Ilustrasi simbolis dari kesepakatan (Akad)
Dalam konteks hukum Islam, sebuah transaksi, baik itu pernikahan (nikah), jual beli (bai'), maupun bentuk perjanjian lainnya, membutuhkan ijab qabul. Proses ini, yang biasa kita kenal sebagai akad, adalah inti legalitas syar'i dari kesepakatan tersebut. Banyak ahli fikih sepakat bahwa meskipun makna dan niat adalah fondasi utama, penggunaan lafaz tertentu dalam bahasa Arab seringkali dianggap lebih mengikat dan memiliki kedudukan yang lebih kuat secara hukum agama.
Mengapa akad menggunakan bahasa arab menjadi preferensi utama? Bahasa Arab bukan sekadar alat komunikasi, melainkan bahasa wahyu. Dalam terminologi syariah, istilah-istilah seperti 'aqad' (akad), 'mablugh' (dewasa), dan 'ridha' (persetujuan) memiliki makna tekstual yang presisi dan telah ditetapkan sejak awal turunnya syariat. Penggunaan bahasa Arab memastikan tidak adanya ambiguitas atau interpretasi ganda yang mungkin timbul ketika terjemahan ke bahasa lokal dilakukan.
Tujuan utama dari sebuah akad adalah menciptakan kepastian hukum (hukmiyyah) antara dua belah pihak. Ketika akad diucapkan dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab, pesan yang disampaikan menjadi lugas dan langsung merujuk pada dalil-dalil syar'i. Sebagai contoh, dalam akad nikah, lafaz yang baku seperti:
Lafaz ini mengandung unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan) yang spesifik terkait dengan status pernikahan dan mahar. Jika diganti dengan terjemahan, meskipun niatnya sama, dikhawatirkan ada unsur yang hilang atau redaksi yang lemah dalam pandangan beberapa mazhab.
Penting untuk membedakan antara keabsahan suatu akad (ash-shihhah) dan kesempurnaan pelaksanaannya (kamal). Dalam banyak kasus, jika para pihak tidak menguasai bahasa Arab, menggunakan bahasa lokal (terjemahan) yang maknanya setara dan disaksikan oleh dua orang saksi yang memahami makna tersebut tetap bisa dianggap sah, terutama dalam transaksi jual beli yang bersifat umum. Namun, jika ada keraguan atau potensi sengketa di kemudian hari, akad yang diucapkan dengan lafaz Arab asli memberikan benteng perlindungan hukum yang lebih kuat karena ia kembali kepada standar universal Islam.
Dalam fikih kontemporer, terdapat konsensus bahwa jika seorang muslim yang mampu berbahasa Arab tetapi memilih menggunakan bahasa lain tanpa alasan yang kuat, maka ia mungkin kehilangan kesempurnaan sunnah atau kesegaran makna. Namun, bagi non-Arab yang kesulitan, penggunaan terjemahan yang diucapkan dengan keyakinan penuh (niat yang kuat) dan disaksikan oleh penerjemah atau orang yang mengerti bahasa Arab (sebagai validator lafaz) akan tetap diterima demi menjaga kemudahan (taysir) dalam bermuamalah.
Prinsip kemudahan adalah kaidah penting dalam Islam. Jika penekanan mutlak pada akad menggunakan bahasa arab menghalangi terwujudnya sebuah pernikahan atau transaksi vital, maka syariat memberikan kelonggaran. Kunci utamanya adalah tercapainya 'taradhi' (saling ridha) antara kedua belah pihak dan jelasnya objek akad.
Oleh karena itu, praktik terbaik adalah mendorong kedua belah pihak untuk mempelajari lafaz-lafaz inti akad, meskipun dalam percakapan sehari-hari mereka menggunakan bahasa Indonesia. Ketika saatnya tiba untuk mengikrarkan janji suci atau kesepakatan bisnis yang mengikat secara agama, lafaz Arab memberikan otoritas spiritual dan legalitas yang tak terbantahkan, mengukuhkan bahwa ikatan tersebut terjalin atas dasar syariat yang universal dan abadi. Pemahaman mendalam terhadap tradisi ini menunjukkan penghormatan terhadap warisan keilmuan Islam.
Artikel ini menjelaskan pentingnya formalitas bahasa dalam akad syar'i.