Ibadah aqiqah merupakan sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) dalam Islam, dilaksanakan sebagai ungkapan syukur atas kelahiran seorang anak. Tata cara pelaksanaan aqiqah melibatkan penyembelihan hewan ternak (kambing atau domba), dan daging hasil sembelihan tersebut kemudian dibagikan kepada fakir miskin, kerabat, dan tetangga. Dalam konteks pembagian ini, muncul pertanyaan spesifik mengenai hukum dan praktik jika aqiqah dibagikan mentah.
Secara tradisional, daging aqiqah lebih sering dibagikan setelah dimasak, biasanya berupa hidangan siap saji yang dibagikan kepada masyarakat sekitar. Namun, dalam kondisi tertentu—misalnya, jika panitia pelaksana ingin memastikan distribusi yang lebih luas atau untuk menolong mereka yang memiliki keterbatasan fasilitas memasak—pembagian dalam keadaan mentah sering dipertimbangkan.
Fokus utama dalam pembagian hasil aqiqah adalah memastikan bahwa daging tersebut sampai kepada yang berhak menerimanya sebagai bentuk sedekah dan rasa syukur. Namun, para ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai status hukum pembagian daging aqiqah dalam keadaan belum diolah.
Mayoritas ulama, berdasarkan praktik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, cenderung menganjurkan agar daging aqiqah dibagikan setelah dimasak. Tujuannya adalah untuk mempermudah penerima untuk langsung mengonsumsinya atau menyajikannya kepada keluarga tanpa perlu lagi melakukan proses memasak.
Namun, terdapat pula pandangan yang membolehkan pembagian daging aqiqah dalam keadaan mentah, terutama jika dilihat dari sisi kepemilikan dan niat sedekah. Aqiqah sejatinya adalah penyembelihan untuk Allah, dan dagingnya menjadi milik orang yang berhak menerima sedekah tersebut begitu proses penyembelihan selesai dan daging terpisah dari hewan.
Ketika memutuskan bahwa aqiqah dibagikan mentah, beberapa pertimbangan praktis harus diperhatikan untuk menjaga keberkahan dan keabsahan ibadah ini:
Apapun metode pembagian yang dipilih—baik dimasak maupun mentah—niat yang ikhlas semata-mata karena Allah adalah faktor penentu utama diterimanya amalan aqiqah tersebut. Jika niatnya adalah untuk menunaikan sunnah Rasul dan bersyukur atas karunia anak, maka insya Allah ibadah tersebut dicatat sebagai amal shaleh.
Bagi penyelenggara, memilih untuk membagikan daging mentah seringkali disebabkan oleh efisiensi logistik, terutama pada skala aqiqah yang besar atau saat lokasi distribusi yang jauh. Meskipun demikian, jika memungkinkan, mengolahnya terlebih dahulu tetap menjadi opsi yang paling utama karena membawa manfaat langsung berupa hidangan siap santap bagi penerima. Memahami bahwa diperbolehkannya pembagian daging mentah ini memberikan fleksibilitas, asalkan standar kebersihan dan kesegaran tetap terjaga demi kemaslahatan umat.
Kesimpulannya, meskipun pembagian daging aqiqah dalam kondisi matang lebih diutamakan karena keutamaannya dalam memberi kemudahan kepada penerima, secara hukum fikih, pembagian daging mentah tetap diperbolehkan selama daging tersebut masih baik dan niat sedekahnya terpenuhi. Keberkahan terletak pada keikhlasan pelaksanaan ibadah ini.