempelai wanita, biasanya wali nikah (ayah kandung atau kerabat terdekat yang sah), yang menawarkan mempelai wanita kepada mempelai pria. Lafaz ijab harus jelas, tegas, dan tidak mengandung unsur ketidakpastian (ta'liq).

Contoh klasik ijab adalah: "Saya nikahkan engkau [nama mempelai pria] dengan putri kandung saya [nama mempelai wanita] dengan mas kawin [sebutkan mahar] dibayar tunai."

2. Kabul (Penerimaan)

Kabul adalah respons dari mempelai pria yang menyatakan penerimaan penuh atas penawaran ijab tersebut. Sama seperti ijab, kabul harus diucapkan dengan tegas, tanpa jeda yang panjang (yang dapat mengindikasikan keraguan), dan harus sesuai dengan isi ijab.

Respon kabul yang sah adalah: "[Nama mempelai wanita] binti [nama wali], saya terima nikahnya dengan engkau dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Kesesuaian lafaz antara ijab dan kabul adalah hal yang sangat penting. Jika wali mengucapkan "Saya kawinkan engkau," sementara mempelai pria menjawab "Saya terima nikah," maka akad tersebut sah karena maknanya sama. Namun, keselarasan lafaz seringkali diutamakan untuk menghindari keraguan hukum.

Syarat Keabsahan Sighat

Agar sighat dapat mengikat pernikahan secara sah, beberapa syarat harus dipenuhi. Kegagalan memenuhi salah satu syarat ini dapat membatalkan akad tersebut:

  1. Kejelasan Makna: Lafaz harus jelas menunjukkan maksud pernikahan (bukan jual beli, sewa, atau perjanjian sementara lainnya).
  2. Tidak Bersyarat (Tidak Mu'allaq): Sighat tidak boleh digantungkan pada suatu peristiwa di masa depan. Contohnya, "Saya nikahkan engkau jika kamu lulus ujian." Ini batal karena pernikahan harus terjadi saat itu juga.
  3. Tidak Terikat Waktu (Tidak Mu'aqqat): Pernikahan harus dilakukan untuk keabadian, tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu (seperti nikah mut'ah).
  4. Kehadiran Saksi: Meskipun sighat adalah inti lisan, keberadaan dua saksi laki-laki Muslim yang adil adalah syarat sahnya pernikahan secara prosedural. Saksi berfungsi untuk memastikan keabsahan sighat yang terjadi.
  5. Tidak Ada Jeda yang Terlalu Lama: Jeda waktu antara ijab dan kabul tidak boleh terlalu lama hingga menghilangkan kesinambungan majelis akad. Jeda yang menunjukkan pergantian pikiran atau diskusi dianggap memutuskan rangkaian ijab-kabul.

Implikasi Hukum dari Sighat yang Sah

Ketika sighat—ijab dan kabul—telah terucap sesuai dengan rukun dan syaratnya, pada saat itu juga, secara hukum agama, pernikahan dinyatakan sah. Status hukum kedua belah pihak berubah dari lajang menjadi suami istri yang sah.

Perubahan status ini membawa implikasi hukum yang luas, termasuk hak dan kewajiban timbal balik, nasab keturunan, hak waris, dan terciptanya mahram di antara keluarga kedua mempelai. Inilah mengapa para ulama sangat menekankan kesempurnaan sighat; ia adalah pintu gerbang menuju pembentukan keluarga yang diakui secara moral dan legal.

Oleh karena itu, ketika prosesi pernikahan berlangsung, fokus utama haruslah pada pengucapan sighat yang khidmat, jelas, dan penuh kesadaran. Memahami sighat dalam pernikahan berarti memahami fondasi spiritual dan yuridis dari sebuah ikatan suci.

Kesempurnaan dalam mengucapkan dan mendengarkan sighat menjamin keberkahan dan keabsahan rumah tangga yang akan dibina, menjadikannya janji yang kokoh di hadapan Tuhan dan sesama manusia.

🏠 Homepage