Ilustrasi Konsep Dasar Aswaja
Memahami Aqidah Aswaja NU
Aqidah Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama'ah) merupakan landasan teologis yang dipegang teguh oleh Nahdlatul Ulama (NU). Istilah ini merujuk pada cara pandang keagamaan yang mengikuti tradisi (sunnah) Nabi Muhammad SAW dan praktik mayoritas sahabat serta para ulama besar (jama'ah).
Dalam konteks Indonesia, khususnya dalam lingkup NU, Aqidah Aswaja memiliki karakteristik yang sangat spesifik, yang membedakannya dari pemahaman teologis lain. Ia adalah sintesis antara pemikiran kalam (teologi) yang moderat, pengakuan terhadap empat mazhab fikih, dan penerimaan terhadap tasawuf sebagai bagian integral dari praktik keagamaan.
Tiga Pilar Utama Aqidah Aswaja
Aqidah Aswaja NU secara umum bertumpu pada tiga pilar utama yang saling menguatkan, sering disebut sebagai manhaj (metode) berpikir dan beragama ala NU:
1. Manhaj Fikih (Mengikuti 4 Mazhab)
Pilar pertama adalah sikap i’tibar (mengikuti) terhadap salah satu dari empat mazhab fikih yang mu’tabarah (diakui secara luas), yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. NU menekankan bahwa dalam masalah furu'iyah (cabang), perbedaan pendapat adalah rahmat, asalkan didasarkan pada kaidah ushul fikih yang sahih. Sikap ini mengajarkan moderasi dan menghindari sikap takfir (mengkafirkan) atau menyalahkan kelompok lain hanya karena perbedaan dalam tata cara ibadah atau hukum.
2. Manhaj Kalam (Aqidah Berbasis Al-Asy'ariyyah dan Al-Maturidiyyah)
Dalam ranah keyakinan (tauhid), Aswaja NU secara historis dan kelembagaan berpegang teguh pada dua corak pemikiran teologi Sunni yang paling terkemuka: Al-Asy’ariyyah dan Al-Maturidiyyah. Kedua aliran ini menawarkan jalan tengah (wasathiyah) antara kaum tekstualis ekstrem dan kaum rasionalis berlebihan. Mereka menggunakan logika (akal) sebagai alat bantu untuk memahami wahyu (Al-Qur'an dan Hadis), bukan menjadikannya sebagai otoritas tertinggi di atas dalil naqli (teks). Hal ini memastikan bahwa akidah tetap kokoh namun terbuka terhadap penalaran yang sehat.
3. Manhaj Tashawwuf (Tasawuf Mu'tabarah)
Pilar ketiga adalah pengamalan tasawuf yang bersih dan teruji, atau sering disebut Tasawuf Mu’tabarah. Tasawuf ini bertujuan memurnikan jiwa (tazkiyatun nufus) dan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui jalur spiritual yang dibimbing oleh para guru mursyid yang diakui. Tasawuf yang dimaksud di sini bukanlah sinkretisme atau mistikisme liar, melainkan dimensi spiritual yang sejalan dengan syariat Islam, sebagaimana diajarkan oleh para ulama sufi besar seperti Imam Ghazali.
Pentingnya Moderasi (Wasathiyah)
Ketiga pilar di atas secara kolektif membentuk karakter Aswaja yang moderat, toleran, dan berpijak pada tradisi keilmuan yang mapan. Moderasi ini tercermin dalam sikap NU yang menolak paham-paham ekstrem, baik ekstrem kanan (yang kaku dan suka mengkafirkan) maupun ekstrem kiri (yang terlalu liberal dan mengabaikan nash). Aqidah Aswaja NU mengajarkan pentingnya keseimbangan antara akal dan wahyu, antara syariat, akidah, dan hakikat.
Dengan memegang teguh Aqidah Aswaja, umat Islam di bawah naungan NU senantiasa didorong untuk menjaga persatuan (ukhuwah), berkhidmat kepada agama dan bangsa, serta selalu mengutamakan kemaslahatan umum di atas kepentingan kelompok sempit. Ini adalah warisan intelektual para ulama terdahulu yang relevan hingga kini dalam menghadapi tantangan zaman.
Pemahaman yang mendalam mengenai tiga pilar ini memastikan bahwa praktik keagamaan umat tidak terjerumus dalam bid'ah yang menyesatkan, namun tetap dinamis dan mampu menjawab persoalan kontemporer dengan bingkai keilmuan yang diwariskan secara otentik.