Simbol Kelahiran dan Syukur Aqiqah Aqiqah

Aqiqah Menurut Pandangan Nahdlatul Ulama (NU)

Aqiqah merupakan salah satu tradisi Islam yang sangat dianjurkan, terutama dalam konteks kelahiran seorang anak. Dalam tradisi Sunni, khususnya bagi pengikut mazhab Syafi'i yang menjadi rujukan utama Nahdlatul Ulama (NU), pelaksanaan aqiqah memiliki landasan kuat dalam sunnah Nabi Muhammad SAW. Bagi NU, aqiqah bukan sekadar ritual adat, melainkan bentuk syukur (syukur nikmat) kepada Allah SWT atas karunia seorang keturunan.

Kedudukan Hukum Aqiqah dalam Mazhab Syafi'i

Dalam mazhab Syafi'i, sebagaimana dipegang teguh oleh organisasi NU, aqiqah dikategorikan sebagai ibadah yang sangat dianjurkan, atau sering disebut sebagai sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Hal ini didasarkan pada hadis-hadis shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW pernah melaksanakan aqiqah untuk cucu beliau, Hasan dan Husain. Pelaksanaan aqiqah ini memiliki tujuan utama, yaitu membebaskan anak yang baru lahir dari keterikatan setan (sebagaimana ungkapan sebagian ulama) dan sebagai wujud terima kasih kepada Allah.

Para ulama NU sering menekankan bahwa aqiqah adalah manifestasi dari iman dan cinta kasih terhadap ajaran Rasulullah. Meskipun hukumnya tidak sampai wajib (fardhu 'ain) seperti shalat atau puasa, meninggalkannya tanpa udzur dianggap menyia-nyiakan sunnah yang mulia. Oleh karena itu, NU mendorong umatnya untuk melaksanakan aqiqah sebagai bentuk pemenuhan hak spiritual anak.

Ketentuan Jumlah Hewan Aqiqah

Pandangan NU mengenai jumlah hewan yang disembelih mengikuti ketentuan yang baku dalam fikih Syafi'i, yang didasarkan pada jenis kelamin anak yang baru lahir:

Kambing yang disembelih harus memenuhi syarat-syarat hewan kurban, yaitu sehat, tidak cacat, dan telah mencapai usia tertentu (umumnya telah bergigi enam bulan atau lebih). Kriteria ini menunjukkan bahwa aqiqah memiliki kesamaan substansial dengan ibadah kurban, meski niat dan waktunya berbeda.

Waktu Pelaksanaan Aqiqah

Waktu terbaik untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh kelahiran anak. Jika tidak memungkinkan pada hari ketujuh, maka dapat ditunda hingga hari keempat belas, atau hari kedua puluh satu. Sebagian ulama membolehkan pelaksanaan aqiqah bahkan setelah usia tersebut, namun waktu-waktu awal ini dianggap lebih utama karena sesuai dengan tradisi Rasulullah.

Dalam pandangan NU, penundaan aqiqah tanpa alasan yang kuat kurang dianjurkan. Jika orang tua baru mampu secara finansial setelah melewati hari ketujuh, maka melaksanakan secepatnya setelah mampu tetap lebih baik.

Pembagian Daging Aqiqah Menurut Perspektif NU

Salah satu aspek penting dari aqiqah adalah tata cara pembagian dagingnya. Meskipun tidak seketat pembagian daging kurban yang memiliki pembagian wajib (sebagian dimakan, sebagian disedekahkan, sebagian dihadiahkan), NU menganjurkan pembagian daging aqiqah dengan pola yang memudahkan dan mendatangkan keberkahan.

Pembagian yang sering direkomendasikan adalah membagi daging menjadi tiga bagian:

  1. Disedekahkan kepada fakir miskin.
  2. Dihidangkan kepada kerabat, tetangga, dan teman (sebagai bentuk silaturahim).
  3. Dimasak dan dimakan bersama keluarga yang baru melahirkan.

Penting dicatat bahwa daging aqiqah sebaiknya tidak dijual, dan tidak wajib diberikan mentah kepada fakir miskin. Banyak tradisi NU memilih memasak daging tersebut dan mengundang tetangga untuk makan bersama, karena hal ini lebih erat kaitannya dengan aspek sosial dan sedekah pangan.

Hikmah Aqiqah yang Ditekankan NU

Di luar aspek ritualistik, Nahdlatul Ulama selalu menekankan aspek sosial dan spiritual dari aqiqah. Hikmah utamanya meliputi:

Secara keseluruhan, aqiqah menurut pandangan NU adalah implementasi cinta terhadap ajaran Islam (tasawwuf) yang dibalut dengan praktik sosial (muamalah), memastikan bahwa kebahagiaan kelahiran anak juga turut dirasakan oleh sesama.

🏠 Homepage