Aqiqah adalah salah satu sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) dalam Islam yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran seorang anak. Pelaksanaan ibadah ini memiliki beberapa ketentuan, salah satunya berkaitan dengan waktu yang tepat. Pertanyaan mendasar yang sering muncul di kalangan orang tua baru adalah: "Aqiqah harus berapa hari setelah kelahiran?"
Memahami waktu yang tepat untuk aqiqah tidak hanya penting untuk menunaikan sunnah Nabi Muhammad SAW, tetapi juga sebagai bentuk pengenalan sosial anak kepada lingkungan sekitar melalui acara syukuran.
Secara umum, terdapat beberapa pandangan ulama mengenai waktu ideal pelaksanaan aqiqah. Namun, konsensus kuat mengarah pada tiga pilihan utama yang semuanya terikat pada hari ketujuh kelahiran anak.
Mayoritas ulama, berdasarkan hadis yang shahih, menyatakan bahwa waktu terbaik dan paling afdhal untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh sejak bayi lahir. Hari ketujuh ini sering dianggap sebagai puncak kesempurnaan pelaksanaan aqiqah.
Dasar anjuran ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang sering dijadikan rujukan utama dalam fiqih aqiqah. Melakukan aqiqah pada hari ketujuh juga memiliki makna simbolis, yaitu memberikan kesempatan kepada bayi untuk menikmati kebersihan dan perlindungan sebelum ibadah tersebut ditunaikan atas namanya.
Meskipun hari ketujuh adalah yang paling utama, tidak berarti pelaksanaan aqiqah menjadi batal jika dilakukan di luar hari tersebut. Beberapa pendapat membolehkan pelaksanaan aqiqah pada hari-hari setelah hari ketujuh, asalkan masih dalam rentang waktu yang dianggap wajar sebelum masa kanak-kanak penuh.
Jika ada kendala logistik, kesehatan ibu atau bayi, atau urusan mendesak lainnya yang menyebabkan penundaan hingga hari kedelapan atau kesembilan, hal tersebut masih dapat ditoleransi oleh sebagian besar madzhab, meskipun keutamaannya sedikit berkurang dibandingkan dilakukan tepat pada hari ketujuh.
Dalam kondisi yang sangat jarang terjadi atau karena alasan syar'i yang kuat, beberapa ulama memberikan kelonggaran bahwa aqiqah dapat ditunda hingga anak memasuki usia remaja atau bahkan sebelum baligh. Namun, penundaan yang signifikan ini seringkali mengurangi nilai sunnahnya, karena tujuan utama aqiqah adalah syukuran segera setelah kelahiran.
Jika orang tua menunda hingga anak besar, ada perbedaan pendapat apakah orang tua yang menanggung biaya atau anak itu sendiri (jika sudah mampu). Namun, pandangan yang lebih kuat adalah kewajiban tersebut melekat pada orang tua saat kelahiran, dan jika ditunda, tetap lebih baik dilaksanakan daripada tidak sama sekali.
Untuk memahami mengapa ada pertanyaan tentang aqiqah harus berapa hari, penting untuk melihat beberapa pandangan alternatif, meskipun hari ketujuh mendominasi:
Namun, penting untuk ditekankan bahwa landasan paling kuat dan paling sering diikuti adalah pelaksanaan pada hari ketujuh, mengikuti teladan Nabi SAW.
Jika hari ketujuh terlewat, aqiqah tetap disunnahkan untuk dilaksanakan. Kesunnahannya tidak hilang hanya karena melewati batas waktu ideal. Dalam Islam, jika suatu amal kebaikan memiliki waktu utama, meninggalkannya bukan berarti menghapuskan amalan tersebut, melainkan mengurangi keutamaannya.
Pelaksanaan aqiqah adalah bentuk tebusan (fidyah) bagi bayi yang baru lahir, yang mana dalam beberapa hadis disebutkan bahwa anak tergadai dengan aqiqahnya hingga ia disembelihkan untuknya pada hari ketujuh.
Selain waktu, jumlah hewan yang disembelih juga menjadi fokus utama. Ini juga terkait dengan jenis kelamin anak:
Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat sah hewan kurban, seperti tidak cacat, cukup umur (biasanya minimal enam bulan untuk domba/kambing), dan disembelih dengan cara syar'i. Daging hasil aqiqah dianjurkan untuk dibagikan dalam tiga porsi: dimasak untuk disedekahkan, dibagikan mentah kepada fakir miskin, dan sebagian untuk konsumsi keluarga inti.
Memahami waktu dan tata cara aqiqah menunjukkan kesungguhan orang tua dalam menaati ajaran agama serta memohon keberkahan bagi masa depan buah hati mereka. Meskipun penekanan hari ketujuh sangat kuat, fleksibilitas minor tetap ada selama niat baik untuk menunaikan sunnah ini tetap terjaga.