Basmalah, frasa suci yang dikenal universal dalam Islam, adalah inti dari permulaan dan berkah. Frasa ini, بسم الله الرحمن الرحيم (Bismillahirrahmanirrahim), bukan hanya sekumpulan kata dengan makna agung, tetapi juga sebuah fenomena linguistik dan ortografis yang sarat pelajaran. Pemahaman yang mendalam terhadap ejaan Basmalah—baik dalam konteks Arab klasik maupun transliterasinya—merupakan kunci untuk mengapresiasi keindahan dan ketelitian bahasa Al-Qur'an.
Ejaan Basmalah yang baku, sebagaimana tercantum dalam setiap permulaan surah Al-Qur'an (kecuali Surah At-Taubah), mengikuti kaidah Utsmani yang telah distandarisasi secara historis. Ketepatan ejaan ini mempengaruhi pembacaan (tajwid), makna, dan representasi visualnya dalam seni kaligrafi. Artikel ini akan mengupas tuntas setiap aspek ejaan Basmalah, dari hukum linguistik Arab yang paling halus hingga implikasi teologisnya yang luas.
Basmalah terdiri dari empat komponen utama yang dirangkai secara gramatikal untuk membentuk sebuah pernyataan lengkap. Empat komponen tersebut adalah: partikel preposisi (Ba), kata benda (Ism), Kata Nama Agung (Allah), dan dua sifat utama (Ar-Rahman dan Ar-Rahim). Ejaan masing-masing komponen ini memiliki kekhasan yang harus dicermati.
Kata Bismi berarti 'Dengan Nama'. Kata ini adalah gabungan dari partikel preposisi بِـ (Bi-) yang berarti 'dengan' atau 'menggunakan', dan kata benda اسم (Ism) yang berarti 'nama'.
Titik krusial dalam ejaan Basmalah terletak pada kata Ism. Secara ortografi dasar, kata Ism ditulis dengan Alif: اسم. Namun, ketika digabungkan dengan preposisi *Ba* (بِـ), Alif tersebut dihilangkan dalam penulisan (ortografi) Basmalah, menjadikannya بسم. Penghilangan Alif ini adalah salah satu kaidah khusus dalam Mushaf Utsmani (Rasm Utsmani) yang hanya terjadi dalam konteks Basmalah, dan beberapa situasi khusus lainnya dalam Al-Qur'an (seperti penulisan *Ibnu* setelah *Ya Nida'*).
Penghilangan Alif ini, yang dikenal sebagai Hazf Alif (penghilangan Alif), menegaskan kekhususan ejaan Basmalah. Meskipun Alif tidak tertulis, secara fonetik, pembacaan harus tetap menyambungkan bunyi 'B' langsung ke 'S' (Sin) dengan vokal 'i', mengabaikan Alif yang biasanya berfungsi sebagai penghubung atau penanda vokal awal. Ini menunjukkan bahwa ejaan Basmalah adalah ejaan yang sangat formal dan kuno, merefleksikan tradisi lisan yang lebih diutamakan saat kodifikasi.
Visualisasi ejaan Ism (اسم) menjadi Bismi (بسم) dengan penghilangan Alif Al-Washl.
Ejaan *Bismi* menggunakan harakat Kasrah (garis bawah) pada huruf Ba (بِ) dan Mim (مِ). Ini menunjukkan status gramatikalnya sebagai kata benda yang majrur (berfungsi sebagai objek preposisi). Ketepatan ejaan harakat ini sangat penting. Kesalahan umum dalam transliterasi non-Arab adalah menghilangkan harakat atau menggantinya (misalnya, menjadi *Bismillah* tanpa menunjukkan Kasrah yang spesifik).
Pemahaman ortografi ini menegaskan bahwa setiap huruf dan harakat dalam Basmalah memiliki peran ejaan yang tak terpisahkan dari makna gramatikalnya, memastikan bahwa makna 'dengan nama' disampaikan secara akurat.
Kata Nama Agung, Allah (ٱللَّهِ), adalah pusat Basmalah. Dalam ejaan Arab, penulisan Allah memiliki beberapa fitur ortografis unik.
Kata ini ditulis dengan dua huruf Lam (ل ل) dan diberikan tanda Syaddah (tashdid) di atas Lam kedua (ٱللَّهِ). Syaddah ini menunjukkan bahwa huruf Lam diucapkan ganda. Secara fonetik, ini adalah hasil dari penggabungan Alif Lam Makrifah (kata sandang definitif) dengan akar kata *Ilah* (Tuhan). Ejaan yang baku menunjukkan Lam ganda yang ditekankan.
Meskipun secara tradisional Alif tidak ditulis setelah Lam kedua (ل), mushaf modern sering menyertakan Alif kecil yang ditopang (Alif Khunjariyyah) di atas Lam kedua (ٱللَّهِ). Alif kecil ini berfungsi sebagai penanda visual untuk bunyi vokal panjang 'ā'. Kehadiran atau ketiadaan Alif kecil ini tidak mengubah ortografi dasar, tetapi memastikan bahwa pembaca non-penutur asli tahu bahwa vokal di sini adalah vokal panjang (Mad), sebuah detail penting dalam ejaan yang divisualisasikan.
Dalam Basmalah, kata Allah diakhiri dengan Kasrah (i), menjadikannya Allahi (ٱللَّهِ). Ini terjadi karena kata tersebut berfungsi sebagai Mudhaf Ilaih (kata yang disandarkan) bagi kata *Ism* (اسم). Posisi gramatikal ini menuntut ejaan harakat Kasrah pada huruf Ha (ه) di akhir. Mengucapkan atau menulisnya sebagai Allahu atau Allaha di luar konteks Basmalah ini akan menjadi kesalahan ortoepik dan gramatikal.
Kedua nama ini, Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), adalah dua Sifat Allah yang paling sering diulang. Keduanya memiliki struktur ejaan yang serupa, dimulai dengan Alif Lam Syamsiyyah (kata sandang yang menyebabkan Lam tidak diucapkan).
Secara ejaan, kedua kata ini diawali dengan Alif dan Lam (ٱلـ). Namun, karena huruf Ra (ر) adalah salah satu huruf Syamsiyyah (surya), Lam tersebut di-idgham-kan (dilebur) ke Ra. Hal ini ditunjukkan dalam ejaan dengan memberikan Syaddah (Rasyad) pada huruf Ra (ٱلرَّحْمَٰنِ). Oleh karena itu, pembacaan melompat langsung dari Allahi ke Ar, mengabaikan Lam secara fonetik, namun tetap menulis Lam secara ortografis.
Ini adalah contoh penting bagaimana ejaan Arab (Rasm) tidak selalu mencerminkan pengucapan (Sawt) secara harfiah. Ejaan menjaga warisan bentuk kata (Alif Lam), sementara tajwid mendikte pengucapan praktis (melebur Lam).
Kedua kata sifat ini diakhiri dengan Kasrah (i), menjadikannya Ar-Rahmani dan Ar-Rahimi. Dalam tata bahasa Arab (Nahwu), kedua kata ini berfungsi sebagai sifat (Na’t) yang mengikuti kata Allah (Man’ut). Karena Allahi berharakat Kasrah, maka sifat-sifatnya harus mengikutinya, sebuah prinsip kesesuaian gramatikal yang diabadikan melalui ejaan harakat akhirnya.
Keseluruhan analisis ejaan ini menunjukkan ketelitian yang luar biasa. Setiap huruf yang dipertahankan, dan setiap huruf yang dihilangkan, adalah hasil dari keputusan ortografis yang dipertahankan melalui tradisi Mushaf Utsmani, bukan sekadar penulisan fonetik biasa.
Ejaan Basmalah yang baku tidak hanya penting secara linguistik, tetapi juga mengandung implikasi teologis yang mendalam. Pengaturan huruf, terutama penghilangan Alif pada Ism, seringkali diinterpretasikan oleh ulama sebagai simbolisme makna.
Para ulama tafsir dan bahasa telah lama merenungkan mengapa Alif pada *Ism* dihilangkan hanya dalam konteks Basmalah, tetapi muncul dalam frasa lain seperti *Iqra’ Bismi Rabbika* (Bacalah dengan Nama Tuhanmu). Interpretasi teologis yang dominan menyebutkan bahwa penghilangan Alif ini melambangkan kecepatan, kesinambungan, dan kesegeraan.
Basmalah diucapkan pada setiap permulaan, menuntut pengucapan yang cepat dan segera menyambung nama Allah SWT. Penghilangan Alif adalah isyarat visual untuk mempermudah transisi fonetik dari Ba (بِ) langsung ke Sin (س). Lebih dari itu, beberapa ulama menyatakan bahwa penghilangan huruf melambangkan bahwa Nama Allah (Ismullah) begitu besar dan mulia sehingga ia melampaui kebutuhan akan huruf penyangga yang lazim (Alif).
Ketelitian ejaan ini mengajarkan bahwa setiap Muslim harus segera menghubungkan setiap tindakannya dengan Nama Allah tanpa jeda, sebuah konsep yang diabadikan dalam ortografi itu sendiri. Ini bukan ejaan yang santai, tetapi ejaan yang dimaknai secara spiritual.
Urutan ejaan: Allah, Ar-Rahman, dan Ar-Rahim, juga krusial. Dalam ejaan ini, Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih, kasih sayang yang luas dan universal, mencakup semua makhluk di dunia) mendahului Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang, kasih sayang yang spesifik, terutama bagi orang beriman di akhirat).
Pengurutan ejaan ini secara teologis menunjukkan bahwa kasih sayang Allah yang meluas (Ar-Rahman) mendahului kasih sayang-Nya yang terperinci dan spesifik (Ar-Rahim). Ejaan mencerminkan prioritas dan keluasan Rahmat Ilahi. Meskipun kedua kata ini berasal dari akar kata yang sama (R-Ḥ-M), perbedaan ejaan (struktur Fa’lan untuk Ar-Rahman yang menunjukkan intensitas dan keluasan, versus struktur Fa’il untuk Ar-Rahim yang menunjukkan kekekalan dan kesinambungan) adalah detail ortografis yang memperkaya makna.
Pola ejaan ini memastikan bahwa pembaca memahami gradasi makna Rahmat (Kasih Sayang) Allah melalui perbedaan bentuk gramatikal yang tertulis.
Ejaan Basmalah yang kita kenal sekarang adalah produk dari standarisasi Mushaf di bawah Khalifah Utsman bin Affan (Rasm Utsmani). Memahami latar belakang historis ini sangat penting untuk menghargai mengapa ejaan Basmalah begitu kaku dan spesifik.
Rasm Utsmani dikenal karena prinsipnya yang disebut Kekakuan Ortografi (Tsabat al-Rasm). Artinya, ejaan Al-Qur'an harus dipertahankan sebagaimana yang ditulis oleh para Sahabat, bahkan jika ejaan tersebut menyimpang dari kaidah standar bahasa Arab pada masanya (Qiyas Al-Lughawi).
Basmalah adalah contoh utama dari penyimpangan ortografis yang dipertahankan: Alif yang dihilangkan pada Ism, dan penggunaan Alif kecil (Khunjariyyah) untuk menandai Mad yang secara ejaan baku seharusnya ditulis dengan Alif penuh.
Keputusan historis untuk mempertahankan ejaan ini menunjukkan bahwa para ulama terdahulu memprioritaskan transmisi historis (periwayatan) di atas keseragaman linguistik kontemporer. Ini menegaskan bahwa ejaan Basmalah bukan sekadar ejaan biasa; ia adalah ejaan yang disucikan dan dipelihara sebagai bagian integral dari wahyu.
Ketika Mushaf pertama kali ditulis, ia tidak memiliki titik (I'jam) atau harakat (Tashkil). Ejaan Basmalah pada masa itu hanya berupa serangkaian konsonan: ب س م ا ل ل ه ا ل ر ح م ن ا ل ر ح ي م. Para pembaca harus bergantung pada memori lisan (Hifz) untuk mengetahui di mana vokal dan titik seharusnya berada.
Seiring berjalannya waktu, untuk mencegah kesalahan ejaan dan bacaan, ulama seperti Abu Al-Aswad Al-Du'ali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi mengembangkan sistem titik dan harakat. Penambahan harakat inilah yang secara definitif mengunci ejaan vokal Basmalah menjadi Bismi-llāhi-rraḥmāni-rraḥīmi, memastikan bahwa harakat Kasrah pada Ba, Mim, Ha, Nun, dan Mim akhir tidak dapat diganti.
Oleh karena itu, ejaan modern Basmalah adalah kombinasi sempurna antara Rasm Utsmani yang kaku (bentuk dasar konsonan) dan Tashkil (vokalisasi) yang distandarisasi kemudian, keduanya berfungsi untuk menjaga keaslian ejaan.
Ketika Basmalah dipindahkan dari sistem ortografi Arab (Aksara Hijaiyah) ke sistem ortografi Latin (transliterasi), muncul masalah standardisasi ejaan. Transliterasi bertujuan untuk mereplikasi bunyi, tetapi seringkali mengorbankan detail ortografi Arab yang halus.
Di Indonesia, standar transliterasi telah ditetapkan untuk memastikan keseragaman ilmiah. Dalam transliterasi yang baku, Basmalah ditulis sebagai:
Bi-smi Llāhi r-raḥmāni r-raḥīmi
Transliterasi baku ini mencoba mencerminkan beberapa detail ejaan Arab:
Namun, dalam penggunaan sehari-hari, transliterasi yang lebih populer dan ringkas sering digunakan: Bismillahirrahmanirrahim. Transliterasi populer ini, meskipun mudah dibaca, mengaburkan beberapa detail ejaan penting:
Kesalahan ejaan transliterasi yang paling umum di Indonesia sering berkutat pada hilangnya huruf 'h' (misalnya, *Bismilah* atau *Bismilahirohmanirohim*) atau kesalahan vokal panjang (*Bismillahi* tanpa 'i' panjang pada Rahim). Ini menunjukkan bahwa meskipun transliterasi membantu pengucapan, ia memerlukan pengawasan ketat agar tidak menghilangkan esensi ortografi Arab yang sebenarnya.
Ortoepi merujuk pada pengucapan yang benar. Dalam Basmalah, ejaan dan ortoepi saling terkait erat. Ejaan بسم الله menuntut ortoepi yang tepat melalui hukum Tajwid, khususnya:
Kegagalan dalam mereplikasi ejaan vokal (harakat) dalam transliterasi Latin secara langsung merusak ortoepi yang benar, menunjukkan pentingnya memahami Basmalah melalui kacamata ortografi Arab aslinya.
Ejaan Basmalah telah menjadi subjek utama dalam seni kaligrafi Islam. Dalam konteks visual, ejaan tidak hanya berfungsi sebagai teks, tetapi sebagai representasi simbolis dari kesucian. Berbagai gaya kaligrafi menafsirkan ortografi Basmalah dengan cara yang berbeda, namun selalu menjaga ketepatan huruf dan urutan.
Dalam kaligrafi, Basmalah sering ditulis dalam gaya Thuluth dan Naskh:
Secara visual, kaligrafi sering memanfaatkan sifat ejaan Basmalah yang mengandung banyak huruf vertikal (Alif, Lam). Kaligrafi yang baik akan mengatur jarak antar huruf (terutama antara Lam pada Allah dan Alif/Lam pada Ar-Rahman) untuk mencapai keseimbangan visual, tetapi tanpa pernah menambah atau mengurangi huruf. Misalnya, Ya pada Ar-Rahim harus dipertahankan secara visual meskipun sering ditarik memanjang untuk tujuan artistik.
Ejaan kaligrafis Basmalah sering disebut sebagai "Iklil" (Mahkota) karena ia terletak di bagian atas, baik dalam surah maupun dalam karya seni. Ketepatan ejaan menjadi ujian tertinggi bagi seorang kaligrafer, yang harus menyeimbangkan aturan ortografi Rasm Utsmani dengan keindahan visual. Setiap ejaan huruf, dari lekukan Ba hingga titik di bawah Mim, harus sempurna.
Visualisasi ejaan menyoroti kekhususan ortografi dalam Basmalah.
Ejaan yang benar pada Basmalah tidak hanya masalah akademis; ia memiliki konsekuensi praktis dalam hukum Islam (Fiqh) dan tata krama (Adab).
Dalam banyak ibadah dan tindakan sehari-hari, mengucapkan Basmalah adalah syarat sah (misalnya saat menyembelih hewan) atau anjuran (saat makan, memulai pekerjaan). Ketepatan ejaan—yakni, memastikan semua huruf dan harakat diucapkan dengan benar (sesuai ortoepi)—sering kali dianggap fundamental untuk validitas niat yang diungkapkan.
Kesalahan ejaan yang mengubah makna (Lahn Jali), meskipun jarang terjadi pada Basmalah yang sudah dikenal, dapat membatalkan niat. Misalnya, jika seseorang secara sengaja atau lalai mengubah Kasrah pada Allahi menjadi Dammah (Allahu), itu dapat dianggap mengubah tata bahasa dan berpotensi mengubah makna dasar kalimat, meskipun konteksnya biasanya memaafkan kesalahan kecil. Namun, ulama selalu menekankan pentingnya menjaga ejaan lisan (ortoepi) yang benar sesuai dengan ejaan tertulis (ortografi) Basmalah.
Meskipun ejaan konsonan Basmalah (Rasm Utsmani) adalah tunggal, terdapat variasi kecil dalam pelafalan (Qira’at) yang diakui. Namun, variasi ini hampir selalu berkaitan dengan harakat atau panjang pendeknya vokal, yang justru menegaskan betapa stabilnya ejaan dasar Basmalah. Semua Qira’at yang sah (seperti Hafs, Warsh, Qalun) mempertahankan struktur ortografis dasar: بسم الله الرحمن الرحيم.
Perbedaan ejaan terletak pada detail. Contoh: beberapa riwayat mungkin sedikit berbeda dalam harakat akhir Rahmani atau Rahimi ketika disambung dengan kata berikutnya. Namun, dalam konteks berdiri sendiri (waqf), harakat Kasrah selalu dominan pada Allahi, Ar-Rahmani, dan Ar-Rahimi. Ejaan harakat ini harus diakui sebagai bentuk standardisasi tertinggi dalam Fiqh bacaan.
Untuk menguatkan pemahaman, mari kita ulangi dan simpulkan poin-poin ortografis terpenting yang menentukan ejaan Basmalah yang benar:
Pilar utama dalam ejaan Basmalah adalah fenomena Hazf Alif. Ejaan ini adalah anomali linguistik yang diabadikan oleh Rasm Utsmani. Sebagaimana dijelaskan secara rinci, kata Ism seharusnya ditulis dengan Alif (اسم), namun dalam Basmalah, ia ditulis tanpa Alif (بسم). Ini adalah detail ejaan yang wajib dipatuhi. Menyertakan Alif (misalnya: *Bismillah*) dalam penulisan Mushaf dianggap melanggar kaidah ortografi suci.
Kesinambungan ejaan ini bukan kebetulan; ia adalah warisan lisan yang dilembagakan dalam tulisan. Ketiadaan Alif ini memaksa pembaca untuk menyambung Ba ke Sin secara langsung, yang pada gilirannya mencerminkan makna spiritual dari kebutuhan untuk segera memulai tindakan dengan Nama Allah.
Ejaan Basmalah membutuhkan Kasrah (vokal 'i') secara konsisten pada akhir setiap komponen utama ketika dibaca secara bersambung (Wasl):
Ejaan harakat akhir ini mengunci status gramatikal kalimat, menjadikannya sebuah frasa preposisional yang konsisten. Tanpa Kasrah yang benar, struktur gramatikal Basmalah akan runtuh. Ejaan harakat adalah elemen ortografis yang ditambahkan belakangan untuk menjaga kemurnian pembacaan yang telah ada secara lisan.
Ejaan harus mencerminkan durasi vokal yang benar. Ini dijamin melalui:
Ejaan Mad adalah detail visual yang krusial. Jika vokal panjang dihilangkan, pembacaan menjadi cacat, dan makna 'Maha Pengasih' atau 'Maha Penyayang' yang intens dan berkelanjutan akan berkurang. Oleh karena itu, ejaan Basmalah yang benar adalah ejaan yang memperhatikan Mad secara visual maupun fonetik.
Ejaan Basmalah secara eksplisit mencantumkan Syaddah (tanda penekanan/ganda) pada dua huruf penting:
Ejaan Syaddah adalah penanda ortografis penting dari aturan tajwid (fonologi Arab). Kehadiran Syaddah menunjukkan bahwa ejaan Rasm Utsmani memperhitungkan bagaimana kata-kata itu diucapkan secara bersambung, sebuah fitur yang jarang ditemukan dalam bahasa-bahasa lain yang ejaannya murni fonetik.
Ejaan Basmalah, dengan segala kekhasan ortografis dan linguistiknya—penghilangan Alif yang simbolis, presisi harakat yang gramatikal, dan penandaan Syaddah yang fonologis—merupakan mikrokosmos dari keajaiban bahasa Al-Qur'an. Mempelajari Basmalah adalah mempelajari ketelitian yang telah dipertahankan selama berabad-abad, sebuah warisan yang mengharuskan setiap Muslim untuk menghormati setiap huruf dan setiap harakat dalam penulisannya.
Penguasaan ejaan yang benar memastikan bahwa frasa ini diucapkan dan direpresentasikan dengan keagungan yang pantas, selaras dengan makna teologisnya yang universal.
***
Basmalah, sejak zaman pewahyuan hingga kini, tetap menjadi lambang kemurnian ejaan. Frasa ini tidak hanya menandai permulaan Surah-surah Al-Qur'an (kecuali Surah At-Taubah), tetapi juga menjadi simbol visual dan lisan dari keesaan dan rahmat Allah. Ketekunan dalam menjaga ejaan yang tepat, baik dalam penulisan Mushaf (Rasm Utsmani) maupun dalam transliterasi modern, adalah bentuk ibadah tersendiri.
Setiap upaya untuk memahami dan melestarikan ejaan Basmalah adalah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang struktur linguistik dan kekayaan spiritual yang terkandung dalam kalimat suci ini. Basmalah berdiri sebagai monumen ortografis yang mengajarkan ketelitian, konsistensi, dan penghormatan absolut terhadap tradisi literer Islam yang tak tertandingi.