Krisis Air dan Ekosistem: Mengupas Isu Air Lahan Gambut

Ilustrasi keseimbangan air di lahan gambut Lahan Gambut Sehat (Tinggi Muka Air)

Ilustrasi: Keseimbangan ekosistem lahan gambut yang membutuhkan air.

Air lahan gambut adalah komponen vital yang menentukan keberlangsungan ekosistem rawa gambut. Lahan gambut, yang terbentuk dari akumulasi materi organik selama ribuan tahun, secara alami bersifat jenuh air (tergenang). Keseimbangan hidrologi ini—tinggi muka air yang selalu dekat dengan permukaan—adalah kunci utama yang menjaga materi organik tetap terawetkan dan mencegah terjadinya dekomposisi.

Peran Krusial Air dalam Ekologi Gambut

Ekosistem gambut berfungsi sebagai penyimpan karbon alami terbesar kedua di dunia setelah lautan. Ketika lahan gambut tergenang, proses dekomposisi yang menghasilkan emisi gas rumah kaca sangat lambat. Namun, begitu terjadi penurunan muka air tanah—seringkali akibat upaya drainase untuk perkebunan atau pemukiman—struktur gambut yang kaya akan karbon mulai terpapar oksigen.

Penurunan muka air secara signifikan menyebabkan gambut mulai mengering, menyusut, dan menjadi sangat rentan terhadap kebakaran. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang sering terjadi di Indonesia didominasi oleh kasus di lahan gambut kering. Ketika gambut terbakar, emisi karbon dioksida yang dilepaskan sangat masif, jauh melebihi emisi dari pembakaran hutan biasa. Oleh karena itu, pengelolaan air lahan gambut bukan sekadar isu lingkungan lokal, tetapi juga masalah mitigasi perubahan iklim global.

Ancaman Utama: Pengeringan dan Intrusi Air Asin

Aktivitas manusia, terutama pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, pulp dan kertas, serta infrastruktur, menuntut pengeringan lahan gambut melalui pembuatan kanal dan parit drainase. Praktik ini menyebabkan muka air tanah turun drastis. Selain memicu kebakaran, pengeringan ini juga membawa dampak ekologis lain.

Di wilayah pesisir, penurunan muka air tanah gambut juga mempercepat intrusi air laut. Karena lapisan gambut yang berpori menjadi lebih mudah ditembus, air asin dapat merembes masuk ke dalam sistem air tanah, merusak vegetasi alami yang sensitif terhadap salinitas, dan mencemari sumber air bersih masyarakat. Kerusakan ini menciptakan siklus negatif: semakin kering gambut, semakin mudah ia rusak, dan semakin sulit untuk dikembalikan ke kondisi jenuh air semula.

Strategi Konservasi dan Restorasi

Menghadapi tantangan ini, pemerintah dan berbagai pihak fokus pada strategi restorasi yang berpusat pada pengembalian fungsi hidrologis. Strategi utama restorasi adalah pembasahan kembali (rewetting). Ini melibatkan pembangunan sumbat atau sekat (dam) di sepanjang kanal-kanal drainase yang telah dibuat sebelumnya. Tujuannya adalah menaikkan kembali muka air tanah hingga mencapai ketinggian yang aman, yaitu sekitar 40 cm di bawah permukaan tanah.

Pengelolaan air lahan gambut yang efektif memerlukan pendekatan terintegrasi. Ini mencakup kebijakan tata ruang yang ketat untuk menghentikan konversi lahan gambut baru, serta penerapan teknik pengelolaan air yang berkelanjutan di area yang sudah terlanjur didominasi perkebunan. Program percontohan menunjukkan bahwa dengan kontrol air yang tepat, laju degradasi gambut dapat diperlambat, dan tanaman lokal yang adaptif dapat ditanam kembali.

Tantangan terbesar dalam restorasi adalah edukasi dan partisipasi masyarakat lokal serta perusahaan. Kesadaran bahwa kesehatan gambut sama dengan ketahanan pangan dan mitigasi bencana adalah langkah awal yang krusial. Tanpa pengelolaan air lahan gambut yang serius dan berkelanjutan, risiko Karhutla dan emisi karbon akan terus menghantui kawasan tersebut, mengancam keanekaragaman hayati dan stabilitas iklim regional. Upaya ini menuntut investasi jangka panjang dalam teknologi pemantauan dan penegakan hukum yang konsisten.

🏠 Homepage