Visualisasi kesederhanaan dalam akad.
Dalam berbagai konteks budaya di Indonesia, terutama dalam transaksi formal yang memerlukan kesepakatan bersama, seringkali kita menjumpai istilah akad lesehan. Istilah ini bukan sekadar merujuk pada posisi duduk yang santai di atas tikar atau lantai, namun mengandung makna filosofis yang mendalam mengenai kesetaraan, transparansi, dan kehangatan dalam sebuah ikatan perjanjian. Akad, secara harfiah berarti ikatan atau perjanjian, ketika dilakukan secara lesehan, menanggalkan formalitas kaku ala ruang rapat berpendingin udara.
Salah satu aspek paling menonjol dari akad lesehan adalah kemampuannya untuk meruntuhkan sekat-sekat hierarki. Dalam budaya timur, posisi duduk seringkali mencerminkan status sosial. Duduk di kursi tinggi atau di meja yang lebih tinggi dapat secara tidak sadar menciptakan jarak psikologis antara pihak yang bernegosiasi. Sebaliknya, ketika semua pihak duduk di lantai yang sama, sejajar, secara visual dan emosional mereka ditempatkan pada level yang setara. Hal ini sangat penting dalam proses akad, baik itu pernikahan, jual beli tanah, atau kesepakatan bisnis kecil, di mana rasa saling menghormati dan kejujuran menjadi fondasi utama.
Posisi lesehan memaksa para pihak untuk lebih terbuka. Tidak ada tempat untuk bersembunyi di balik meja besar atau kursi berlengan mewah. Pandangan mata bertemu secara langsung, menciptakan koneksi personal yang lebih kuat. Dalam konteks transaksi yang melibatkan nilai kepercayaan tinggi, seperti peminjaman uang atau perjanjian bisnis antar keluarga, elemen kepercayaan ini jauh lebih berharga daripada formalitas dokumen semata.
Akad lesehan juga erat kaitannya dengan konsep kesederhanaan atau tawadhu'. Tradisi ini sering dipraktikkan di pedesaan atau dalam komunitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai agraris dan gotong royong. Dengan menghindari kemewahan dekorasi atau infrastruktur yang mahal untuk sebuah perjanjian, fokus utama tetap tertuju pada substansi kesepakatan itu sendiri. Ini adalah penegasan bahwa yang terpenting adalah janji lisan yang diucapkan dengan hati yang tulus, didukung oleh niat baik, bukan pada kemegahan tempat berlangsungnya akad.
Bayangkan sebuah transaksi jual beli hasil panen. Petani dan pembeli duduk di atas tikar bambu di teras rumah, ditemani segelas teh hangat. Suasana yang santai ini mempermudah dialog jujur mengenai harga dan kualitas barang. Jika ada keraguan, dialog bisa dibuka tanpa rasa takut akan menyinggung formalitas yang kaku. Kesederhanaan lokasi ini justru menjadi cerminan dari ketulusan kedua belah pihak dalam menjalankan akad tersebut.
Meskipun dunia bergerak cepat menuju digitalisasi, filosofi akad lesehan tetap relevan. Dalam konteks bisnis modern, terkadang kita melihat analogi ini diterapkan dalam format rapat informal atau sesi diskusi mendalam (deep dive session) di mana dinding pembatas antara manajemen dan staf dikurangi. Tujuannya sama: menciptakan lingkungan yang memungkinkan transparansi penuh dan komunikasi dua arah yang efektif.
Dalam ranah pernikahan syar'i, misalnya, akad yang dilakukan di rumah mempelai wanita, dengan kedua keluarga duduk melingkar di lantai, memperkuat ikatan keluarga besar yang menjadi saksi sahnya perjanjian suci tersebut. Kehangatan yang tercipta dari kedekatan fisik ini sulit dicapai dalam suasana aula pernikahan yang seremonial dan impersonal. Kehadiran fisik yang intim ini menggarisbawahi komitmen yang bersifat pribadi dan mendalam.
Akad lesehan mengajarkan kita bahwa prosedur yang rumit tidak selalu menghasilkan kesepakatan yang lebih kuat. Justru, koneksi manusiawi yang otentik dan didasari rasa hormat adalah perekat yang paling efektif. Ini adalah kearifan lokal yang mengajarkan kita untuk memprioritaskan integritas niat di atas formalitas penampilan. Mengingat kembali nilai-nilai ini membantu kita membangun hubungan, baik personal maupun profesional, di atas fondasi yang lebih kokoh dan manusiawi. Kehadiran fisik yang egaliter dalam momen akad adalah pengingat abadi akan pentingnya kesetaraan di mata hukum dan moral.
Pada akhirnya, baik di bawah tenda sederhana, di ruang keluarga yang hangat, atau bahkan dalam pertemuan virtual, semangat dari akad lesehan—kesetaraan, kejujuran, dan kehangatan—adalah elemen esensial yang harus dipertahankan dalam setiap bentuk perjanjian yang ingin bertahan lama.