Ilustrasi simbolik permulaan dengan Basmalah.
Basmalah, lafaz Bismillahirrahmannirrahim, merupakan kunci pembuka bagi setiap perbuatan baik, termasuk ibadah paling fundamental dalam Islam, yaitu salat. Namun, ketika seorang imam berdiri memimpin salat fardu yang membutuhkan pembacaan jahr (keras), seperti Magrib, Isya, dan Subuh, muncul perbedaan pandangan mendasar di kalangan ulama: apakah imam dianjurkan untuk membaca Basmalah dengan suara keras (jahr) ataukah menyembunyikannya (sirr), sama seperti membaca Ta'awwudz?
Perbedaan pandangan ini bukanlah masalah kecil, melainkan sebuah isu fikih yang telah diperdebatkan dan dikaji secara mendalam oleh para mujtahid selama lebih dari seribu tahun. Persoalan ini tidak hanya menyangkut tata cara salat, tetapi juga status Basmalah itu sendiri, apakah ia termasuk ayat pertama dari Surah Al-Fatihah, ataukah ia merupakan ayat yang berdiri sendiri sebagai pemisah dan keberkahan antara surah-surah dalam Al-Qur’an.
Inti dari perdebatan jahr atau sirr bermula dari status hukum Basmalah. Jika Basmalah diyakini sebagai ayat pertama dari Al-Fatihah, maka logikanya ia harus dibaca jahr dalam salat jahr, sebagaimana ayat-ayat Al-Fatihah lainnya. Jika tidak dianggap bagian dari Al-Fatihah, atau dianggap sebagai ayat yang berdiri sendiri yang hanya berfungsi sebagai pemisah, maka membacanya secara sirr lebih utama.
Pandangan ini adalah pegangan utama Mazhab Syafi'i dan salah satu riwayat dari Mazhab Hanbali. Mereka berargumen bahwa Basmalah adalah bagian integral dari Surah Al-Fatihah, dan bahkan bagian integral dari setiap surah dalam Al-Qur'an (kecuali Surah At-Taubah).
Dalil utama mereka meliputi riwayat-riwayat yang secara eksplisit menyatakan bahwa Nabi Muhammad ﷺ membaca Basmalah dengan keras, serta kesepakatan bahwa Basmalah tertulis dalam mushaf dengan nomor ayat 1 pada Al-Fatihah (dalam qira'at tertentu, seperti riwayat Hafs dari Ashim).
Imam Asy-Syafi'i (rahimahullah) sangat bergantung pada hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi ﷺ membaca Al-Fatihah dan memotong-motong bacaannya (menjeda setiap ayat), dan beliau membaca Basmalah sebagai ayat pertama yang dijeda. Selain itu, hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik menunjukkan bahwa beliau pernah salat di belakang Nabi ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, dan beliau mendengar Basmalah dibaca.
Para ulama Syafi'iyyah, termasuk Imam An-Nawawi, menegaskan bahwa praktik pembacaan jahr adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan) bagi imam dalam salat jahr. Jika Basmalah dibaca sirr dalam salat jahr, meskipun salatnya sah, ia dianggap meninggalkan sunnah yang penting.
Pandangan ini dipegang teguh oleh Mazhab Maliki dan menjadi pandangan yang sangat kuat di kalangan Mazhab Hanafi.
Mazhab Maliki: Imam Malik (rahimahullah) berpendapat bahwa Basmalah tidak dibaca sama sekali, baik jahr maupun sirr, dalam salat fardu. Jika pun dibaca, ia disyariatkan sirr hanya sebagai tindakan berjaga-jaga. Dalil utama mereka adalah praktik penduduk Madinah (Ahlul Madinah), yang dianggap sebagai warisan amaliyah (praktik nyata) dari Rasulullah ﷺ yang paling otentik, di mana mereka tidak membaca Basmalah dalam salat fardu. Mereka juga berpegangan pada hadis riwayat Aisyah dan Anas yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ memulai dengan "Alhamdulillahirabbil 'Alamin," mengisyaratkan Basmalah tidak dianggap sebagai ayat pertama Al-Fatihah.
Mazhab Hanafi: Mazhab Hanafi (Imam Abu Hanifah) menetapkan bahwa Basmalah adalah ayat Al-Qur'an dan wajib dibaca dalam setiap rakaat sebelum Al-Fatihah, namun pembacaannya harus dilakukan secara sirr (pelan), bahkan dalam salat jahr. Mereka melihat Basmalah sebagai ayat yang diturunkan untuk keberkahan dan pemisah, tetapi bukan bagian dari Al-Fatihah. Mereka menyamakan hukum pembacaan Basmalah dengan Ta'awwudz (A'udzu billahi minasy-syaithanirrajim), yang disepakati dibaca sirr sebelum Al-Fatihah.
Imam Ahmad bin Hanbal (rahimahullah) memiliki dua riwayat utama:
Hanabilah umumnya menganggap Basmalah sebagai ayat Al-Qur'an dan membacanya sebelum Al-Fatihah dalam salat, tetapi mereka berkeyakinan bahwa sunnah yang lebih kuat adalah menyembunyikannya (sirr), sesuai dengan riwayat dari Anas bin Malik yang menyebutkan bahwa Nabi dan para Khalifah memulai dengan Al-Fatihah, dan riwayat yang menunjukkan bahwa mereka tidak mendengar Basmalah dibaca keras.
Perbedaan pandangan ini bukan muncul dari kesewenang-wenangan, melainkan dari perbedaan ulama dalam menimbang dan menafsirkan sejumlah hadis yang tampaknya saling bertentangan (Mukhtalaf al-Hadith).
Hadis ini diriwayatkan bahwa Abu Hurairah pernah salat dan membaca Basmalah dengan keras. Setelah salat, ia berkata, "Aku adalah orang yang salatnya paling mirip dengan salat Rasulullah ﷺ." Hadis ini dipegang kuat oleh Syafi'iyyah sebagai bukti praktik Nabi ﷺ.
Para ulama yang mendukung sirr (terutama Hanafi) menanggapi bahwa tindakan Abu Hurairah tersebut mungkin hanya dilakukan untuk tujuan pengajaran (li ta’lim), yaitu agar makmum tahu bahwa Basmalah memang harus dibaca. Tindakan yang dilakukan untuk pengajaran tidak serta merta menjadi sunnah rutin. Bahkan, ulama Hanbali menafsirkannya sebagai tindakan yang dilakukan hanya sesekali, untuk menepis tuduhan bahwa mereka menghilangkan Basmalah, bukan sebagai rutinitas salat. Mereka menekankan bahwa jika jahr adalah sunnah yang dominan, pasti riwayat-riwayat tentang hal itu akan lebih mutawatir (sangat banyak dan tersebar luas), sementara kebanyakan riwayat hanya bersifat āhād (diriwayatkan oleh sedikit orang).
Riwayat yang menyebutkan bahwa Basmalah adalah ayat pertama dari Al-Fatihah, didukung oleh qira'at tertentu (seperti qira'at Ibnu Katsir dan Ashim). Para ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa kesepakatan ulama Qira’at bahwa Basmalah merupakan bagian dari Al-Qur’an membuktikan kewajiban membacanya, dan karena ia bagian dari Al-Fatihah yang dibaca jahr, maka Basmalah pun dibaca jahr.
Anas bin Malik, pelayan Nabi ﷺ, meriwayatkan: "Aku salat di belakang Nabi ﷺ, Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka memulai dengan Alhamdulillahirabbil 'Alamin, dan aku tidak mendengar satupun dari mereka membaca Bismillahirrahmannirrahim."
Hadis ini adalah bukti paling kuat bagi kelompok Sirr (terutama Hanafi dan Maliki). Mereka menafsirkan bahwa 'tidak mendengar' berarti Basmalah tidak dibaca sama sekali (Maliki) atau dibaca terlalu pelan (sirr) sehingga tidak terdengar oleh Anas (Hanafi/Hanbali). Ini menunjukkan bahwa praktik yang dominan di masa Khulafa’ur Rasyidin adalah sirr.
Tanggapan Syafi'iyyah: Syafi'iyyah menanggapi bahwa riwayat Anas yang lain justru mendukung Jahr. Mereka berargumen bahwa penafian (tidak mendengar) tidak selalu berarti ketiadaan (tidak dibaca). Mungkin Anas tidak memperhatikan atau Nabi ﷺ memang membacanya sangat lirih, tetapi tetap dibaca secara Jahr sedikit, atau mungkin Nabi kadang jahr dan kadang sirr, namun Syafi'iyyah lebih memilih riwayat yang menguatkan Jahr. Mereka juga menuduh bahwa riwayat yang menafikan Jahr lebih lemah dalam isnad (rantai perawi) atau setidaknya, dapat ditakwilkan.
Hadis ini diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memiliki dua saktah (diam sejenak) dalam salat, satu sebelum Basmalah dan satu setelah selesai Al-Fatihah. Para ulama Sirr berargumen bahwa jeda (saktah) ini terjadi karena Nabi ﷺ membaca Ta’awwudz dan Basmalah secara sirr, sehingga tercipta jeda sebelum memulai Al-Fatihah secara jahr. Ini memperkuat hukum sirr untuk Basmalah.
Sikap Maliki yang menghapusnya sepenuhnya dari salat fardu memerlukan kajian khusus. Mereka tidak hanya berargumen Basmalah dibaca sirr, melainkan berpendapat bahwa Basmalah seharusnya tidak dimasukkan dalam rangkaian wajib Al-Fatihah dalam salat fardu.
Dasar utama mereka adalah Hadis dari Abu Hurairah (yang berbeda dengan hadis yang digunakan Syafi'i) di mana Nabi ﷺ bersabda, Allah berfirman: "Aku membagi salat (Al-Fatihah) menjadi dua bagian antara Aku dan hamba-Ku..." dan hadis tersebut memulai langsung dari Alhamdulillahirabbil 'Alamin, menunjukkan bahwa Basmalah dikecualikan dari 'salat' (Al-Fatihah).
Namun, dalam Mazhab Maliki sendiri, Basmalah tetap disunnahkan untuk dibaca sirr pada salat sunnah (nafilah), khususnya sebelum Al-Fatihah dan sebelum surah setelahnya, sebagai bentuk kehati-hatian dan mengikuti keberkahan Al-Qur'an.
Untuk mencapai pemahaman komprehensif, penting untuk merinci bagaimana setiap mazhab mengaplikasikan hukum Basmalah dalam salat jahr dan salat sirr, serta implikasi terhadap kesahihan salat.
Dalam Mazhab Syafi'i, Basmalah adalah ayat pertama Al-Fatihah. Konsekuensinya:
Hanafi menganggap Basmalah sebagai ayat yang diturunkan untuk memisahkan surah-surah, tetapi bukan bagian dari Al-Fatihah itu sendiri. Namun, membacanya tetap wajib dalam setiap rakaat sebelum Al-Fatihah.
Dalam pandangan yang paling dominan di kalangan Maliki, Basmalah tidak dibaca sama sekali sebelum Al-Fatihah dalam salat fardu, baik jahr maupun sirr. Jika dibaca, ia haruslah sirr dan dimaksudkan sebagai bentuk zikir biasa, bukan bagian dari rangkaian qira'ah salat.
Pengaruh Amalan Penduduk Madinah: Pendekatan Maliki ini sangat didasarkan pada Amal Ahlul Madinah. Imam Malik berpendapat bahwa praktik di Madinah pada masanya mencerminkan sunnah yang berkelanjutan dari masa Nabi ﷺ dan Khulafa’ur Rasyidin, dan praktik ini meniadakan pembacaan Basmalah dalam salat fardu. Mereka memandang bahwa hadis yang mendukung Jahr adalah hadis yang lemah atau telah mansukh (dihapus hukumnya).
Hanabilah menganggap Basmalah adalah ayat Al-Qur'an dan bagian dari setiap surah, termasuk Al-Fatihah. Namun, mereka berpendapat bahwa sunnah yang lebih kuat dalam salat fardu adalah menyembunyikannya (sirr), baik dalam salat jahr maupun sirr, berdasarkan riwayat Anas yang menafikan pendengaran jahr.
Perbedaan hukum tidak hanya terjadi pada salat fardu. Ada nuansa yang berbeda ketika membahas salat Jumat, salat Id, atau salat sunnah tarawih/witir.
Pada salat Jumat dan salat Hari Raya (Idul Fitri/Adha), qira'ah (bacaan) wajib dilakukan secara jahr. Dalam konteks ini, Mazhab Syafi'i tetap konsisten: Basmalah harus dibaca jahr, sama seperti dalam salat fardu jahr.
Namun, dalam Mazhab Hanafi dan Hanbali, prinsip sirr untuk Basmalah tetap berlaku. Meskipun Al-Fatihah dan surah selanjutnya dibaca keras, Basmalah yang mendahului Al-Fatihah tetap dibaca pelan.
Untuk salat sunnah seperti Tarawih atau Qiyamul Lail, terjadi sedikit pelonggaran. Bahkan ulama dari Mazhab yang kuat dengan Sirr (seperti Hanbali) lebih memaklumi pembacaan Jahr pada Basmalah dalam salat sunnah, meskipun Sirr tetap dianggap lebih utama. Ini mungkin karena salat sunnah tidak memiliki aturan ketat yang sama dengan salat fardu, dan tujuan jahr di sini bisa jadi untuk mengingatkan makmum atau memberikan keberkahan yang lebih nyata.
Dalam Mazhab Syafi'i, jahr pada Basmalah dalam Tarawih adalah wajib karena Tarawih adalah salat jahr.
Untuk mencapai bobot ilmiah yang memadai, kita perlu memeriksa argumentasi dan penolakan (naqd) yang dilakukan oleh para ahli fikih klasik terhadap dalil mazhab lain.
Para ulama Syafi'iyyah menolak hadis Anas yang menyatakan 'tidak mendengar Basmalah' dengan dua cara:
Hanafiyyah menolak hadis-hadis Jahr dengan argumen bahwa:
Salah satu poin penting dalam perdebatan ini adalah masalah qira'at Al-Qur'an. Dalam qira'at Kufi (yang paling populer di Indonesia, yaitu riwayat Hafs dari Ashim), Basmalah secara eksplisit diberi nomor ayat 1 dari Al-Fatihah. Ini adalah dalil kuat bagi Syafi'iyyah.
Namun, dalam qira'at Madaniyah, Syam, dan Bashrah, Basmalah tidak diberi nomor ayat 1, dan Surah Al-Fatihah dimulai dengan Alhamdulillahirabbil 'Alamin sebagai ayat 1. Hal ini mendukung pandangan Maliki, Hanafi, dan Hanbali bahwa Basmalah adalah ayat yang diturunkan untuk keberkahan, bukan bagian organik dari Al-Fatihah dalam konteks pembacaan salat. Perbedaan dalam penomoran ayat ini menunjukkan legitimasi perbedaan pandangan fikih.
Perdebatan antara Jahr dan Sirr Basmalah memiliki implikasi praktis yang signifikan, terutama dalam konteks percampuran mazhab di masyarakat Muslim global. Seorang makmum yang bermazhab Syafi'i (percaya jahr) yang salat di belakang imam Hanafi (percaya sirr) seringkali merasakan kekosongan karena tidak mendengar Basmalah di awal. Sebaliknya, makmum Hanafi merasa aneh jika imam Syafi'i membaca Basmalah dengan keras.
Jika seorang makmum Syafi'i tidak mendengar Basmalah yang dibaca keras oleh imam (karena imamnya bermazhab sirr), apakah ini membatalkan qira'ah makmum? Ulama Syafi'i berpendapat bahwa makmum wajib membaca Al-Fatihah, termasuk Basmalah, meskipun imam sudah membacanya jahr. Jika imam tidak jahr (atau tidak membaca sama sekali menurut Maliki), maka makmum tetap wajib membacanya secara sirr untuk memenuhi rukun salatnya sendiri.
Dalam situasi di mana komunitas Muslim ingin mencari titik tengah (tawfiq), sebagian ulama kontemporer menganjurkan agar imam mengamalkan Jahr sesekali (seperti yang diriwayatkan dari sebagian riwayat Hanbali) untuk memberikan pengajaran dan mengurangi keraguan bagi makmum yang berpegang pada Mazhab Syafi'i, asalkan hal tersebut tidak menjadi rutinitas yang permanen.
Namun, para fuqaha klasik tetap menekankan konsistensi dalam beramal sesuai mazhab yang diyakini, karena perbedaan ini adalah rahmat dan hasil dari ijtihad yang berbasis pada dalil. Imam Syafi'i sendiri pernah salat di belakang imam yang tidak membaca Basmalah jahr, dan beliau tetap sah salatnya, menunjukkan adanya toleransi dalam masalah furu' (cabang) ini.
Polemik mengenai pembacaan Basmalah secara Jahr atau Sirr dalam salat adalah salah satu contoh terbaik dari kekayaan khazanah fikih Islam. Perbedaan ini menunjukkan betapa telitinya para ulama dalam meneliti setiap riwayat dan mencari sunnah yang paling kuat untuk dijadikan pegangan hukum. Tidak ada satupun mazhab yang mengabaikan dalil; semuanya berpegangan pada hadis sahih, namun berbeda dalam metodologi penyaringan (tarjih) dan penafsiran (ta’wil).
Bagi umat Islam modern, pemahaman terhadap keragaman ini membawa kesadaran bahwa baik Jahr maupun Sirr adalah amalan yang sah dan memiliki landasan syar’i yang kuat, didukung oleh ulama mujtahid sekelas Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad. Mengedepankan toleransi dan memahami alasan di balik setiap pendapat adalah kunci untuk menjaga ukhuwah Islamiyah, bahkan ketika berdiri berdampingan dalam barisan salat.
Pada akhirnya, tujuan utama dari pembacaan Basmalah, baik keras maupun pelan, adalah mengikrarkan nama Allah SWT, memohon keberkahan, dan memastikan bahwa setiap ibadah dilakukan dengan penuh kesadaran akan keagungan-Nya, sebuah tujuan yang disepakati oleh seluruh mazhab tanpa terkecuali.