Aqiqah, sebuah ritual penyembelihan hewan ternak sebagai ungkapan syukur atas kelahiran seorang anak, merupakan sunnah muakkad yang sangat dianjurkan dalam Islam. Meskipun inti dari ibadah ini adalah penyembelihan itu sendiri, tahap selanjutnya—yaitu pengolahan dagingnya—memiliki aturan dan hikmah tersendiri. Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: aqiqah harus dimasak atau bagaimana tata cara pembagiannya? Dalam pembahasan ini, kita akan mengupas tuntas mengapa proses memasak dan distribusi daging aqiqah memegang peranan krusial.
Secara umum, daging hewan aqiqah tidak boleh dijual. Sebagian besar ulama sepakat bahwa daging tersebut harus dibagikan sebagai bentuk sedekah dan berbagi kebahagiaan. Pembagian daging aqiqah biasanya dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk fakir miskin, sepertiga untuk dibagikan kepada kerabat dan tetangga, dan sepertiga sisanya untuk dikonsumsi oleh keluarga yang mengadakan aqiqah.
Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah daging tersebut harus dibagikan mentah atau sudah diolah. Mayoritas ulama, termasuk Imam Malik, berpendapat bahwa daging aqiqah sebaiknya dibagikan dalam keadaan sudah dimasak (matang). Alasannya, daging yang sudah dimasak lebih mudah disajikan dan langsung dapat dinikmati oleh penerima, terutama bagi mereka yang kurang mampu dan tidak memiliki fasilitas untuk mengolah daging mentah.
Keputusan untuk memasak daging aqiqah sebelum dibagikan didasarkan pada beberapa pertimbangan praktis dan adab (etika) sosial dalam Islam:
Ketika memutuskan bahwa aqiqah harus dimasak, pilihan metode pengolahan sangat beragam, tergantung pada tradisi dan selera lokal. Beberapa hidangan populer yang sering disiapkan dari daging aqiqah antara lain:
Gulai atau Kari: Hidangan berkuah kental ini sangat cocok untuk dibagikan dalam jumlah besar karena tahan lama dan mudah dihidangkan bersama nasi.
Sate atau Gulai Kering (Krengsengan): Ini adalah pilihan yang lebih meriah untuk dibagikan kepada tetangga dan kerabat dekat sebagai bentuk undangan walimah.
Penting untuk dicatat bahwa memasak daging aqiqah tidak harus dilakukan dengan cara mewah. Yang terpenting adalah memastikan kebersihan, kehalalan prosesnya, dan niat tulus dalam berbagi. Meskipun demikian, sebagian kecil ulama membolehkan pembagian mentah asalkan pihak penerima adalah mereka yang mampu mengolahnya sendiri. Namun, sebagai standar umum dan bentuk kehati-hatian (wara'), memasak adalah metode yang paling dianjurkan.
Aqiqah bukan hanya sekadar ritual formalitas. Ia menanamkan nilai-nilai kebersamaan dan empati. Dengan memasak dan menyajikan hidangan aqiqah, kita mengundang orang lain untuk ikut merasakan rahmat Allah atas karunia kelahiran anak. Proses memasak itu sendiri bisa menjadi momen kekeluargaan, di mana anggota keluarga ikut terlibat dalam menyiapkan persembahan syukur ini.
Kesimpulannya, meskipun tidak ada larangan tegas mutlak dalam Al-Qur'an yang mewajibkan memasak, mengikuti pandangan mayoritas ulama yang menganjurkan agar daging aqiqah harus dimasak sebelum dibagikan adalah langkah yang lebih aman, lebih mudah bagi penerima, dan lebih sesuai dengan semangat berbagi kebahagiaan dalam sebuah perayaan syukur. Dengan demikian, daging aqiqah benar-benar menjadi berkah yang termakan dan tersebar luas.
Semoga kelahiran buah hati membawa keberkahan bagi keluarga dan lingkungan sekitar.