Prosesi pernikahan dalam Islam memiliki tahapan yang sakral dan fundamental, di mana salah satu puncaknya adalah ritual ijab nikah. Ritual ini bukan sekadar seremoni adat, melainkan sebuah akad atau ikatan perjanjian suci yang mengikat dua insan di hadapan Allah SWT dan disaksikan oleh manusia. Kegagalan dalam melaksanakan ijab dengan benar berarti pernikahan tersebut tidak sah secara hukum syariat.
Secara harfiah, ijab nikah berasal dari bahasa Arab. 'Ijab' berarti penawaran, persetujuan, atau pernyataan kesediaan, sedangkan 'nikah' berarti akad atau perkawinan. Dalam konteks pernikahan, ijab nikah adalah serangkaian dialog resmi di mana wali (atau yang mewakili) mempelai wanita menyatakan kesediaannya untuk menikahkan putrinya dengan mempelai pria, yang kemudian diikuti dengan penerimaan tegas dari mempelai pria.
Proses ini menegaskan kesepakatan penuh tanpa paksaan dari kedua belah pihak, menjadikannya fondasi legalitas spiritual pernikahan. Tanpa ijab kabul yang sah, ikatan pernikahan tidak terwujud.
Agar akad nikah dianggap sah dan mengikat secara hukum Islam, beberapa rukun utama harus terpenuhi. Rukun-rukun ini berfungsi sebagai syarat sahnya perjanjian tersebut. Selain adanya kedua mempelai yang memenuhi syarat (beragama Islam, baligh, berakal sehat), unsur terpenting dalam ijab adalah adanya wali nikah dan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
Ijab adalah ucapan pertama yang diucapkan oleh wali nikah (atau perwakilan yang ditunjuk). Ucapan ini harus jelas, tegas, dan mengandung unsur penyerahan hak perwalian untuk menikahkan. Contoh klasik ijab adalah: "Saya nikahkan engkau dengan putri saya yang bernama [Nama Wanita] dengan mas kawin berupa [Mahar], dibayar tunai."
Kabul adalah respons langsung dari mempelai pria yang menyatakan penerimaan atas tawaran ijab tersebut. Respon ini harus sesuai dan tidak boleh ada jeda waktu yang lama (taf’riq) antara ijab dan kabul yang dapat mengindikasikan keraguan. Contoh kabul yang sah adalah: "Saya terima nikahnya dengan [Nama Wanita] dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
Kesesuaian antara ijab dan kabul adalah krusial. Jika wali mengucapkan 'saya nikahkan' dan mempelai pria menjawab 'saya terima' dengan menyebutkan nama yang berbeda, maka akadnya bisa batal atau diragukan keabsahannya. Kesederhanaan dan kejelasan adalah kunci sukses terlaksananya ijab nikah yang benar.
Meskipun substansi ijab nikah—yaitu dialog penawaran dan penerimaan—tetap konstan selama berabad-abad, pelaksanaannya seringkali disesuaikan dengan konteks zaman. Di banyak negara, prosesi ini dilaksanakan di hadapan petugas pencatat nikah dari kantor urusan agama (KUA) atau lembaga berwenang lainnya, selain tetap dihadiri oleh wali dan saksi.
Tujuan kehadiran petugas ini adalah untuk administrasi legalitas negara, memastikan bahwa pernikahan tersebut tercatat dan diakui secara hukum formal, di samping sahnya secara syariat. Namun, inti dari ikatan pernikahan tetap terletak pada pertukaran janji suci antara wali dan mempelai pria saat ijab nikah dilangsungkan.
Hal lain yang sering diperhatikan adalah penggunaan bahasa. Meskipun idealnya menggunakan bahasa Arab (sesuai dengan teks standar warisan), mayoritas ulama membolehkan penggunaan bahasa lokal atau bahasa Indonesia yang dipahami oleh semua pihak, asalkan maknanya tetap mencakup unsur penyerahan (ijab) dan penerimaan (kabul) tanpa ada keraguan sedikit pun. Kejelasan makna lebih diutamakan daripada keharusan mengucapkan lafal dalam bahasa Arab tertentu.
Lebih dari sekadar formalitas hukum, ijab nikah membawa bobot spiritual yang sangat besar. Momen tersebut menandai transisi status sosial seseorang dari lajang menjadi pasangan suami istri yang sah. Ini adalah deklarasi publik atas komitmen seumur hidup. Dengan mengucapkan kabul, mempelai pria secara resmi memikul tanggung jawab penuh atas istri dan keluarganya kelak.
Proses yang khidmat ini berfungsi sebagai pengingat akan beratnya janji yang diucapkan. Ketika janji ini diucapkan di hadapan Tuhan dan para saksi, otomatis muncul rasa tanggung jawab moral yang tinggi untuk menjaga keutuhan janji tersebut. Oleh karena itu, persiapan mental dan pemahaman mendalam tentang konsekuensi dari ijab nikah sangat dianjurkan bagi calon pengantin dan wali.
Kesimpulannya, ijab nikah adalah inti dari akad pernikahan Islam. Ia adalah momen penentu yang harus dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan memenuhi semua rukun yang ditetapkan syariat agar ikatan yang terjalin menjadi berkah dan diridai.