Ilustrasi Penyerahan dan Penerimaan Zakat
Zakat adalah salah satu pilar utama dalam Islam, merupakan kewajiban finansial tahunan bagi Muslim yang telah memenuhi syarat kepemilikan harta (nisab) dan haul. Proses penunaian zakat tidak hanya sekadar menyerahkan harta, tetapi melibatkan aspek spiritual dan hukum yang terikat pada sebuah proses formal, yaitu **akad menerima zakat**.
Akad dalam konteks ini merujuk pada ijab kabul, yaitu kesepakatan atau perizinan formal antara Muzakki (pemberi zakat) dan Mustahiq (penerima zakat) atau Amil (petugas pengelola zakat). Tanpa adanya akad yang sah, status penyerahan harta tersebut mungkin tidak sepenuhnya sah sebagai zakat wajib, meskipun niatnya baik.
Pentingnya akad terletak pada penegasan status hukum harta yang ditransfer. Zakat memiliki hukum yang berbeda dengan sedekah biasa atau hadiah. Dalam sedekah, kerelaan penerima sudah cukup. Namun, zakat memiliki kategori Mustahiq yang jelas dan harus disalurkan sesuai syariat. Akad berfungsi sebagai penanda bahwa harta yang diserahkan tersebut secara spesifik diniatkan dan diterima sebagai **zakat**.
Tujuan utama dari penekanan akad ini adalah:
Sama seperti akad jual beli atau nikah, akad zakat harus memenuhi rukun-rukun yang menjadikannya sah secara syariat. Para ulama sepakat bahwa dalam transaksi zakat, terdapat empat rukun yang harus terpenuhi, yaitu:
Dalam praktiknya di era modern, terutama ketika berinteraksi dengan lembaga amil zakat, bentuk akad menerima zakat sering kali mengalami sedikit modifikasi karena melibatkan pihak ketiga (Amil) sebagai wakil Mustahiq.
Ini adalah bentuk paling murni. Muzakki mengucapkan ijab (misalnya: "Saya bayarkan zakat harta saya sejumlah ini untuk Anda"), dan Mustahiq mengucapkan kabul (misalnya: "Saya terima zakat Anda"). Akad ini sah asalkan kedua belah pihak jelas niatnya.
Mayoritas Muslim kini menunaikan zakat melalui badan profesional. Dalam skenario ini, terdapat dua lapis akad:
Muzakki menyerahkan harta kepada Amil sambil menyatakan, "Saya titipkan dan serahkan zakat harta saya ini kepada Bapak/Lembaga untuk disalurkan kepada yang berhak." Dalam konteks fiqih, Amil bertindak sebagai wakil Mustahiq.
Amil kemudian bertugas menyalurkan harta tersebut. Ketika Amil menyerahkannya kepada Mustahiq, proses penyerahan ini harus disertai dengan penegasan bahwa harta yang diberikan adalah **zakat** hasil pengumpulan dari para Muzakki. Walaupun Mustahiq mungkin hanya mengucap "Alhamdulillah" saat menerima, niat Amil untuk menyerahkannya sebagai zakat sudah cukup, berdasarkan kuasa yang diberikan oleh Muzakki sebelumnya.
Penting untuk dicatat: Apabila seseorang hanya memberikan uang tanpa menyebutkan bahwa itu adalah zakat (misalnya, hanya berkata "ini uang buat makan"), maka secara hukum, uang tersebut dianggap sebagai sedekah biasa, dan kewajiban zakat Muzakki belum terbebas secara syariat. Oleh karena itu, penekanan pada lafaz akad menerima zakat adalah kunci penyempurnaan ibadah.
Jika seorang Muzakki menyalurkan hartanya tanpa akad yang jelas—baik lisan maupun isyarat yang dipahami—maka status hukumnya menjadi ambigu. Dalam pandangan banyak ulama, jika niatnya sudah melekat pada harta saat penyerahan (meskipun tidak diucapkan), kewajiban zakat tetap gugur karena niat adalah penentu utama amal. Namun, untuk menjaga kehati-hatian dan kesempurnaan ibadah, sangat dianjurkan untuk selalu melafalkan atau memastikan adanya kesepakatan (akad) mengenai status harta tersebut sebagai zakat, terutama saat berinteraksi dengan lembaga pengelola.
Dengan memahami dan melaksanakan akad menerima zakat secara benar, seorang Muslim memastikan bahwa ibadahnya diterima sepenuhnya, harta Mustahiq telah terpenuhi haknya, dan tatanan distribusi kekayaan dalam Islam terlaksana dengan tertib dan sesuai ketentuan.