Ilustrasi simbolik ikatan dan janji pernikahan.
Pernikahan dalam perspektif hukum Islam merupakan sebuah akad suci yang memiliki konsekuensi hukum dan spiritual yang mendalam. Salah satu elemen krusial yang seringkali mengiringi prosesi ini, terutama di Indonesia, adalah pengucapan Sighat Taklik Nikah. Meskipun akad utama adalah ijab kabul antara wali (atau yang mewakili) dan calon suami, taklik nikah berfungsi sebagai syarat atau janji bersyarat yang diucapkan oleh suami, yang jika dilanggar, dapat menimbulkan hak bagi istri untuk mengajukan gugatan perceraian.
Secara harfiah, 'Sighat' berarti ucapan atau lafaz, sementara 'Taklik' bermakna menggantungkan atau mempersyaratkan. Jadi, Sighat Taklik Nikah adalah lafaz atau janji yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah, yang bersifat menggantungkan talak (perceraian) kepada suatu perbuatan atau kondisi tertentu yang ia lakukan di masa depan. Ini bukanlah bagian dari rukun nikah itu sendiri, melainkan sebuah kesepakatan tambahan yang mengikat secara hukum dan syar'i.
Tujuan utama dari taklik nikah adalah memberikan perlindungan hukum tambahan kepada pihak istri. Jika suami melanggar janji yang ia ucapkan dalam taklik tersebut—misalnya, suami berjanji tidak akan meninggalkan istri lebih dari sekian hari tanpa izin, dan kemudian melanggarnya—maka istri memiliki dasar kuat untuk mengajukan permohonan pembatalan pernikahan atau cerai ke pengadilan agama.
Meskipun redaksi spesifik bisa bervariasi sesuai adat atau keputusan hakim (terutama dalam konteks pengadilan agama), inti dari lafaz taklik biasanya mencakup larangan bagi suami untuk melakukan perbuatan tertentu. Salah satu format yang paling umum di Indonesia berbunyi kira-kira seperti berikut (walaupun ini adalah terjemahan umum, lafaz aslinya seringkali berbahasa Arab atau campuran):
"Apabila saya (nama suami) dengan sengaja dan tanpa alasan yang sah, meninggalkan istri saya (nama istri) selama 6 bulan berturut-turut, atau saya melakukan kekerasan fisik (memukul atau menyakiti tubuhnya), atau saya tidak memberi nafkah wajib selama 3 bulan berturut-turut, maka pernikahan ini menjadi batal karena taklik dan jatuhlah talak satu kepada istri saya."
Penting untuk dicatat bahwa lafaz ini harus diucapkan secara sadar dan dipahami betul oleh suami. Pengucapan yang tidak disadari atau tanpa pemahaman penuh dapat menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
Dalam yurisprudensi Islam Indonesia, taklik nikah diakui sebagai suatu bentuk penetapan hak istri untuk mengajukan cerai (fasakh atau khulu' tergantung interpretasi dan kondisi) jika syarat-syarat yang ditentukan terpenuhi. Ia berbeda dengan talak yang diucapkan secara langsung oleh suami (talak sarih).
Sighat Taklik Nikah bukanlah sekadar formalitas yang harus dibaca tanpa makna. Bagi seorang suami, mengucapkan taklik nikah adalah bentuk ikrar moral dan legal yang harus dipenuhi sepanjang ikatan pernikahan. Pelanggaran terhadap janji ini harus ditangani secara serius.
Jika seorang suami merasa bahwa ia tidak dapat memenuhi salah satu syarat yang telah ia ucapkan, langkah yang paling bijak bukanlah melanggarnya diam-diam, melainkan segera melakukan konsultasi dengan pihak yang berwenang—baik itu tokoh agama maupun hakim pengadilan—untuk mencari jalan keluar yang sesuai syariat dan hukum yang berlaku. Mungkin diperlukan proses rujuk jika terjadi pelanggaran yang tidak disengaja, atau bahkan proses talak dengan cara yang benar jika kondisi tidak memungkinkan untuk dipertahankan.
Memahami bacaan sighat taklik nikah adalah bagian integral dari edukasi pernikahan. Ini menunjukkan bahwa pernikahan tidak hanya tentang hak, tetapi juga tentang tanggung jawab yang diikat oleh sumpah dan syarat, yang bertujuan menjaga kemaslahatan kedua belah pihak, terutama pihak istri, dalam membina rumah tangga yang sakinah.
Masyarakat perlu terus diedukasi mengenai dampak dan implikasi dari setiap kata yang diucapkan dalam prosesi sakral ini. Kejelasan makna dan komitmen penuh adalah kunci keberlangsungan ikatan pernikahan yang diberkahi.