Memahami Aqidah Taqiyuddin An Nabhani

Simbol Pemikiran dan Kebenaran Sebuah representasi abstrak dari fondasi pemikiran dan kebenaran dalam aqidah. Aqidah

Aqidah, atau landasan keyakinan dalam Islam, adalah pondasi utama bagi setiap Muslim. Dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer, nama Taqiyuddin An Nabhani (sering dirujuk sebagai pendiri Hizbut Tahrir) seringkali muncul sehubungan dengan konsepsi aqidah yang beliau tawarkan. Pemahaman mengenai aqidah Taqiyuddin An Nabhani bukan hanya sekadar kajian teologis murni, tetapi juga memiliki implikasi metodologis yang kuat dalam cara seorang Muslim memandang realitas dan hubungannya dengan syariat.

Inti dari pemikiran aqidah An Nabhani berakar pada konsep Tauhid Uluhiyyah—pengesaan Allah dalam segala bentuk peribadatan dan ketaatan. Berbeda dengan beberapa aliran teologi yang cenderung memisahkan ranah spiritualitas personal dari tata kelola kehidupan publik, An Nabhani menekankan bahwa aqidah harus bersifat integral dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Tauhid bukan hanya pengakuan lisan, tetapi manifestasi totalitas kepatuhan kepada kehendak Allah SWT.

Metodologi Penetapan Aqidah

Salah satu ciri khas dalam pendekatan An Nabhani adalah penekanan pada metode penetapan aqidah yang rigoris dan berbasis pada teks (naql) yang dipahami melalui kerangka pemikiran (aql) yang lurus. Beliau sangat menekankan pentingnya merujuk langsung kepada Al-Qur'an dan Sunnah tanpa melalui interpretasi yang dianggapnya telah tercampur oleh pemikiran-pemikiran asing (seperti filsafat Yunani atau sekularisme).

Dalam pandangan ini, aqidah yang sahih adalah aqidah yang murni (salafiyah) dan terbebas dari bid’ah atau penyimpangan. Konsekuensinya, pemahaman aqidah ini kemudian menjadi landasan untuk memahami konsep Syubhat (keraguan) dan cara menolaknya secara rasional, meskipun dasar penolakannya tetap bersumber dari dalil-dalil yang diyakini otentik.

Aqidah dan Penerapannya dalam Kehidupan

Konsep aqidah Taqiyuddin An Nabhani memiliki korelasi erat dengan pandangannya tentang politik dan tata negara. Bagi An Nabhani, iman yang benar menuntut implementasi syariat secara menyeluruh dalam bentuk negara Islam (Khilafah). Keyakinan terhadap keesaan Allah (Tauhid) secara logis harus berujung pada penolakan terhadap kedaulatan selain milik Allah. Ini berarti, segala bentuk hukum dan sistem buatan manusia yang bertentangan dengan hukum Allah harus ditolak berdasarkan fondasi aqidah yang kokoh.

Implikasi ini menjadikan aqidah bukan sekadar urusan ritual (shalat, puasa), tetapi menjadi ideologi hidup yang membentuk pandangan dunia (worldview). Segala sesuatu dinilai berdasarkan apakah ia sesuai atau bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang ditarik dari aqidah tersebut.

Perbedaan dengan Konteks Teologi Lain

Dalam perbandingan dengan pemikiran teologi tradisional lainnya di dunia Islam, pendekatan An Nabhani sering dikategorikan sebagai pendekatan yang sangat menekankan aspek politik dari aqidah. Sementara banyak mazhab teologi fokus pada pembuktian keesaan Tuhan melalui argumen kosmologis atau metafisika, fokus utama An Nabhani lebih diarahkan pada bagaimana aqidah ini harus membentuk struktur sosial dan politik masyarakat.

Pemikiran ini menuntut konsistensi absolut antara keyakinan hati (iman) dan tindakan nyata (amal). Kegagalan mengimplementasikan keyakinan dalam tataran praktis, terutama dalam urusan kepemimpinan dan hukum, dipandang sebagai kelemahan fundamental dalam penguatan aqidah di tengah masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang aqidah Taqiyuddin An Nabhani memerlukan telaah yang komprehensif terhadap seluruh kerangka pemikiran politik yang beliau bangun, karena keduanya saling mengunci dan melengkapi.

Secara keseluruhan, aqidah dalam perspektif An Nabhani adalah sebuah sistem keyakinan yang hidup, aktif, dan menuntut pertanggungjawaban total dari pemeluknya, tidak hanya dalam ranah pribadi tetapi juga dalam upaya penegakan kebenaran Ilahi di muka bumi.

🏠 Homepage