Dalam ranah arsitektur dan fungsi sosial keagamaan, masjid bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah pusat komunitas, tempat ibadah, dan simbol identitas umat. Di balik kemegahan kubah dan ketenangan interiornya, terdapat sebuah konsep fundamental yang mengikat semua elemen tersebut: Akad Masjid. Istilah ini, meskipun seringkali merujuk pada proses formal pendirian atau serah terima, memiliki makna yang jauh lebih mendalam, melingkupi kesepakatan moral, spiritual, dan tanggung jawab kolektif.
Akad, dalam konteks Islam, berarti perjanjian atau ikatan yang kokoh. Ketika diaplikasikan pada masjid, akad tersebut bukan hanya sekadar proses legalitas kepemilikan tanah atau izin pembangunan. Ia adalah kesepakatan bersama antara para inisiator, donatur, pengurus, dan jamaah untuk mewujudkan sebuah tempat suci yang akan digunakan untuk ketaatan kepada Allah SWT. Akad ini menuntut komitmen untuk menjaga kesucian, fungsi, dan keberlanjutan bangunan tersebut sebagai rumah Allah di muka bumi.
Secara harfiah, akad masjid bisa terjadi pada beberapa tahapan penting. Tahap pertama adalah akad wakaf atau hibah lahan, di mana pemilik tanah menyerahkan asetnya dengan niat tulus semata-mata karena Allah. Proses ini harus dilakukan dengan ikhlas dan tanpa pamrih duniawi, karena wakaf adalah ikatan abadi yang pahalanya terus mengalir. Jika akad wakaf ini sah dan jelas, maka masjid yang dibangun di atasnya memiliki legalitas spiritual yang kuat.
Tahap kedua adalah akad pembangunan. Ini melibatkan kesepakatan antara panitia pembangunan dengan kontraktor, serta para donatur dengan proyek secara keseluruhan. Meskipun ini bersifat teknis, inti dari akad ini tetaplah niat untuk membangun sarana ibadah, bukan sekadar proyek bisnis. Kesalahan dalam akad ini, seperti penggunaan dana yang tidak sesuai peruntukan atau kualitas bangunan yang sengaja dikurangi demi keuntungan pribadi, akan merusak keberkahan masjid itu sendiri.
Akad masjid tidak berakhir ketika bangunan selesai diresmikan. Setelah serah terima resmi (akad peralihan fungsi dari panitia pembangunan menjadi pengelola), tanggung jawab baru muncul. Inilah yang seringkali luput dari perhatian: akad pemeliharaan dan pengaktifan masjid. Masjid yang megah namun sepi jamaah dianggap gagal memenuhi substansi akadnya.
Akad pemeliharaan melibatkan kesepakatan seluruh jamaah untuk menjaga kebersihan, keamanan, dan fungsionalitas fasilitas. Bayangkan sebuah masjid yang indah namun AC-nya mati atau toiletnya kotor; hal ini menunjukkan lemahnya ikatan kolektif dalam menjaga amanah yang telah diikrarkan saat pembangunan. Selain fisik, ada akad spiritual—komitmen untuk menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan keilmuan, sosial, dan persaudaraan, bukan sekadar tempat salat lima waktu saja.
Masjid yang didirikan atas dasar akad yang kuat dan bersih dari unsur-unsur yang meragukan akan memancarkan aura ketenangan. Keberkahannya akan terasa dalam setiap ibadah yang dilaksanakan di dalamnya. Sebaliknya, masjid yang didirikan dengan cara yang kurang sesuai syariat—misalnya, dengan menipu donatur atau memanipulasi izin—seringkali mengalami masalah berkelanjutan, mulai dari konflik internal pengurus hingga kesulitan dalam menggalang dana untuk perawatan.
Oleh karena itu, memahami dan menjaga kesempurnaan akad masjid sejak awal perencanaan hingga operasional harian adalah kunci keberlanjutan fungsi sosial dan spiritualnya. Akad ini adalah janji suci yang mengikat umat untuk bersama-sama memelihara mercusuar iman mereka. Tanpa kesepakatan bersama yang kokoh (akad), bangunan masjid hanyalah tumpukan batu dan semen tanpa ruh yang mendiami komunitas di sekitarnya. Memastikan setiap tahapan proses pendirian masjid didasari oleh kejujuran dan niat murni adalah implementasi nyata dari penghormatan terhadap konsep akad ini.