Pertanyaan mengenai status hukum aqiqah—apakah ia termasuk ibadah yang sifatnya sunnah ataukah wajib—seringkali muncul di kalangan umat Islam, terutama bagi orang tua yang baru saja dikaruniai keturunan. Aqiqah secara etimologis berarti "memotong rambut bayi" dan secara syariat merujuk pada penyembelihan hewan ternak sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran seorang anak.
Untuk memahami hukum aqiqah, kita perlu merujuk pada dalil-dalil syar'i, baik dari Al-Qur'an maupun Hadits, serta pandangan para ulama dari berbagai mazhab.
Dasar Hukum Aqiqah
Mayoritas ulama, termasuk dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, sepakat bahwa hukum aqiqah adalah **sunnah muakkadah** (sunnah yang sangat dianjurkan). Pandangan ini didasarkan pada beberapa hadits Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah SAW bersabda: "Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya. Maka sembelihlah (hewan aqiqah) untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Tirmidzi).
Kata "tergadai" (rahin) dalam hadits ini sering diartikan bahwa hakikat seorang anak terikat dengan pelaksanaan aqiqah. Jika aqiqah dilaksanakan, maka terlepaslah "jaminan" tersebut, yang diartikan sebagai bentuk perlindungan spiritual dan pemenuhan hak anak atas orang tuanya di sisi syariat.
Mengapa Aqiqah Dianggap Sunnah, Bukan Wajib?
Meskipun sangat dianjurkan, aqiqah tidak dikategorikan wajib karena beberapa pertimbangan:
- Tidak Adanya Perintah Tegas (Wajib): Hukum wajib dalam Islam biasanya ditandai dengan penggunaan lafadz perintah yang tegas (seperti dalam Al-Qur'an atau Hadits shahih) yang disertai ancaman atau konsekuensi jika ditinggalkan. Hadits tentang aqiqah menggunakan kalimat perintah yang maknanya cenderung mengarah pada anjuran kuat, bukan kewajiban mutlak.
- Kemampuan Finansial: Kewajiban ibadah dalam Islam selalu dikaitkan dengan kemampuan (istitha'ah). Jika aqiqah diwajibkan, maka akan memberatkan orang tua yang baru lahir yang mungkin memiliki keterbatasan ekonomi.
- Perbedaan Pandangan Ulama: Walaupun mayoritas menyatakan sunnah muakkadah, ada juga pandangan dari beberapa ulama klasik yang menganggapnya sebagai sunnah biasa atau bahkan fardhu kifayah dalam kondisi tertentu, namun pandangan wajib mutlak jarang dianut oleh jumhur ulama kontemporer.
Ketentuan Pelaksanaan Aqiqah
Pelaksanaan aqiqah memiliki ketentuan yang jelas mengenai jumlah hewan dan waktu pelaksanaannya:
- Waktu Pelaksanaan: Waktu terbaik untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Jika terlewat, dapat dilaksanakan pada hari ke-14, atau hari ke-21. Jika semua itu terlewat, dapat dilaksanakan kapan saja setelahnya, meskipun waktu utama adalah hari ketujuh.
- Jumlah Hewan: Sesuai sunnah, untuk bayi laki-laki disembelih dua ekor kambing atau domba, dan untuk bayi perempuan disembelih satu ekor kambing atau domba. Hewan tersebut harus memenuhi syarat sahnya hewan qurban (tidak cacat dan cukup umur).
Hikmah di Balik Aqiqah
Aqiqah bukan sekadar ritual potong hewan, namun mengandung hikmah mendalam:
- Syukur kepada Allah SWT: Ini adalah ekspresi terima kasih tertinggi atas nikmat karunia seorang anak.
- Sosialisasi dan Berbagi: Daging hasil aqiqah dibagikan kepada fakir miskin, tetangga, dan kerabat, yang memperkuat tali silaturahmi dan menjamin bahwa kebahagiaan kelahiran dapat dirasakan bersama.
- Pembersihan Spiritual: Bagi sebagian ulama, aqiqah membersihkan anak dari potensi keburukan dan menjadikannya anak yang baik di sisi Allah.
Kesimpulannya, mayoritas ulama menetapkan bahwa aqiqah berstatus **sunnah muakkadah** bagi orang tua yang mampu. Meskipun bukan kewajiban yang menanggung dosa jika ditinggalkan, melaksanakan aqiqah sangat dianjurkan karena mengandung kebaikan besar, pahala yang melimpah, dan mengikuti teladan mulia Rasulullah SAW dalam menyambut kehadiran buah hati.