Ilustrasi simbolik perjalanan hati dalam Sufisme.
Aqidah Sufi, atau yang sering disebut sebagai tasawuf, merupakan dimensi internal dan esoteris dari ajaran Islam. Ia bukanlah sekadar sekumpulan ritual atau doktrin yang terpisah, melainkan sebuah metodologi mendalam untuk memahami dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam konteks aqidah (keyakinan), tasawuf menekankan pada pembersihan hati (tazkiyatun nafs) agar keyakinan yang dimiliki bukan hanya sebatas pengakuan lisan atau pemahaman intelektual semata, melainkan telah meresap menjadi realitas batin.
Berbeda dengan fokus utama fikih (hukum) yang mengatur aspek lahiriah ibadah, atau kalam (teologi rasional) yang memperkuat argumen keimanan melalui logika, aqidah Sufi berpusat pada pengalaman langsung (dzawq) dan penghayatan rasa akan kebenaran tauhid. Dasar fundamentalnya tetap bersandar pada Al-Qur'an dan Sunnah, namun penekanannya adalah bagaimana ajaran-ajaran tersebut dihidupi secara totalitas dalam jiwa seorang hamba.
Pilar utama dari aqidah Sufi adalah konsep Tauhid, namun diekspresikan dalam tingkatan yang lebih halus. Tauhid yang diajarkan Sufi melampaui pemahaman bahwa "Tiada Tuhan selain Allah" (nafi dan itsbat dalam syahadat). Sufi berusaha mencapai tingkatan di mana kesadaran akan keberadaan selain Allah seolah-olah lenyap, menyisakan kebergantungan mutlak hanya kepada Sang Khaliq.
Hal ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman dari kalangan luar, seolah-olah Sufi menolak syariat. Padahal, para sufi besar mengajarkan bahwa syariat adalah kendaraan, thariqat adalah jalan, dan hakikat adalah tujuan akhir. Tanpa syariat yang kokoh, perjalanan spiritual akan mudah tersesat dalam ilusi atau spekulasi. Aqidah Sufi mengintegrasikan ketiga aspek ini; syariat menjadi landasan formal, sementara penghayatan batin mendorong aktualisasi keyakinan tersebut.
Konsep kunci dalam aqidah Sufi adalah Ma’rifah (mengenal secara mendalam) dan Ihsan (berbuat baik seolah melihat Allah). Ihsan, yang juga didefinisikan oleh Rasulullah SAW, menjadi barometer kesempurnaan iman seorang sufi. Ketika seorang hamba mencapai tingkatan Ihsan, tindakannya menjadi termotivasi oleh kesadaran konstan akan pengawasan ilahi.
Aqidah yang dibentuk melalui proses suluk (perjalanan spiritual) ini menghasilkan karakter yang penuh cinta (mahabbah) dan rasa takut (khauf) yang seimbang. Cinta mendorongnya untuk taat dan mendekat, sementara rasa takut mencegahnya dari kelalaian dan kesombongan. Keyakinan Sufi adalah keyakinan yang hidup, yang teruji dalam kesunyian munajat dan diuji dalam interaksi sosial.
Dalam menghadapi ujian dunia, aqidah Sufi menekankan pentingnya sabar (khususnya sabar dalam menerima takdir) dan tawakkul (berserah diri). Seorang sufi meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak dan ilmu Allah yang Maha Bijaksana. Keyakinan ini membebaskannya dari kecemasan berlebihan terhadap masa depan atau penyesalan mendalam atas masa lalu.
Proses pemurnian diri yang diajarkan Sufi, seperti riyadhah (latihan keras) dan mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu), adalah metode praktis untuk menanamkan aqidah ini secara permanen dalam jiwa. Mereka berusaha menyingkirkan penghalang-penghalang hati—seperti sifat kikir, dengki, riya’ (pamer), dan cinta dunia—karena hal-hal tersebut dianggap sebagai 'hijab' atau tabir tebal yang menghalangi pandangan hati kepada Cahaya Ilahi. Dengan demikian, aqidah Sufi adalah sebuah perjalanan aktif menuju pemenuhan total makna iman.
Pada akhirnya, keyakinan seorang sufi adalah keyakinan yang mencari keindahan dan kebenaran mutlak di balik realitas yang tampak. Ia adalah undangan untuk melihat dunia bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai cermin yang memantulkan Sifat-Sifat Agung Sang Pencipta.