Ilustrasi Konsep Aqidah dalam Aksara Jawi
Aksara Jawi, sistem penulisan bahasa Melayu menggunakan huruf Arab yang dimodifikasi, memiliki peran krusial dalam sejarah Islam Nusantara. Salah satu ranah terpenting yang diekspresikan melalui Jawi adalah persoalan fundamental keimanan, yaitu Aqidah. Aqidah, yang berarti ikatan atau simpul, merujuk pada pokok-pokok keyakinan dalam Islam yang wajib diyakini oleh setiap Muslim, seperti keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab suci, rasul, hari akhir, dan qada serta qadar.
Integrasi antara konsep teologis yang mendalam (Aqidah) dengan medium penulisan tradisional (Jawi) bukan sekadar transliterasi. Ini adalah manifestasi budaya di mana warisan linguistik dan keilmuan Islam bertemu. Dalam konteks Nusantara, Jawi menjadi alat utama penyebaran ajaran Islam selama berabad-abad, dan risalah-risalah mengenai tauhid, sifat dua puluh, hingga bantahan terhadap ajaran sesat seringkali disajikan secara eksklusif dalam medium ini.
Sebelum dominasi alfabet Latin meluas, kitab-kitab rujukan utama—mulai dari tafsir, hadis, hingga fikih—diterjemahkan atau ditulis ulang dalam Jawi. Hal ini memastikan bahwa pemahaman Aqidah dapat diterima oleh masyarakat luas yang berbahasa Melayu. Ketika konsep-konsep teologis yang kompleks diperkenalkan, penggunaan Jawi memfasilitasi kedekatan emosional dan kultural. Melihat kata-kata seperti 'Allah (ﷲ), 'Rasul (رسول), atau 'Hari Kiamat (يوم القيامة) dalam tulisan yang sudah dikenal, memperkuat proses internalisasi keyakinan tersebut.
Tulisan Jawi juga memiliki kelebihan tersendiri dalam merepresentasikan fonem-fonem Arab yang melekat erat dalam terminologi Aqidah. Berbeda dengan transliterasi modern yang terkadang kehilangan nuansa, Jawi mempertahankan representasi visual yang kuat. Misalnya, penekanan pada huruf-huruf yang menandakan sifat-sifat Allah atau nama-nama malaikat menjadi lebih otentik secara visual ketika ditulis dalam bentuk aslinya yang dimodifikasi.
Sepanjang sejarah perkembangan Islam di Asia Tenggara, muncul berbagai aliran pemikiran yang dianggap menyimpang dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dalam upaya mempertahankan kemurnian akidah, para ulama terdahulu sangat mengandalkan tulisan Jawi. Mereka menyusun risalah-risalah bantahan (seperti kitab yang menjelaskan Sifat Dua Puluh) dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Keindahan kaligrafi Jawi seringkali menyertai teks-teks Aqidah. Estetika ini bukan sekadar hiasan; ia berfungsi sebagai metode penguatan memori dan penghargaan terhadap isi yang disampaikan. Ketika sebuah prinsip Aqidah ditulis dengan indah, hal itu mencerminkan penghormatan terhadap keagungan materi yang dibahas. Keindahan visual menjadi pelengkap kekhusyukan spiritual.
Saat ini, penggunaan Jawi menghadapi tantangan besar dari dominasi alfabet Rumi. Banyak generasi muda yang tidak lagi mampu membaca atau menulis Jawi. Hal ini berpotensi memutus hubungan langsung mereka dengan khazanah intelektual Islam klasik yang mayoritas tertulis dalam Jawi. Hilangnya kemampuan membaca Jawi secara tidak langsung dapat menghalangi akses mendalam terhadap literatur Aqidah yang otentik dari para pendahulu.
Oleh karena itu, upaya revitalisasi aksara Jawi kini bukan lagi semata-mata urusan pelestarian budaya, tetapi merupakan kebutuhan vital dalam menjaga kesinambungan pemahaman Aqidah yang benar. Ketika seseorang belajar Jawi, ia membuka pintu menuju perpustakaan teks-teks keislaman yang kaya, di mana fondasi keyakinan—Aqidah—telah dibahas secara rinci dan sistematis oleh para ulama Nusantara.
Memahami Aqidah melalui tulisan Jawi adalah upaya mengapresiasi warisan intelektual yang telah teruji zaman. Ia memastikan bahwa pesan-pesan pokok keimanan tidak hanya diajarkan secara lisan, tetapi juga terpatri melalui medium visual yang sarat makna historis dan spiritual. Dengan demikian, Jawi tetap menjadi jembatan penting antara tradisi masa lampau dan pemahaman iman yang teguh di masa kini.