Akidah, dalam konteks Islam, merujuk pada keyakinan dasar yang menjadi fondasi keimanan seorang Muslim. Bagi Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, akidah memegang peranan sentral sebagai panduan spiritual dan metodologis dalam beragama. Akidah NU secara inheren terikat erat dengan tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), yang menekankan pada pemahaman Islam yang moderat, toleran, dan berlandaskan pada tiga pilar utama: Al-Qur'an, Hadis, dan ijtihad para ulama terdahulu.
Landasan Teologis Aswaja An-Nahdliyah
Inti dari akidah NU adalah penerimaan terhadap mazhab teologi yang dianut oleh para pendiri dan tokoh-tokoh besar NU. Secara teologis, akidah NU berpegang teguh pada pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Kedua imam besar ini dikenal karena pendekatan mereka yang menggabungkan antara landasan tekstual (naqli) dari Al-Qur'an dan Hadis dengan penalaran rasional (aqli) yang matang. Hal ini bertujuan untuk menjaga kemurnian iman sambil memberikan respons yang relevan terhadap tantangan intelektual zaman.
Aspek penting lain dari akidah NU adalah penekanan pada konsep tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), dan i'tidal (tegak lurus). Konsep ini menolak segala bentuk ekstremisme, baik yang cenderung terlalu kaku (ghuluw) maupun yang terlalu longgar (tasahul). NU meyakini bahwa jalan tengah adalah jalan yang paling dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, sehingga ajaran agama dapat diterapkan secara utuh tanpa menimbulkan perpecahan sosial.
Penerapan dalam Praktik Kehidupan
Akidah dalam pandangan NU tidak hanya berhenti pada ranah keyakinan hati semata, tetapi harus termanifestasi dalam perilaku sosial dan ritual keagamaan. Misalnya, dalam berinteraksi dengan tradisi lokal, akidah NU memandang bahwa praktik-praktik keagamaan yang bertujuan untuk menghormati leluhur atau merayakan momen penting, selama tidak bertentangan dengan prinsip tauhid yang murni, dapat diterima sebagai bagian dari pengayaan budaya Islami. Inilah yang sering disebut sebagai upaya melestarikan nilai-nilai luhur bangsa yang sejalan dengan ajaran Islam.
Pemahaman mengenai sifat-sifat Allah (Asma'ul Husna) juga dijabarkan secara hati-hati. Akidah NU menolak penafsiran literal (tajsim) yang menganggap Allah memiliki bentuk fisik seperti makhluk. Sebaliknya, mereka mengimani bahwa Allah memiliki sifat-sifat sempurna yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia sepenuhnya, serta menyerahkan hakikatnya kepada Allah SWT sembari menetapkan maknanya sesuai dengan keagungan-Nya (bila kayf).
Hubungan dengan Mazhab Fiqih
Meskipun akidah (teologi) berbeda dengan fiqih (hukum praktis), dalam tradisi NU keduanya berjalan beriringan. Akidah NU yang berbasis Aswaja umumnya berpegang pada empat mazhab fiqih Sunni utama: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Loyalitas terhadap mazhab ini menunjukkan komitmen NU terhadap metodologi ijtihad yang terstruktur dan telah teruji oleh waktu, sekaligus mencegah umat jatuh pada kecenderungan individualisme dalam berhukum yang dapat menimbulkan kekacauan.
Akidah yang kuat, sebagaimana dipahami oleh NU, adalah akidah yang mampu menopang semangat kebangsaan. Keyakinan ini mendorong anggota NU untuk mencintai tanah air (Hubbul Wathan Minal Iman), karena negara Indonesia dianggap sebagai wadah yang memungkinkan umat Islam menjalankan ajaran agamanya dengan aman dan damai. Oleh karena itu, akidah NU secara alami bersifat inklusif dan mendukung kerukunan umat beragama, karena pondasi keyakinan mereka adalah kasih sayang dan keseimbangan.
Tantangan dan Relevansi Kontemporer
Di era digital saat ini, akidah NU menghadapi tantangan baru berupa penyebaran ideologi-ideologi ekstremis dan pemikiran yang menolak otoritas keilmuan tradisional. Untuk menghadapi hal ini, penegasan kembali terhadap akidah Aswaja menjadi krusial. NU terus mendorong kaderisasi dan literasi keagamaan berbasis pesantren untuk memastikan bahwa generasi muda memiliki benteng akidah yang kokoh, yang didasarkan pada pemahaman mendalam, bukan sekadar ikut-ikutan atau emosional.
Kesimpulannya, akidah Nahdlatul Ulama adalah sebuah konstruksi keimanan yang komprehensif, moderat, dan historis. Ia tidak hanya membentuk cara pandang seorang Muslim terhadap Tuhan, tetapi juga menentukan cara pandang mereka terhadap sesama manusia dan lingkungannya. Dengan berpegang pada tradisi ulama salafus shalih dan mengadopsi pendekatan rasional yang seimbang, akidah NU tetap relevan sebagai benteng utama Islam Nusantara yang damai dan berbudaya.